-- Silvester Petara Hurit*
PERHATIAN Pemerintah Daerah terhadap kesenian Sunda, seperti yang dikeluhkan kurator Taman Budaya Jawa Barat, Mas Nanu Muda dalam "Potret Buram Seni Sunda Kini" ("Khazanah", 5/01/08), patut disayangkan. Anggaran kesenian yang sudah minim dipangkas dalam dua tahun terakhir. Hal ini, berdampak pada semakin turunnya jumlah pertunjukan di Taman Budaya. Belum lagi mekanisme perolehan bantuan dana yang berbelit-belit, seleksi, serta sistem kurasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan transparansi dan profesionalitasnya.
Saya tidak begitu paham sejauh mana apresiasi serta wawasan pemerintah kita terhadap seni dan budaya. Setahu saya, sejarah pemerintahan (kekuasaan) dan peradaban manusia selalu menggandeng seni sebagai simbol atau barometer keagungan. Raja Prancis Louis XIV (1643-1715), mendirikan istana Versailles yang besar dan indah, merekrut seniman-seniman besar seperti Pierre Corneille, Jean de Racine, dan Molliere. Ia juga Mendirikan sekolah musik dan balet (Academie Royal de la Musique et de la Danse) yang merupakan lambang kejayaan dan kekuasaannya sebagai raja besar.
Ratu Elizabeth I yang memerintah antara tahun 1558-1637, menjadikan seni sebagai lambang kemartabatan dan kebesaran kekuasaan Inggris. Drama mengalami perkembangan yang luar biasa hingga lahir gaya Elizabethan Drama. Pada masanya, lahir para penulis besar antara lain Thomas Kyd, Christopher Marlowe, dan Shakespeare. Zaman Yunani dikenal karena pemikiran (filsafat), demokrasi, dan keseniannya. Dalam pidatonya, Perikles, seorang negarawan, dengan bangga berujar, "Sebagaimana zaman ini mengagumi kita, demikian pula abad-abad mendatang."
Jiwa agung Yunani dapat kita temukan hari ini dalam wajah patung perunggu Apollo. Pandangan yang kuat tentang jiwa manusia, hakikat kejahatan, akal budi, kebesaran jiwa, dan kepahlawanan dari orang-orang Yunani dapat kita jumpai dalam naskah-naskah drama dan tragedinya. Penguasa yang memikirkan masa depan negara atau wilayahnya, senantiasa apresiatif terhadap kesenian.
Tolok ukur suatu peradaban adalah kreativitas. Ruang eksplorasi kreativitas tak terbatas itu ada di kesenian, bagaimanapun kemajuan suatu masyarakat dipacu oleh kehendak inovatif dan hasrat menyimpang. Selain itu, seni selalu bergerak di wilayah ini. Menggali makna, menerobos, dan mendinamisasikan kehidupan. Lihat saja warisan besar peradaban dunia, Epos Mahabrata, Ramayana, candi Borobudur, dan lain sebagainya, rata-rata merupakan karya seni.
Negara-negara maju mengabadikan nama pujangganya sebagai nama lembaga atau duta kebudayaannya di luar negeri. Jerman dengan Geothe Institute-nya, Belanda dengan Erasmus Huis-nya. Generasi pendiri bangsa ini paham betul akan kesenian. Lagu "Indonesia Raya" gubahan Wage Rudolf Supratman dipakai sebagai media pergerakan nasional. Semboyan "Merdeka atau Mati!" lahir dari penyair Chairil Anwar dan kepal tangan perlawanan adalah karya tangan pelukis Affandi.
Tak sedikit politikus dan intelektual di masa itu merupakan seniman dan pemikir kebudayaan. Muhammad Yamin misalnya, selain dikenal sebagai seorang sejarahwan, politikus, ia pun adalah seorang penyair, penulis drama, novelis sejarah, esais, serta penerjemah karya seni.
Inferior
Kesenian di negeri ini berada pada pada posisi inferior dibanding dengan sektor kehidupan lain. Barangkali karena ia tidak menghasilkan banyak keuntungan secara materi-finansial. Seni dianggap tidak produktif, menghambur-hamburkan, atau membuang-buang duit, bahkan sering dicap sebagai pengganggu ketertiban. Apa yang dihargai dari suatu bangsa selain dari kreativitasnya?
Dahulu, kita disebut nation of high culture karena kesenian. Namun sekarang, kata Prof. Sri Hastanto, kita adalah gelandangan budaya. Untuk membiayai pertunjukan, seniman harus menenteng proposal, menunggu, sekan-akan meminta, dan mengemis belas kasih serta kemurahan hati.
Kelompok-kelompok gurem seni tradisi di kampung-kampung malahan dipungut biaya administrasi, uang keamanan, dan izin pentas oleh aparat pemerintah. Padahal, membiayai kesenian adalah keharusan. Pemerintah berkewajiban membiayai, melindungi, dan memajukan kesenian serta kebudayaan. Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakatnya. Belajar pada Yunani jauh sebelum Masehi, pemerintah Yunani menjadikan peristiwa kesenian (drama) sebagai peristiwa negara.
Seniman memiliki kedudukan yang istimewa, diperlakukan sebagai warga kota terhormat. Pemenang festival drama diberi mahkota daun Sangga Dionisius. Biaya pementasan drama, oleh pejabat (Arkhon), dipercayakan kepada warga kota kaya (khoreogos). Panggung teater didirikan di jantung kota, di samping bawah bukit Akropolis, pusat kuil Kota Athena. Orang Yunani menjunjung tinggi hukum dan ketertiban, patuh, dan taat pada penguasanya. Tetapi, dalam kesenian ada ruang bersama tanpa kontingensi sosial.
Di sanalah, seniman seperti Aristhofanes diperbolehkan menuding pejabat sebagai "penjahat, perampok rakyat, raksasa Kharbdis yang rakus". Kesenian (drama) dijadikan alat pendidikan. Setiap orang dianjurkan datang termasuk para wanita yang tidak boleh mengikuti pertemuan umum. Hari pementasan merupakan hari libur nasional. Semua pekerjaan dihentikan.
Para buruh berhak mendapat upah kerja di hari itu. Narapidana diperbolehkan meninggalkan penjara untuk menonton teater. Bagi yang kurang mampu tidak harus membayarnya. Semua itu untuk menghormati Dionisius, dewa kehidupan senang dan pemberi anggur. Dewa pelindung segala ekstase dan keliaran. Yang memberi inspirasi, gairah, kreativitas, semangat, petualangan dalam bayangan keteraturan, dan keanggunan sosok Apollo. Inilah spirit dan kreativitas yang mewarnai hidup dan karya mereka. Terus bersambut, dinamis, yang membuat mereka besar, dikenang, dan dikagumi hingga hari ini. ***
* Silvester Petara Hurit, Mahasiswa STSI Bandung.
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 12 Januari 2008
No comments:
Post a Comment