Sunday, October 18, 2009

Teddy Muhtadin, "Kritik Itu Alat Perubahan"

SECARA umum bagaimana Anda melihat perkembangan tradisi kritik dalam sastra Sunda dalam korelasinya dengan perkembangan sastra Sunda itu sendiri? Dari mulai wacana pemikiran, estetika, hingga regenerasi?

Kritik dalam sastra Sunda itu tertinggal jauh di belakang perkembangan karya sastranya. Namun, walaupun lamat-lamat, kita pun tak bisa menampik bahwa ada juga jejak kritik dalam perkembangan sastra Sunda. Jadi, kritik dalam sastra Sunda itu antara ada dan tiada. Ada karena hingga saat ini karya Sunda tidak pernah terlepas dari penilaian, baik melalui sayembara maupun melalui berbagai acara pembagian hadiah sastra. Tiada karena faktanya kini sulit menemukan kritik yang kreatif seperti yang pernah dilakukan oleh Rukasah S.W. ketika membicarakan lagu "Oyong-oyong Bangkong" atau Utuy Tatang Sontani ketika membicarakan Sangkuriang dan Si Kabayan. Kita pun susah menemukan kritik yang tajam seperti yang dipraktikkan Ajip Rosidi dalam Bébér Layar!, Dur Pandjak, atau Ngalanglang Kasusastran Sunda, atau kritik yang cerdas seperti yang pernah dipraktikkan Dodong Djiwapraja dalam pengantar buku Jamparing karya Etti R.S. Padahal, di taman sastra Sunda hidup karya-karya yang membanggakan seperti, Lain Éta, Lalaki di Tegal Pati, Ombak Laut Kidul, Nu Harayang Dihargaan, Jamparing, Blues Kéré Lauk, Sandékala, dan Pangantén. Hal seperti itu mengakibatkan wacana pemikiran tidak terbangun, estetika tidak dianggap penting, dan regenerasi terabaikan.

Bagaimana Anda melihat semacam hubungan antara tradisi kritik dan karakter masyarakat Sunda itu sendiri?

Kritik itu alat perubahan. Masyarakat yang ingin berubah akan menganggap penting adanya kritik. Tetapi sebaliknya, bagi masyarakat yang tidak ingin berubah atau berorientasi ke belakang, jelas kritik itu semacam "bidah" yang harus dijauhi. Dengan demikian, memang ada hubungan antara tradisi kritik dan karakter masyarakatnya. Nah, ketika kita melihat bahwa kritik dalam sastra Sunda kurang berkembang, jelas, hal ini menandakan karakter masyarakat Sunda yang kurang menghargai kritik. Tetapi, tunggu dulu, masyarakat Sunda itu tidak homogen, baik secara sinkronis maupun diakronis. Secara sinkronis kita tahu bahwa kritik sastra Sunda terutama ditulis oleh sebagian kecil golongan tertentu, yakni kaum terdidik yang terlibat dalam budaya tulis. Secara diakronis kita pun akan bersua dengan Sunda pada masa silam. Dalam naskah Siksa Kandang Karesian, yang merupakan naskah Sunda tertua yang ditulis pada abad ke-16, secara eksplisit kritik itu dimuliakan.

Diakui atau tidak, tradisi kritik dalam perkembangan kesusastraan akhir-akhir ini kehilangan geregetnya. Akibatnya, nyaris tak ada isu apa pun di tengah gegap-gembitanya penerbitan karya sastra dan berbagai hadiah sastra. Dan tampaknya hal ini juga terjadi dalam sastra Sunda.

Ya, memang demikian. Isu kritik sastra yang menarik akan muncul dari sebuah pembacaan yang cerdas, cermat, dan mendalam atas kehidupan sastra. Jika hal ini tidak dilakukan apa yang dapat kita harapkan?

Hadiah Sastra Rancage, LBSS, dan sejumlah hadiah lainnya, bisalah diandaikan sebagai bagian dari infrastruktur kritik. Tetapi, tampaknya, itu semua hanya berhenti pada pengumuman siapa-siapa yang menjadi pemenang, sehingga ada anggapan berbagai hadiah sastra itu adalah kritik bisu.

Meskipun dapat dianggap sebagai bagian dari infrastruktur kritik, namun hadiah-hadiah sastra itu sebenarnya memiliki karakter yang agak berbeda dengan kritik. Hadiah sastra cenderung final dan tertutup, sedangkan kritik sastra cenderung mengawali dan terbuka.

Bagaimana peran media berbahasa Sunda dalam perkembangan tradisi kritik? Dan sampai sejauh mana peluangnya, terutama dalam keberbagaian media hari ini yang ditawarkan oleh "cyberculture"?

Kritik sastra Sunda lahir, tumbuh, dan berkembang di dalam media berbahasa Sunda. Jika kita ingin mengembangkan kritik sastra Sunda, maka yang harus dikembangkan pertama kali adalah medianya. Merebaknya media sekarang yang ditawarkan cyberculture menurut hemat saya adalah peluang yang baik. Tradisi kritik yang merupakan bagian dari tradisi tukar pendapat publik akan lebih mudah, murah, dan cepat untuk diakses.

Apa yang Anda bayangkan jika kondisi sastra Sunda minus kritik semacam ini terus berlangsung?

Pincang. Tanpa kritik sastra, kita akan sulit menyusun sejarah sastra, apalagi teori sastra. Pertanyaan awal Anda soal estetika sastra Sunda, mungkin, juga mustahil akan terjawab. Bukankah estetika lebih leluasa diperdebatkan lewat kritik sastra? Jika hal ini terus berlangsung, penulis dan pembaca akan kehilangan orientasi. Penulis akan sulit mengukur keberhasilan estetis karya-karyanya dan pembaca akan kehilangan peta kesastraan. Sastra Sunda akan berjalan tak tentu arah. Kalaupun ada karya yang baik, semata-mata, lahir karena kebetulan. (Ahda Imran)***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 Oktober 2009

No comments: