Sunday, January 27, 2008

Esai: Tafsir Budaya Mistisisme

-- E Tryar Dianto*

BUDAYA bukanlah sesuatu yang asli (genuine), tapi hasil konstruksi manusia setiap jamannya. Karena itu,setiap masa memiliki tafsir sendiri tentang kepemilikan budaya. Salah satu budaya yang mengakar kuat di masyarakat adalah mistisisme.

Dalam masyarakat Indonesia,budaya mistisisme hampir bisa ditemukan dalam setiap jengkal kehidupan. Masyarakat Jawa, misalnya, mengenal adanya upacara-upacara adat (slametan), kepercayaan terhadap makhluk halus (memedi, lelembut, tuyul, demit), dan keyakinan berbau sihir (santet, pesugihan, pelet). Khusus tentang mistisisme Jawa, Clifford Geertz mengeksplorasi dengan baik dalam karyanya The Religion of Java dan Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.

Dalam perkembangannya,budaya mistisisme ini dicuri oleh kehadiran industri.Fenomena mistis mengalami kapitalisasi setelah hadir dalam beragam tayangan mistis. Bahkan, acara-acara mistis ternyata mendapat animo cukup besar di kalangan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya acara serupa.Mulai dari film Bangsal 13, Jelangkung, Pocong, Suster Ngesot, Hantu Jeruk Purut, Bangku Kosong,Kuntilanak, Jembatan Casablanca,sampai dengan reality show yang pernah laris, seperti Dunia Lain, Gentayangan,danPemburu Hantu.

Dengan adanya “kapitalisasi mistis”, masyarakat Indonesia terpaksa menerima begitu saja (take for granted) tayangan tak rasional yang menumpulkan akal pikiran. Padahal, jelas bahwa fenomena demikian menurut indra dan akal –secara filosofis sebagai sumber pengetahuan? tak dapat diterima. Hal ini tentu akan berpengaruh buruk terhadap generasi ke depan. Tentu semua pihak tidak bisa tinggal diam. Harus ada upaya merebut makna mistisisme dari kontaminasi kapitalisasi yang menjerumuskan. Salah satunya dengan membajak tafsir budaya mistisismenya.

Mistisisme yang berkembang di masyarakat jangan lagi ditafsirkan sebagai kepercayaan terhadap eksistensi kekuatan mistis yang jelas tidak rasional. Ia harus ditafsirkan sebagai kearifan lokal, ikatan sosial masyarakat, dan kebutuhan akan nilai kebersamaan. Cara pandang ini jelas tidak menolak atau menghilangkan mistisisme. Mistisisme tetap diterima, tetapi dimaknai sebagai kebutuhan untuk menjaga harmonisasi hubungan masyarakat.

Upacara slametan, misalnya, tetap diterima, tapi dalam pemahaman sebagai upaya harmoni sosial. Slametan menjadi mekanisme untuk memelihara nilai-nilai lokal seperti kebersamaan,kekerabatan,dan kerukunan. Bukan dijadikan sebagai perantara meminta kekuatan di luar manusia (mistis) untuk memberi keselamatan. Dengan demikian,adanya slametan tetap bisa sebangun dengan perkembangan modernitas jaman.

Esensi Menafsirkan Mistisisme

Demi menyelamatkan generasi mendatang, sepatutnya dilakukan upaya membongkar nalar mistis menjadi nalar ilmiah.Dalam pengamatan penulis, selama ini tak banyak yang konsen terhadap isu ini.Usaha untuk mengubah cara berpikir dari nalar mistis ke nalar ilmiah tampaknya masih jarang sekali tersentuh.Padahal, jika kita tengok sejarah, revolusi Industri di Eropa 1700-an silam sebenarnya diawali dengan gelombang penolakan terhadap hal-hal takhayul.

Bagaimana kita mengharapkan tunas bangsa Indonesia menemukan teknologi baru, ide-ide cerdas, dan segudang penemuan lainnya, jika nalar mistis telah ditanamkan sejak kecil. Persoalan yang biasanya dihadapi adalah mereka yang berpikir rasional akan dituduh sebagai atheis. Seolah kepercayaan terhadap Tuhan berarti harus percaya kepada semua fenomena mistis. Jika menolak mistisisme, sama artinya tak percaya terhadap Tuhan (atheis), padahal kedua kepercayaan tersebut adalah sesuatu yang berbeda.

Contoh menarik seperti yang dilakukan Andre Kole, seorang pesulap (illusionist) sekaligus pendeta taat, bersama David Copperfield melalui Campus Crusade for Christ telah lama mewacanakan antimistis dengan pendekatan secara agamis. Dalam berbagai ceramahnya, dirinya selalu mengingatkan akan bahayanya berpikir ala mistisisme dan secara agama (Nasrani),mistisisme itu bertentangan. Melalui metodenya mind games,Andre Kole sering kali membongkar kepercayaan masyarakat Barat mengenai unidentifiedflyingobject(UFO),keahlian para cenayang,penampakan hantu,dan keajaiban-keajaiban lainnya.

Perkembangan dunia sulap, hipnotis, neurolinguistic program (NLP), ditambah pendekatan lain seperti psikologi, etnografi, dan sebagainya, kini mampu memberi penjelasan teoritis bagaimana proses mistis semacam itu bisa terjadi. Kekuatan semacamkebalapi,senjatatajam,tidur di atas paku, berjalan di atas serpihan kaca,kini tak harus dilihat sebagai ilmu kebatinan tingkat tinggi.

* E Tryar Dianto, Peneliti di Indonesia Rasionalist Institute (IRIs) Bidang Kajian Mystical Phenomenon

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 27 Januari 2008

No comments: