-- Hardi Hamzah*
OIDIPUS Rex yang dipentaskan Rendra dalam suatu anonim budaya terhadap kekuatan kekuasaan. Ini mungkin simpul sederhana dari sebuah nagari (baca: nagari dalam istilah Babad Niti). Nagari dalam istilah Babad Niti adalah suatu bangsa yang berkembang atas penindasan bangsa lainnya.
Mulai dari Sriwijaya, Sailendra, Majapahit, Mataram, bahkan sampai era reformasi, kita memang ditaklukkan oleh kekuatan kekuasaan. Kaulo cilik yang kerap kali disunting Y.B. Mangun Wijaya, ternyata dapat dikemas dengan baik lewat semangat Kali Code, dus bukan kekuatan kekuasaan.
Kalaulah asumsi di atas benar, maka rentetan sejarah kita juga adalah rentetan antara damai dan konflik, yang pada gilirannya membuahkan sparatis dalam pengertian luas. Apakah itu sparatis budaya dalam arti seniman terkantuk-kantuk dengan keakuannya, dan atau pengelola budaya cenderung memproyeksikannya ke dalam institusi bisnis.
Di sinilah kemudian kita teringat roman Belenggu karya Armin Pane yang sedemikian kukuh dengan egoisme masing-masing. Kita, setidaknya ketika melupakan lagu Indonesia Raya, maka kita telah tercabik dalam kekuatan kekuasaan yang kemudian menjadi budaya politik centang perenang.
Dalam anak nagari, biasanya orang memberi upeti, biasanya orang menyempitkan birokrasi, yang tak biasa adalah kawulo cilik dekat dengan struktur kekuasaan, bahkan secara praksis orang yang memberi uang pada kaula cilik diberangus lewat perda. Inilah, yang barangkali beberapa tahun ratus silam dikenalkan oleh Platto, bahwa individual satu dengan yang lain harus mengenal nuraninya masing-masing. Rendra menyebutnya negara batin.
Dalam posisi itu, kawula cilik hanyalah penunggu wangsit, ia memainkan peran dalam budaya politik, dan tidak tersentuh oleh para seniman jalanan. Bisa saja kita beranjak dari suatu kosa kata yang diperkenalkan Rembrant lewat kanvasnya, di mana di dalam lukisannya berjudul Pojok Runah Tua, jelas terlihat kawula cilik bancakan untuk juga ikut makan humburger, atau setidaknya terlukiskan kawula cilik yang tidak tersingkirkan.
Bahkan, Muhammad saw., Rasul kita mengajarkan bagaimana berbudaya membangun kawula cilik, meski keyakinannya berbeda. Cerita sederhana tentang Rasul menyuapi pengemis Yahudi, adalah sekaligus pula membuyarkan kekuatan kekuasaan dan struktur budaya politik lewat keyakinan semu.
Juga demikian pula halnya dengan sahabat Umar dan zaman kenabian lainnya. Mereka adalah pemimpin nagari dengan syariah dan ritualitas masing-masing. Sementara kita, di tengah empasan badai devisit neraca anggaran, cadangan devisa yang rawan, kemiskinan merajalela, kebodohan dan kesehatan tersingkir sedemikian jauh, segelintir anak nagari yang terdiri dari ribuan wakilnya, hanya berada dalam terminologi Kawula Cilik Menunggu Wangsit.
Lalu, apakah yang kita akan kemas dalam struktur kebudayaan di tengah kekuatan kekuasaan, toh lengahnya kekuatan kekuasaan, negeri sekecil Malaysia mampu merobek kebudayaan kita. Kebudyaan, sesungguhnya bisa menjadi subjek di antara kekuatan dan kekuasaan, ia menjadi subjek dalam proses konversi di legeslatif, semisal membudayakan kedisiplinan dari tingkat yang paling sederhana (baca: hadir dan memenuhi quorum).
Dalam pemetaan lain kebudayaan yang kerap diartikan sebagai berbudi luhur, adalah patut disadarkan kepada kawula cilik, bahwa aspirasi ronggeng, debus, sakai sambayan, ngelabuh, dan beberapa perspektif kebudayaan sesungguhnya harus ditata dalam suatu komisi, tentu komisi yang berbudi luhur.
Dalam konteks ini, penulis mengingat, ketika Yapi Tambayong atau yang lebih kita kenal dengan Re My Si La Do, yang dengan bijak berujar, bahwa sesungguhnya seluruh kesenian itu berbudi luhur. Ini berarti simultan elemen kebudayaan adalah kekuatan tersendiri bagi setiap individual. Namun, tambah Re My Si La Do, setiap individual acap takut dengan dosa-dosanya yang ternyata dibutuhkan dalam kehidupan.
Nampaknya Re My Si La Do benar, terlebih lagi bila kita melihat wawasan kebangsaan. Dalam makrokosmos anak nagari, sebagaimana yang ditulis dalam Babad Tanah Jawi, jelas serat-serat atau Mocopat Sinom menyebutkan ada subordinasi kekuatan kekuasaan.
Bisakah kita, kemudian melihat kekuatan kebudayaan di tengah kekuasaan itu sendiri. Proses ini memang panjang, end toh tidak juga tidak terbuka peluang. Kawula cilik yang tertindas di antara kekuatan dan kekuasaan, seyogianya tidak menjadi instrumen tetapi cenderung menjadi unsur untuk mengimbangi kerakusan kekuatan kekuasaan.
Toh kita dapat belajar dari sparatisme, plus minusnya kepemimpinan Bung Karno dan Pak Harto. Pada titik ini, barangkali sentuhan kebudayaan dapat memainkan perannya. Masuknya para seniman dan atau artis dalam lembaga legislatif, sesungguhnya bisa membangun konstruksi kebudayaan dalam pengertian yang universal.
Kalau ini tidak juga dapat terimplementasi, maka negeri yang gemah ripah loh jinawi ini, tak ubahnya bagai nagari kaum kawula cilik di era kerajaan. Ini tentu saja tidak benar.
Sebab, keberantakan sosial yang muncul karena tereduksinya kebudayaan di tengah kekuatan kekuasaan, juga merupakan titik balik dari batu pal sejarah yang subjektif. Di mana di tengahnya elite politik tak mampu melihat kebudayaan sebagai subjek yang objektif.
Negeri ini memang hampir celaka, perlahan kita berjalan tidak menampakkan kaki, dus mendongakkan muka. Sebuah hubungan yang tidak antisipatif antara kaulo cilik yang disubordinasi kultur estetikanya oleh kekuatan kekuasaan. Apabila proses ini berjalan semena-mena, maka revolusi sosial, adalah pilihan yang mungkin bagi kawula cilik. Ini sebagai resultan dari tergerusnya estetika, kerohanian yang bermuara dari kebudayaan mereka.
Kendati memang membaca siklus kebudayaan di Indonesia, sama halnya dengan membaca buku tebal yang tiak pernah tamat. Dan, sayangnya buku tebal itu hanya dibaca oleh segelintir komonitas yang peduli terhadap negeri ini. Anak-anak republik dalam kancah jelata, sekelebat ingin mendedikasikan dirinya, tapi kekuatan kekuasaan tidak terlalu longgar untuk memberi ruang kepada mereka.
Dengan demikian, tak heran apabila kawulo cilik yang menyimpan kekuatan unsur kebudayaan, tak urung hanya menjadi political game dari seluruh elemen yang mengatas namakan elite (politik, birokrasi, dan institusi lainnya).
Jauh sudah rasanya kita meninggalkan kawula cilik dan kebudayaan di tengah kekuatan kekuasaan. Pemahaman kita tentang proses kebudyaan itu sendiri rancu dengan apa yang disebut oleh George Mc. Turnan Kahin dalam bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia, mengajak tahu bahwa lorong kebudayaan Indonesia hanya bisa didapat dan diidentifikasi dari dua model nasionalisme dan revolusi.
Barangkali itulah sebabnya mengapa nasionalisme bagi funding father kita dan revolusi juga bagi funding father kita, setidaknya pada kepemimpinan Bung Karno, meletakkan pilar yang mantap tentang nasionalisme dan revolusi di atas muara kekuatan dan kekuasaan. Pun simultan pula melemparkan jauh-jauh anasir-anasir kebudayaan.
Maka, kebudyaan dalam kawah candra dimuka kawula cilik, rasanya seumur republik ini hanya dicabik-cabik, dilumat dan dikunyah, kalau tidak ditelan begitu saja. Setidaknya kemudian dimuntahkan dalam bentuk seremonial, ya, katakanlah semacam Festival Krakatau. Dalam lingkup yang lebih umum, kita terseret ke arah disorientasi.
Kubangan kekuatan kekuasaan, yang bau anyirnya terendus dari baskom ketidakmengertian kawula cilik, memang patut diselamatkan. Kawula cilik sungguh sarat kebudayaan, mereka lebih berbudi pekerti ketimbang kita, mereka lebih mempunyai rasa ketimbang irasionalitas kaum kaya. Di antara jurang kesenangan itulah, hendaknya mulai dipikirkan institusi kebudayaan yang secara konkret melibatkan kawula cilik.
* Hardi Hamzah, Peneliti Madya pada Institute for Studies and Consultation of Social Sciences (INSCISS)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment