Monday, August 10, 2009

The Global Nexus: Dialog Imajiner Rendra-Sarwo Edie

-- Christianto Wibisono*

KESIBUKAN luar biasa di Bandara Paradiso. Omar Dani, Harry Patch (serdadu Inggris terakhir dari Perang Dunia I) Cory Aquino, Mbah Surip, dan WS Rendra berdatangan. dalam urutan beda hari. Jenderal Sarwo Edie menyambut sang Burung Merak dengan antusias.

SE: Selamat datang Bung Rendra. Dari hiruk-pikuk kumpul kebo sistem presidensial parlementer di Indonesia di mana semua pihak merasa mau jadi Tuhan untuk menunjukkan kekuasaan partisan. Mahkamah Agung ditolak KPU, dibenarkan MK, jadi di mana letak agungnya?

WR: Mas Sarwo, setelah memperoleh dukungan landslide, walaupun saya salah hitung dan berkampanye untuk Mega Prabowo di Bantar Gebang -menantu Anda, SBY, harus mengikuti teladan Anda menjadi negarawan nonpartisan.

SE: Menantu saya benar-benar ingin mewariskan legacy, karena itu dia memilih Boediono, seperti ketika Bung Karno memilih Djuanda sebagai perdana menteri dan menteri pertama. Djuanda tidak mewakili partai politik yang sudah memuakkan Bung Karno, dengan politicking saling menjatuhkan lawan politik tidak lebih lama dari dua tahun. Bahkan, rekan separtai pun bisa terguling oleh manuver sesama tokoh satu partai.. Saya yakin SBY akan menerima masukan yang sehat, objektif, demi kepentingan nasional. Bahkan, ia siap menerima partisipasi PDI-P, tapi malah dituduh mau jadi Soeharto baru. Padahal, tidak mungkin lagi dia maju tahun 2014. Para lawan politik itu mengukur SBY dari tingkah laku mereka sendiri, yang tidak gentleman untuk mengaku kalah.

WR: Mas Sarwo, saya berpikir melampaui politik partisan. Kebetulan, saya baca dan ikuti perkembangan sekitar penggodokan kabinet. UU Kementerian Negara No 39 Tahun 2009 merupakan pengukuhan dari struktur organisasi dan jumlah menteri KIB (Kabinet Indonesia Bersatu) yang de facto dibentuk oleh duet SBY-JK. Sejarah pembentukan KIB merupakan produk "dagang sapi" yang alot dan menyita waktu jauh melebihi normal. Bahkan, diwarnai gebrak meja, tekanan gerilya politik sampai jauh larut malam dengan pelbagai nuansa SARA yang tidak etis. Semuanya karena posisi presiden terpilih, yang hanya menguasai partai kecil di DPR. Sejak semula, dalam duet SBY-JK sudah tersimpan bibit rivalitas, karena temperamen dan perbedaan karakter, serta ambisi terselubung pasangan pragmatis nonideologis ini.

SE: Manuver JK merebut posisi Ketua Umum Golkar merupakan langkah yang semula direstui oleh SBY. Tapi, dalam perkembangan selanjutnya, posisi ketua umum partai terbesar malah dikapitalisasi oleh JK untuk menyerobot mandala perhatian publik dan mengorbitkan penampilan yang secara psikologis menimbulkan sindrom "Matahari Kembar".

Seperti ditulis mantan Dubes RI untuk Rusia, Susanto Pudjomartono, di Tempo 26 Juli 2009. Latar belakang keberhati-hatian SBY pada term pertama menghadapi pasangan yang ambisius dan punya agenda sendiri. Setelah menang telak, tulis Susanto: "Periode 2009-2014 adalah masa jabatan kedua dan terakhir Presiden SBY. Ia harus selalu ingat bahwa sejarahlah yang akan mencatat prestasinya , apakah dengan tinta emas atau tinta merah. Ia telah memperoleh dukungan, kepercayaan dan amanat sebagian besar rakyat."

Meritokrasi

WR: Dalam konteks ini, langkah SBY berani menunjuk Boediono dengan risiko ditentang oleh partai koalisi, harus diikuti dengan keberanian untuk membentuk kabinet yang benar-benar berlandaskan meritokrasi untuk menjawab tantangan sejarah yang hanya berlaku einmalig. Langkah pertama tentu harus mengoreksi, riwayat 24 jam pembentukan KIB tahun 2004, yang menjadi salah satu raison d'etre tumbuhnya citra peragu dan kompromi oportunis terhadap diri SBY sebagai formatur. Yang tidak mencerminkan formatur tunggal, malah didesak waktu mengambil putusan kompromistis. Sehingga kurang berpijak pada meritokrasi melainkan pada bargaining partisan dan sektarian. Secara sederhana, bila memang ada kehendak mewujudkan legacy pemerintah SBY-Boediono, maka kabinet tidak boleh sekadar melanjutkan KIB yang kompromistis, oportunistik, dan kurang asertif dalam merumuskan dan mewujudkan agenda nasional

SE: Jangan khawatir Bung Rendra, Saya baru saja menerima email dari Global Nexus Institute dokumen kajian berjudul:

Misi dan Visi Kabinet Transformasi Indonesia Memberdayakan Indonesia Menuju 5 Besar Kekuatan Ekonomi Dunia pada 2030

Pertama, Program Rekonsiliasi Nasional mencakup: Integrasi dan sinkronisasi politik luar negeri dan kebijakan politik keamanan dalam negeri di tengah berkecamuknya dua mazhab benturan peradaban dan dikotomi perang teror global yang berdampak bagi eksistensi dan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Noordin Top hanya merupakan puncak suatu gunung es atau simtom dari akar masalah terorisme global yang berimbas ke politik.

Penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat untuk menghilangkan kesan impunitas. Pelaku kejahatan pelanggaran HAM berat di masa lalu setelah melalui proses pengakuan, penyesalan, dan pertobatan atas tindak kekerasan yang pernah dilakukan, memperoleh amnesti dari sanksi hukum. Namun, dicegah menduduki jabatan publik karena berisiko dituntut oleh Mahkamah Internasional di the Hague.

Peningkatan peranan proaktif RI dalam diplomasi global untuk menaikkan citra RI dalam pelbagai peringkat indeks demokrasi, HAM, dan kualitas SDM..

Kedua, program Rekonstruksi KPK untuk melembagakan misi eliminasi korupsi penyandera negara (state captured type of corruption meliputi:

Undang-undang Amnesti Berpenalti untuk pengampunan dan pemutihan praktik KKN oleh penyelenggara negara pada masa lalu, melalui pelunasan pajak dan denda tarif tertinggi sekaligus pemutihan asset.

Undang-undnag Pembuktian Terbalik diberlakukan setahun setelah UU Amnesti Berpenalti. Para penyelenggara negara yang tidak memanfaatkan peluang amnesti berpenalti akan dikenakan penyitaan seluruh aset serta hukuman penjara

Undang-undang Antikonflik Kepentingan, mengatur dan mengendalikan penyelenggara negara yang berasal dari pengusaha agar tidak mencampuradukkan kepentingan publik dan bisnis yang dikelola.

Ketiga, Program Restorasi Indonesia dengan strategi sinergi optimalisasi kekuatan dan aset nasional Indonesia untuk mencapai target Indonesia sejahtera dan Indonesia sebagai 5 Besar kekuatan ekonomi dunia pada 2030.

Penjabaran Program Restorasi meliputi: Merancang bangun dan mereka cipta blueprint strategi besar diplomasi total dalam mendayagunakan secara optimal posisi RI di berbagai forum internasional. Khususnya berkenaan dengan posisi RI di G-20 pada periode krusial yang berlaku einmalig, yaitu reformasi struktur Bank Dunia/IMF yang dijadwalkan berakhir pada 2011..

Mengkaji dan melahirkan formula paket kebijakan quid pro quo diplomasi regional dan global memulihkan kepemimpinan RI di ASEAN menuju ASEAN Raya sebagai salah satu landasan Indonesia 5 - 2030. Sebagai jangkar dan primus interpares ASEAN itulah Indonesia dapat memainkan diplomasi di berbagai forum seperti: ASEM, APEC, BRIC, EAC, OECD, UNFCC, serta WTO Memberdayakan masyarakat elite yang menjadi panutan Bangsa Indonesia untuk secara dinamis, proaktif bersinergi mewujudkan Indonesia Inc yang bermartabat dan disegani seperti kebangkitan Jepang, Tiongkok, dan India.

Bung Rendra, dokumen masih panjang maka dialog ini akan kita lanjutkan minggu depan memperingati 64 tahun kemerdekaan RI. Selamat bereuni dengan mbak Narti sambil merenungkan ungkapan cak Nun (Emha A Najib) di Kompas, Jumat lalu, tentang konflik dan dikotomi rasio dan seks yang mewarnai legacy riwayat Anda.

* Christianto Wibisono, pengamat masalah nasional dan internasional

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 10 Agustus 2009

No comments: