-- Arswendo Atmowiloto
MENGENANG Rendra adalah menghargai jiwa yang bebas, keberanian mempertahankan sikap, dan terutama adalah pemikiran dan tindakan yang ditujukan sebagai Jalan Budaya. Jalan Budaya adalah jalan di mana dialog dimungkinkan, perbedaan diterima, gesekan atau risiko menjadi bagian dari dinamika kreatif, yang ditandai dalam karya. Dengan "K" besar, atau "k" biasa, atau "k" kecil.
Rendra atau WS Rendra, atau biasa dipanggil Mas Willy (karena hampir semua seniman di sekitarnya di bawah umurnya) sampai usia 73 tahun membuktikan kepenuhan itu. Sebagai budayawan, Rendra memberi penampakan nyata bagaimana sebuah peristiwa kebudayaan terjadi dan terjaga. Rendra adalah seorang ksatria - seorang prajurit kesenian - yang melahirkan jurus-jurus bagaimana menguasai panggung, bagaimana menciptakan puisi yang mengagumkan juga menggelisahkan, serta jurus-jurus pentas drama yang belum ada duanya. Dalam sejarah pementasan teater atau drama, Rendra pengumpul penonton terbanyak, dan terbanyak dibicarakan. Rendra sekaligus juga pandito kebudayaan. Dialah pendeta yang mempunyai renungan, pemikiran mengenai posisi kesenian ketika harus berhadapan dengan kekuasaan, dengan godaan menjadi komersial, atau penjilat penguasa.
Rendra membaca peta itu dan menentukan sikapnya. Tak mudah. Bikin lelah. Tapi, pujangga Indonesia ini terbukti tak pernah kalah. Tak pernah menyerah.
Kreativitas Kompromi
Dengan nama besarnya, lima atau enam tahun lalu, menjelang 17 Agustus, saya pernah menawarkan - bukan mengajak, takut ditolak - untuk tampil membacakan karyanya bersama 44 pembaca puisi yang lain. Jadi, jumlahnya lengkap 45, karena temanya memperingati 17 Agustus. Pembaca puisi yang lain adalah Titiek Puspa, Mbak Sipon, istri Widji Thukul yang hilang, juga Inul Daratista, di samping nama besar yang dikenal sebagai penyair.
Rendra bersedia hadir, tapi "dengan syarat". Saya mengiyakan karena tahu persis bahwa almarhum perlu diantar-jemput, perlu honor khusus. Tetapi, apa jawabnya,"Bukan itu Dik," tuturnya selalu menempatkan lawan bicara sebagai adik. Melainkan,"Nanti pada kesempatan berikutnya, saya tampil sendiri." Dengan senang hati. "Dan...", ternyata masih ada tambahan: mementaskan karyanya yang akan dimainkan dengan Ken Zuraida dan putranya.
Tentu menyenangkan, meskipun secara administratif sangat merepotkan dan susah kompromi. Dalam pembacaan puisi, mudah diterka, tetap memesona, menggetarkan, menghasilkan tepuk tangan paling bergema, walau puisi-puisi lama. Giliran pentas drama, saya jadi kalang kabut. Soalnya setting panggung yang telah disiapkan bersamanya, harus diubah. "Mas, susah. Sponsor kita mau launching apartemen, jadi susunannya begini. Dan Mas sudah setuju?" tanya saya. Jawabannya tetap meyakinkan,"Tak apa Dik, kita ubah lagi."
Perabot dan pencahayaan diubah, termasuk tempat duduk penonton kelas VIP. Saya menyerah dan berdebar karena sponsor bisa kecewa. Untung bisa diraih, malang ternyata menyisih. Dalam tulisan beberapa wartawan, foto Rendra tetap terpampang gagah, penuh karisma, dan logo sponsor tetap nongol. Dua pihak sama-sama puas. Dalam perjalanan kemudian, Rendra berniat mementaskan Nyai Ontosoroh dari buku Pramoedya Ananta Tour, namun urung di tengah jalan. Ada pihak lain yang menangani dan Rendra serta Ken Zuraida tidak terlibat.
Menyiasati Kreativitas
Contoh kecil ini mengingatkan saya atas sikapnya yang keras, kenyal, bukannya tanpa kompromi. Namun, kompromi itu dilakukan dengan kondisi dan syarat tertentu. Ia tak merasa menjadi kecil atau terlalu besar untuk tampil satu panggung bersama dengan "yang bukan penyair".
Di pihak lain, ia tetap sama seriusnya ketika tampil bersama atau sendirian. Juga kerinduannya sekaligus kegeramannya untuk bisa pentas dengan ratusan anak buah, seperti dalam Panembahan Rekso, atau hanya berdua di panggung.
Hal yang sama ketika saya menyutradarai video klip dari Kantata Takwa, di mana Rendra juga muncul sebagai pembaca puisi. Pada pemain lain, termasuk Setiawan Jody, saya bisa menyarankan baju yang dikenakan agar secara visual warnanya tidak bertabrakan dan disesuaikan dengan lagu. Pada Rendra yang setia dengan model jaket-baju jean biru, saya harus merayu dan meyakinkan lebih lama. Hasilnya? Kompromi kecil-kecilan. Adegan tetap memakai jaket sekaligus-baju, diberi banyak asap, dan baru berganti kostum lain untuk lagu yang berbeda. Rendra menerima itu dan lagi-lagi dengan syarat. "Dik, jangan diulang-ulang ya."
Kalau saya jelaskan bahwa itu hal yang biasa, Rendra selalu punya alasan,"Emosi saya tidak sama. Kamu harus bisa sekali ambil." One take OK, bukan jurus gampang meskipun menggunakan empat-lima kamera sekaligus. Tapi, kepada semua kru, saya sampaikan untuk bekerja semaksimal mungkin. Karena tak akan ada take two. Bukan karena Rendra tidak mau, tapi saat break pasti sudah tak ada di tempat.
Barangkali ini sedikit memberi gambaran bagaimana sang kesatria yang sekaligus pendeta ini menyiasati hidupnya yang panjang ketika perlakuan penguasa menghabisinya. Ketika pentasnya dilarang, ketika ia ditahan, ketika hidup harus terus berjalan dengan puluhan anak buah, dengan anak-anak kandung, dengan beban keperluan ekonomi keseharian yang hanya dihasilkan dari kegiatan seni. Dengan sangat mudah, misalnya saja, Rendra "memakai gincu" - istilah untuk mereka yang melacurkan seni - dengan para penguasa bisnis, atau merapat menjadi alat partai politik, atau mengendurkan kritikannya pada penguasa.
Namun terbukti, bukan itu yang terjadi. Kependetaan dalam budaya tetap terjaga dalam jarak, kesatriaan dalam seni malah menempatkan diri di tengah pergumulan masyarakatnya, tetap bersuara garang, nyaring, bahkan sampai di luar panggung seni. Bukan hanya dari kampus ke kampus, atau ke gedung DPR di Senayan, melainkan juga orasi budaya yang justru menegaskan sikap yang dipilih.
Mengenang Rendra adalah keberanian untuk menghargai suatu sikap yang bisa berbeda, kerelaan untuk menjaga suatu sikap terbuka untuk menerima dan melancarkan kritik keras, sebagai bagian dari suatu proses. Dalam hal inilah Rendra "hadir dan mengalir" - menurut istilahnya sendiri - dan dari sikap inilah seharusnya kita memahaminya. Pengakuan akan hal ini sebagai bagian dari Jalan Budaya, pada akhirnya telah diterima dan berlaku di kalangan seniman dan pekerja seni di Indonesia. Apakah pengakuan yang sama akan datang dari pemerintah, itu soal lain. Apakah pemerintah akan menghadirkan sosok kesatria-pendeta pada seniman lain, jauh lebih berarti dari sekadar membuat peringatan dan berhura-hura. Tuhan begitu baik memberikan Rendra lahir dan besar di negeri ini, dan kita berdosa kala menyia-nyiakannya.
Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 10 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment