Saturday, October 10, 2009

Pendidikan Gender Berbasis Sastra

-- Teguh Trianton*

TATKALA karya sastra banyak mengangkat isu ketimpangan gender, sastra dianggap turut berperan mengkonstruk bias gender. Karya sastra boleh jadi selalu merepresentasikan kondisi sosial budaya masyarakat di mana sastrawan tinggal. Sehingga ketika seorang sastrawan hidup dalam tekanan, maka karya sastra yang ditulis akan menyuarakan penolakan atas tekanan tersebut.

Nah, hal yang sama terjadi pada wacana gender atau gerakan feminisme. Banyak sastrawan yang secara sadar sengaja menulis atau menyuarakan isu gender dalam karyanya. Sehingga sastra sesungguhnya turut andil dalam mengkonstruk gerakan penyetaraan gender. Dengan metode bercerita atau berkisah, sastrawan dengan leluasa dapat menampilkan wacan gender tanpa menggurui.

Beberapa diantaranya adalah Ahmad Tohari yang menulis Ronggeng Dukuh Paruk (RDP). Novel ini mengisahkan relasi perempuan-pria di pedalaman Banyumas. Energi ideologi gender yang diangkat dalam RDP berlatar kehidupan seorang penari ronggeng di masa isu pemberontakan komunis di Indonesia.

Ayu Utami, beberapa novelnya juga mengankat wacana gender seperti Saman, dan Larung. Abidah el Khailiqi, karya puisi, cerpen dan novelnya banyak meneriakan isu bias gender.

Dalam novel Perempuan Berkalung Sorgan (PBS) dan Geni Jora, Abidah mencoba mengakat budaya patriarkhi dalam lingkungan tradisional pondok pesantren.

Sesungguhnya masih banyak sastrawan yang menyuarakan isu kesetaraan gender melalui karya sastra, baik puisi, cerpen atau novel.

Namun demikian tidak serta merta karya mereka berterima di masyarakat. Masuknya persoalan domestic kaum perempuan dalam karya sastra dituding turut berperan dalam mendeskreditkan posisi perempuan.

Ini terjadi pada pembaca yang belum paham bagaimana karya sastra bekerja. Atau bagaimana sastrawan melakukan ketaklangsungan ekspresi, menciptakan metafora sehingga pesan penolakan yang disampaikan terasa indah.Fungsi sastrawan adalah membuat manusia melihat apa yang sehari-hari ada di dalam kehidupan, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah diketahui.

Sastra sendiri memiliki dua cirri utama, yaitu indah (menyenangkan) dan berguna. Kedua ciri saling melengkapi sehingga keberadaan karya sastra patut diperhitungkan.

Sastra Feminim

Teori sastra feminis adalah teori yang menghubungkan gerakan perempuan dengan karya sastra. Teori sastra feminis banyak memberikan sumbangan perkembangan studi kultural. Sastra feminis berakar pada pemahaman mengenai inferioritas perempuan.

Teori sastra feminis berangkat dari teori feminisme. Feminisme ini menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Feminisme berusaha mendekonstruksi sistem yang dicurigai telah menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi, sistem hegemoni dan lahirnya kelompok subordinat.

Pendek kata feminisme menolak ketidakadilan masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki. Dalam karya sastra, permasalahan mengenai gender merupakan bentukan dari kebudayaan khusus bentukan budaya patriarki yang mendudukkan posisi perempuan sebagai inferior sedangkan laki-laki sebagai superior.

Fenomena peneterasi gerakan feminisme dalam karya sastra sesungghnya telah terjadi sejak lama. Sejak karya sastra ditulis dan bercerita tentang wanita. Ini dapat dibuktikan dengan melihat karya-karya para pengarang wanita, dan pria dari segala angaktan.

Pada masa Balai Pustaka muncul tiga pengarang wanita, yaitu Paulus Supit, Selasih dan Hamidah. Tema novel berkisar pada persoalan cinta yang tidak berjalan mulus dan perkawinan yang gagal.

Pendidikan PUG

Pengarusutamaan gender (PUG) kini menjadi isu paling actual dibicarakan. Dalam banyak kontestasi isu gender tak pernah kering dari pembahasan. Penetrasi isu mulai masuk wilayah pendidikan. Gender ditawarkan menjadi bagian penting dari kurikulum pendidikan. Dari sini kemudian muncul wacana pendidikan gender, yaitu sebuah proses internalisasi isu kesetaraan gender melalui jalur pendidikan formal.

Gerakan PUG melalui jalur pendidikan formal mulai ramai diperdebatkan. PUG yang lazim disebut sebagai gerakan feminisme ini bertujuan mengikis habis bias ketimpangan gender antara kaum pria dengan wanita. Salah satu strateginya dengan diterbitkannya Inpres No. 9 / 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Titik baliknya adalah keseteraan peran dan tanggungjawab antara kaum perempuan (feminim) dengan kaum laki-laki dalam segala aspek kehidupan.

Awal terjadinya ketimpangan gender sesungguhnya bermula dari pendidikan. Dalam sejarah pergerakan feminisme di Indonesia, yang dipelopori RA Kartini, gerakan emansipasi wanita sesungguhnya dilatarbelakangi oleh perbedaan kesempatan memperoleh pendidikan kala itu.

Lihat diantaranya; Pramoedya Ananta Toer dalam "Panggil Aku Kartini Saja", dan Siti Soemandari Soeroto,dalam "Kartini: Sebuah Biografi". Kartini mendobrak keterbelakangan kaumnya dari dominasi pria terutama dalam bidang pendidikan.

Ini membuktikan bahwa sejak awal perbedaan tingkat pendidikanlah yang menjadi faktor utama yang menurunkan derajat wanita sedikit lebih rendah dari pria. Yang terjadi kemudian adalah dominasi pria atas wanita dalam berbagai bidang kehidupan. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya patriarkhi.

Budaya ini sesungguhnya merupakan bentukan atau kontruk sosial masyarakat yang telah terjadi bertahun-tahun dalam sebuah proses pembangunan peradaban. Dalam sejarah relasi perempuan-laki-laki, masyarakat terlanjur menganggap kaum pria memiliki kelebihan dibanding wanita. Akibatnya pada fungsi-fungsi tertentu -dalam praktek pembangunan- wanita dianggap tidak mampu mengemban tanggung jawab.

Rendahnya derajat kaum perempuan sesungguhnya terjadi akibat rendahnya tingkat dan kualitas pendidikan mereka. Pendidikan adalah kata kunci untuk membuka kebuntuan gerakan feminisme.

Sudah sejak lama, sastra menjadi bagian integral dari pendidikan formal. Artinya ketika sastra mengankat isu feminisme, dengan serta merta sastra menjadi media alternatif internalisasi (pendidikan) gender di kalangan remaja.

Di sini Saya melihat, sastra memiliki nilai strategis atau bahkan menjadi pelopor media kampanye PUG yang efektif.

* Teguh Trianton, Penikmat Sastra, Staf Edukatif SMK Widya Manggala Purbalingga

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 10 Oktober 2009

No comments: