Monday, August 10, 2009

Rendra-Mbah Surip dan Drama Eksistensi

-- Tomy S Saptaatmaja*

"Manusia sama saja dengan cerutu
bistik atau pun whiski-soda
berhadapan dengan waktu
jadi tak berdaya"

(Sajak Sebuah Restoran, Moskwa, WS Rendra)

SAJAK itu tepat untuk menggambarkan misteri kematian Mbah Surip dan WS Rendra. Mbah Surip meninggal pada 4 Agustus 2009 dan Rendra pada 6 Agustus. Beberapa hari lalu, sebelum meninggal, Mbah Surip sempat mengunjungi Rendra, yang sedang sakit di Bengkel Teater Depok. Ketika berada di halaman rumah Rendra, Mbah Surip meminta kelak dimakamkan di kuburan para seniman, yang memang sudah disediakan Rendra di dekat rumahnya. Rendra pula yang meminta pada 4 Agustus 2009 malam agar jenasah Mbah Surip segera dimakamkan. Puncaknya, ketika Rendra meninggal pada 7 Agustus, makamnya juga berdekatan dengan makam Mbah Surip. Kehidupan atau kematian sungguh penuh misteri.

Meminjam istilah Soren Kierkegaard, filsuf Denmark (1813-1855), hidup merupakan "drama eksistensi" mulai saat manusia lahir hingga mati. Menurut Kierkegaard, drama eksistensi adalah pergulatan mencemaskan bagi setiap orang, saat harus jatuh-bangun dan harus memilih beragam pilihan baik-buruk. Maka memilih adalah cara "mengada" manusia. Dari pilihannya, akan ketahuan apakah seseorang masuk kategori manusia sejati atau manusia palsu. Mbah Surip atau Rendra tahu pilihan terbaik.

Berbeda dengan Kierkegaard yang agak cemas melihat hidup, menurut Rendra, hidup bukan untuk mengeluh dan mengaduh. Rendra menulis:

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh/Hidup adalah untuk mengolah hidup/bekerja membalik tanah/memasuki rahasia langit dan samodra/serta mencipta dan mengukir dunia/Kita menyandang tugas/kerna tugas adalah tugas/Bukannya demi sorga atau neraka/Tetapi demi kehormatan seorang manusia//Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu/meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu/Kita adalah kepribadian/dan harga kita adalah kehormatan kita/Tolehlah lagi ke belakang/ke masa silam yang tak seorang pun kuasa menghapusnya.

Hidup Rendra amat dipengaruhi oleh sajak di atas. Simak kiprahnya. Rendra adalah sosok manusia multidimensional. Dia bukan hanya penyair, budayawan, atau aktor. Rendra juga sosok yang amat peduli pada penderitaan kaum papa. Teman dekatnya, Menhub Jusman Syafii Djamal menyebut Rendra tokoh yang konsisten memperjuangkan ketimpangan sosial. Dari gelandangan, pengamen hingga para pelacur sekalipun selalu mendapat perhatian khusus dari Rendra.

Rendra pernah membuat sajak berjudul Sajak Orang-Orang Kalah. Dan Rendra mengajak kita tidak abai dengan keberadaan mereka. Rendra memang kerap berbicara, seperti pemikir bagi kemajuan bangsanya. Ini terlihat pada pidato pengukuhan Rendra ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada (UGM) Maret 2008. Pidatonya yang berjudul Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu oleh banyak kalangan diapresiasi sebagai pemikiran visioner sekaligus realistis tentang kondisi Indonesia terkini. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menilai pidato itu layak menjadi cetak biru bagi pedoman pembangunan dan pembenahan negara Indonesia ke depan.

Pribadi Polos

Demikian pula dengan Mbah Surip. Seperti kita tahu, semula Mbah Surip bukan siapa-siapa. Lalu tiba-tiba dia "terbang" bak kilat berkat lagu Tak Gendong . Uang Rp 5 miliar, hasil ring back tone (RBT) lagu Tak Gendong yang belum diterimanya atau popularitas tidak mengubah hidupnya. Dia tetap pribadi yang polos dan sederhana serta peduli pada yang lemah. Mbah Surip sungguh manusia sejati.

Cak Nun, yang pengajian Padhang Bulannya sering didatangi Mbah Surip, juga menyebut Mbah Surip manusia sejati. Bukan manusia palsu! Padahal, Kierkegard menulis: "kesadaran kerumunan" sering membahayakan pergulatan eksistensi seseorang. Individu yang berada dalam "kerumunan" biasanya hilang dan ternegasikan".

Melihat kiprah Rendra atau Mbah Surip di atas, banyak kalangan di Tanah Air yang sungguh merasa kehilangan. Kematian menjadi garis takdir yang mengakhiri sepak terjang keduanya. . Dalam beberapa suku bangsa, kematian dipersonifikasi dalam bentuk dewa atau malaikat maut. Namun, baik Rendra maupun Mbah Surip, ternyata tidak takut pada maut. Mereka justru berani menyambut kematian dengan sikap kesatria. Kita sudah melihat, di atas Mbah Surip sudah memesan tempat atau kapling kuburan di dekat rumah Rendra. Sedangkan Rendra, beberapa hari lalu sudah berpesan agar rumah dan Bengkel Teaternya dibersihkan. Ini sebuah isyarat dalam budaya Jawa akan datangnya sebuah peristiwa besar. Rendra seperti sudah bisa membaca datangnya sang maut. Rendra mungkin sadar percuma melawan waktu atau maut, seperti ditulis dalam sajaknya di awal tulisan ini.

Rendra atau Mbah Surip, seperti hendak mengajarkan, berani hidup, juga harus berani mati. Padahal kebanyakan orang hanya berani hidup, tetapi takut mati. Rendra dan Mbah Surip sudah menunjukkan pada kita bagaimana drama eksistensi, drama hidup maupun mati mereka benar-benar begitu bernilai, sehingga sudah layak dan sepantasnya untuk dikagumi serta diteladani.

* Tomy S Saptaatmaja, kolumnis, alumnus Seminari St Vincent de Paul dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang (1992)

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 10 Agustus 2009

No comments: