KEDUA lelaki itu bertarung dengan nafsu untuk saling membinasakan. Fajar Satriadi (Lelaki 3) berdiri di ketinggian, menggeliat, lembut tetapi menyimpan keganasan. Tubuhnya tegap dengan rambut terurai, mulutnya terus mengeluarkan suara aneh sekaligus menyeramkan. Di kedua lengannya melilit sepasang lonceng kecil. Denting lonceng di sela-sela suaranya yang menggeram panjang menciptakan keheningan yang menakutkan, seperti lonceng kematian. Dan di bawahnya, Alfyanto (Lelaki 4) menciptakan imaji kekerasan dalam sebuah pertarungan yang saling menghancurkan. Tubuhnya yang liat bergerak cepat dalam paduan jurus silek (silat) Minang-kabau dan idiom-idiom tari minang. Lompatan dan pola lantai yang menggelepar-gelepar. Atau, ia menciptakan imaji kehancuran lewat perlakuan terhadap sebuah ranjang besi berwarna merah, diputar dan dijungkirkan.
FAJAR Satriadi (Lelaki 3) dalam repretoar "Phalus Tarung Atau Candu dan Ingatan" karya kolaborasi Ine Arini, Fajar Satriadi, dan Sulistyo Tirtokusumo ketika tampil dalam Bandung Dance Fastival (BDF)II di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung, Sabtu (22/5).* Mega A. Noviandari
Pertemuan kedua lelaki yang ganas itu adalah pertarungan yang mendebarkan. Sebuah metafora untuk menghadirkan interaksi simbolis ihwal naluri kekerasan dalam tubuh para lelaki, sebelum keduanya kemudian roboh. Sementara di latar panggung, sebuah animasi citra jam dinding besar de-ngan jarum detik yang bergerak ke arah sebaliknya. Gerak yang membawa ingatan setiap orang pada waktu dan ruang masa lalu yang minta dimaknai sebagai sejarah. Dan sejarah yang dikehendaki di atas panggung itu adalah sejarah kekerasan manusia yang berasal dari tubuh para lelaki. Tubuh yang menjadi tempat kekerasan mesti dijaga, dirawat, dan dilanggengkan hingga hari ini.
Sebaliknya, tubuh perempuan (Ine Arini) adalah tubuh yang disimbolkan sebagai ibu, sebagai bumi. Tubuh yang menyimpan dan merawat kemurnian kehidupan. Ia adalah tanah yang diam, keheningan yang menyimpan dan merawat kemurnian dan harmoni kehidupan manusia. Tubuh perempuan adalah dunia keheningan, seperti alam semesta itu sendiri. Ia berdiri di atas ranjang merah yang tampak menyeramkan dengan sikapnya murung, tetapi tetap tenang dan agung.
Tubuh perempuan adalah tubuh korban yang memilukan. Dan tubuh itu jugalah yang kembali dengan sabar mengumpulkan berbagai serpihan kehancuran, menyatukannya kembali seraya memberi harapan. Akan tetapi, sejarah manusia tak pernah ditulis atas nama mereka. Jarum jam yang berputar ke belakang tetaplah merupakan jejak memilukan dari sejarah para lelaki.
Inilah salah satu bagian dari enam adegan yang dihadirkan dalam pertunjukan "Phallus Tarung Atau Candu & Ingatan" karya kolaborasi Inne Arini, Sulistyo Tirtokusumo, dan Fajar Satriadi. Pertunjukan ini berlangsung di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung, Sabtu (22/5), pada malam terakhir pelaksaan Bandung Dance Festival (BDF) II (20-22 Mei 2010). Meski hadir dalam festival tari, tetapi pertunjukan ini memadukannya dengan beberapa genre lain, dari mulai teater, puisi, seni-rupa, hingga video animasi. Tampaknya inilah yang menjadi pembeda "Phallus Tarung atau Candu & Ingatan" dengan sejumlah pertunjukan lainnya dalam BDF II.
**
PERTUNJUKAN ini menghadirkan delapan adegan. Meski sesungguhnya masing-masing adegan bisa dimaknai saling berdiri sendiri, tetapi keseluruhannya tetaplah berkonsentrasi pada ekplorasi tematik ihwal sejarah kekerasan manusia. Mungkin satu hal yang bisa dianggap menyatukan, kedelapan adegan itu lebih menekan pada ritme pertunjukan. Irama inilah yang membangun struktur ruang emosi dalam berbagai adegan, nyaris menyerupai sebuah narasi konflik, sehingga mencapai puncak konflik dan mengendur kembali di ujung pertunjukan sebagai epilog yang merepresentasikan semacam jejak permenungan.
Keterpisahan kedelapan adegan ini tampaknya merupakan upaya menyiasati eks-plorasi bentuk yang memadukan berbagai genre yang ada di dalamnya, sekaligus juga mempertemukan seluruhnya dengan tetap menjaga konsentrasi pada gagasan kesadarannya. Pada dua adegan awal, "Introduksi dan Corona", pertunjukan menghadirkan aktor Ayi Kurnia Iskandar (Lelaki 1). Dengan latar jarum jam yang bergerak ke arah sebaliknya dan lampu yang remang dan murung, Ayi muncul hanya untuk mengepel lantai. Ia seperti hendak membersihkan peristiwa-peristiwa masa lalu yang pernah terjadi.
Lalu suara berat rekaman suara Bertold Damhausser membacakan puisi "Corona" karya penyair Jerman Paul Celan. Meski puisi ini dibaca dalam bahasa aslinya, tetapi karakter suara Bertold Damhausser yang terdengar menggeremang berat dalam peng-ucapan Jerman itu mampu menghadirkan suasana pertunjukan yang terasa menekan. Suara Damhausser seperti gumam yang menakutkan, meski mungkin penonton tak mengerti apa yang diucapkannya. Puisi ini melukiskan kesadaran manusia ihwal waktu, ingatan, dan kengerian akan kehilangan; kami saling mencintai bagai candu dan ingatan .
Kedua adegan ini menjadi semacam pengantar untuk memasuki kekerasan yang mendebarkan dalam sejarah dunia lelaki. Dan itu muncul di antara penonton, ketika Fajar Satriadi berjalan menuju panggung dengan suara menggeram. Dengan teknik vokal dan olah pernapasannya, suara itu seolah tidak keluar dari mulutnya, tetapi dari seluruh tubuhnya. Suara yang menggeram panjang menyerupai suara hewan, dengan suara lonceng di tangannya. Di pusat panggung, tubuhnya bergerak lembut.
Tangan dan kakinya menciptakan keheningan yang menakutkan di tengah raungnya yang panjang dan berat. Di sini, tubuh Fajar adalah tubuh dengan idiom dan style gerak yang tampaknya tak lepas dari gurunya Sardono W. Kusumo. Lebih dari sekadar karena berpakain serbaputih dan rambut panjang semacam itu, jejak Sardono juga amat terasa pada ekspresi idiom tubuhnya. Ia lalu memasang kelenting (kalung sapi) ke lehernya. Inilah dunia lelaki. Dunia yang dikodratkan untuk selalu bertahan dan bertarung.
Dan inilah juga yang dilakukan oleh Alfyanto. Lelaki berikutnya yang merepresentasikan energi kekerasan lelaki dalam bentuknya yang lain. Tubuh lelaki sebagai sejarah kekerasan terbaca pada bagaimana ia memerlakukan ranjang. Tubuh di situ menjadi subjek, bergerak liat menjungkirbalikkan ranjang, dengan nafsu kekerasan yang penuh kuasa.
Kekerasan dalam sejarah tubuh lelaki dalam juga menjelajah ke ruang peristiwa yang lain, seolah hendak merangkum sejumlah fakta yang pernah terjadi. Dan itu dilakukan lewat puisi "Fuga Maut" karya Paul Celan, penyair Jerman yang pernah mengalami kekejian kaum Nazi. Dengan mendorong ranjang dan berdiri di atas besinya, Ayi Kurnia Iskandar mengucapkan puisi dalam adegan monolog yang dramatik. Demikian pula ketika Ine Arini duduk dan berdiri di atas ranjang yang ditarik oleh Ayi Kurnia Iskandar sambil terus mengucapkan puisi Paul Celan; Susu hitam dini hari kami reguk saat senja/kami reguk siang dan pagi kami reguk malam/kami gali kuburan di udara di sana orang berbaring tak berdesakan//...
Dan berdiri di atas ranjang yang bergerak pelan, dengan selendangnya, Ine tegak menciptakan idiom-idom tari bedhaya yang kontemplatif. Di situ dunia perempuan hendak dihadirkan sebagai antitesis dari sejarah dunia lelaki yang beringas dan penuh kekerasan. Dunia perempuan adalah korban sekaligus kekuatan yang mengutuhkan kembali setiap kesedihan dan kehancuran. Perempuan di situ menjadi simbolisasi sejarah di balik sejarah milik para lelaki. Sejarah yang menjaga peradaban lewat kesabaran seraya tetap setia merawat harapan.
Sebagai paduan beberapa genre seni, pertunjukan ini terasa memosisikan aktor dan puisi sebagai narator yang mendeskripsikan lanskap kesadaran ihwal kekerasan sejarah para lelaki. Demikian pula dengan artistik dan video animasi yang tak hanya hadir dalam pengertiannya yang fungsional, melainkan menjadi lanskap ruang peristiwa yang menarik.
**
MENGHADAPKAN sejarah manusia yang menjadi kekuasaan tubuh para lelaki dan dunia perempuan di seberangnya, pertunjukan ini menghadirkan sikap hitam putih yang tegas. Artinya, ia tak berpretensi menjadikan keduanya sebagai sebuah sintesis. Sejarah manusia yang menjadi milik tubuh para lelaki adalah sejarah yang selalu memilukan. Sebaliknya, tubuh perempuan merupakan tubuh dengan kesadaran yang menyimpan kemurnian hakikat manusia dan penciptaan harmoni. Namun, tubuh perempuan inilah yang selalu dilupakan sekaligus yang senantiasa menjadi korban.
Sebaliknya pula, meski bergerak dengan kesadaran yang hitam putih, pertunjukan ini juga tidak membebani dirinya dengan gagasan ihwal perlawanan dunia perempuan. Ketiga koreografer dan Herry Dim sebagai sutradara, tampaknya membiarkan dunia perempuan tetap dengan kodratnya sebagai perempuan yang melakukan "perlawanan" lewat kesabaran menjaga dan merawat harapan, seraya mengutuhkan kembali apa yang telah dihancurkan oleh sejarah para lelaki.
Pertunjukan ini berujung ketika ibu bumi duduk memeluk seorang anak perempuan, di tengah reruntuhan tubuh para lelaki. Sebuah pemandangan yang ingin meninggalkan jejak kesadaran ihwal perempuan sebagai representasi dari kekuatan dan kesabaran dalam merawat harapan. Dan tentu itu akan tetap terbawa dalam ingatan penonton selepas pertunjukan, seandainya saja panitia tidak lantas "menindih" ingatan itu lewat dentuman musik dan kilatan-kilatan blitz pertunjukan hip-hop "Outer-Limit" Arinto Sapto Nugroho. Sayang sekali, pergantian dari dua jenis pertunjukan yang berbeda karakter suasananya ini telah membuat panggung pertunjukan malam terakhir BDF II lebih menyerupai pesawat televisi yang diganti salurannya. (Ahda Imran)***
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010
No comments:
Post a Comment