-- Agus Wibowo
SIAPA sangka negara-negara adidaya dengan teknologi maju ternyata memiliki segudang sastrawan besar? Jerman, misalnya, memiliki sastrawan Goethe, Herman Hesse, dan Heinrich Boll. Inggris memiliki Shakespeare, Robert Frost, TS Eliot, dan Russel. Rusia memiliki Pushkin, Tolstoy, Destoyevsky, Chekov, Pasternak, Solzhenitsyn, dan Brodsky. China memiliki Lu Shun, Li Tai P, dan Wang Wei, sementara India memiliki Rabindranath Tagore, RK Narayan, dan sebagainya.
Pertanyaannya, adakah korelasi kuantitas sastrawan di sebuah negara dengan kemajuan teknologi? Tentu saja ada. Bagi Putu Wijaya (2007), besar-kecilnya apresiasi sastra memengaruhi kemajuan teknologi sebuah bangsa. Apresiasi terhadap sastra, lanjut Putu Wijaya, akan membawa masyarakat bertamasya di dunia imajinasi—yang luas tak terkira.
Imajinasi inilah yang akhirnya memberi inspirasi, sekaligus mengilhami penciptaan berbagai peranti kehidupan, termasuk teknologi. Pendek kata, semakin banyak sastrawan besar di sebuah negara, akan menyumbang keluasan imajinasi, yang selanjutnya menjadi pemicu kreativitas bangsa itu.
Imajinasi yang terlahir dari sastra menjadi amat penting. Sampai-sampai, seorang Einstein yang dikenal sebagai bapak penemu teori relativitas menegaskan: imagination is more important than knowledge. Ungkapan Einstein itu tentu tidak muncul tiba-tiba, tetapi karena ia merupakan pemain biola dan penggemar berat puisi-puisi penyair Wordsworth dan Mary Shelley. Einstein ternyata juga mengikuti jejak Alfred North Whitehead—seorang ahli matematika sekaligus pengarang karya monumental Principia Mathematica (1910)—yang juga penggemar berat Wordsworth dan Mary Shelley.
Sumber inspirasi
Tidak salah jika para pemikir besar dan inovatif di berbagai disiplin ilmu memiliki latar belakang sastra yang kuat—setidaknya penikmat sastra. Sebut di antaranya Edward W Said, yang membongkar epistemologi orientalisme sambil membuka pintu poskolonialisme; Michel Foucault, yang mengadakan analisis wacana untuk melihat prawacana; atau Antonio Gramsci, yang melihat sastra sebagai medium pembaruan moral dan untuk mengungkapkan ideologi- ideologi kelompok sosial.
Bahkan, beberapa ilmuwan ternama, seperti astronomer Carl Sagan, kosmolog Free Dyson, dan rocketry Wernher von Braun, konon mengawali karier mereka dari kegemaran membaca sastra fiksi-sains.
Seperti saat munculnya pandangan atau teori Heliosentris (matahari sebagai pusat orbit) yang dilontarkan Copernicus tahun 1512. Para ilmuwan kala itu bereaksi kaget dan kagum. Anggapan mistik pun hinggap, seolah Copernicus memiliki kemampuan supranatural, linuuwih, atau mempunyai ilmu gaib karena mampu meramal atau meneropong masa depan (weruh sak durunge winarah).
Tentu saja anggapan mistis itu dusta pikiran belaka. Copernicus bukan Nostradamus atau Ronggowarsito. Ia adalah ilmuwan sejati yang ternyata, lebih dulu dari itu, ia ternyata seorang pegelut sastra, seorang sastrawan.
Posisi minor sastra
Bagaimana dengan bangsa ini? Apakah mereka—ya kita ini—memiliki cara pandang yang sama? Menempatkan sastra sebagai bagian integral—jika tidak sentral—dalam upaya pengembangan kebudayaan kita? Menjadi salah satu sumber penting perluasan imajinasi, pertumbuhan ilmu, dan pada akhirnya penciptaan-penciptaan teknologis?
Kenyataan yang berlaku ternyata tidak seindah gambaran di atas. Sastra bukanlah hal penting, apalagi fundamental, dalam ritus kehidupan kita sehari-hari. Dibanding dengan dimensi kehidupan lainnya, katakanlah politik, ekonomi, hukum, bahkan hiburan, misal saja, sastra masih berposisi minor. Bahkan, mungkin pegiat sastra sebagian masih dianggap memiliki ”kelainan”. Stigma yang muncul, antara lain, karena sastra tidak mampu memberi garansi pragmatis: ia mencukupi para pegiatnya dari kebutuhan ekonomis/finansial, sebagaimana yang menjadi tuntutan orangtua pada anaknya. Setidaknya belakangan ini.
Bagi kebanyakan ilmuwan dan praktisi pendidikan kita, imajinasi—yang merupakan basis sastra—dianggap tidak bermanfaat. Beda dengan pengetahuan (knowledge) yang merupakan basis sains. Maka, pembelajaran dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi hanya diarahkan pada penguasaan pengetahuan.
Bila kita mau mengikuti logika Einstein di atas, sia-sialah kita mengejar pengetahuan jika tak ada imajinasi sebagai sumber energinya, sebagai bahan bakarnya. Dan, tambang utama untuk energi tergantikan itu tidak lain adalah sastra. Imajinasi adalah ruang yang harus dibuka seluasnya dalam sistem pendidikan kita.
Dalam sistem ini, pengajaran sastra tidak lagi ditempatkan sekadar sebagai sebuah ”pengetahuan” yang berisi hafalan tentang nama sastrawan, bentuk puisi, periode sastra, atau satu dua contoh karyanya. Pengajaran sastra yang utama adalah pengembangan dunia imajinasi anak seluasnya demi apresiasi dan demi kreasi.
Bila tidak, kita seperti kapal tua yang kian karam sejak negeri ini diperintah Orde Baru. Sejak sastra dipinggirkan dan dinafikan, serta dianggap berbahaya karena berpotensi merusak stabilitas. Imajinasi dipangkas, apresiasi dimandulkan, dan kreasi dibuat macet. Maka, jadilah bangsa ini sekumpulan manusia yang kering: dalam imajinasi, pemahaman hidup, serta ide atau kreativitasnya.
Untuk itu kebebasan, setidaknya dalam tiga hal itu (imajinasi, apresiasi, dan kreasi) harus diberi ruang selapangnya dalam dunia pengajaran kita. Dunia simbolik, sebagaimana sastra, menjadi dunia penting dalam sistem kognisi kita karena di situlah sebenarnya kebudayaan dan keadaban kita ditentukan. Dulu dan di masa datang.
Apa dunia pendidikan kita mampu menyelenggarakan itu semua? Selamanya tidak jika birokratnya hanya berisi manusia yang lebih mengedepankan portofolio, capaian-capaian pragmatis, bukan strategis, apalagi hanya berurusan dengan mempertahankan kekuasaan. Pendidikan, generasi muda, masa lalu, dan masa depan terlalu mewah untuk dikorbankan karena itu.
* Agus Wibowo, Pegiat Komunitas Aksara Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 15 Mei 2010
No comments:
Post a Comment