-- Mudji Sutrisno SJ*
KETIKA proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dinyatakan dan ditulis dalam teks pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, di sana termuat pengakuan bahwa kemerdekaan dari bangsa majemuk menjadi negara Republik Indonesia yang merdeka merupakan rahmat berkah dari Sang Pencipta kehidupan,Tuhan Yang Maha Esa.
Pertama, dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu ditulis prinsip-prinsip dasar acuan proses kebudayaan dalam percaturan internasional. Kedua, strategi kebudayaan dan proses pengembangan kebudayaan mendasarkan fokus arahnya pada kemartabatan kemanusiaan yang dalam relasi menghayati perbedaan tetap harus adil dan menghayati kebersamaan. Di sini sila kemanusiaan menjadi payung bagaimana tanggungjawab perkembangan kebudayaan tidak bisa anti kemanusiaan atau dehumanis melainkan proses peradaban humanis bermartabat.
Keanekaragaman kekayaan budaya- budaya setempat,agama-agama baik samawi maupun religi bumi saling diharapkan membuahi dan memberikan sumbangan nilai benar, baik dan indahnya dalam rajutan persatuan BhinekaTunggal Ika. Pada saat keberadaan Indonesia di jalur strategis lalu lintas arus-arus deras kebudayaan dengan faktor-faktor positifnya seperti kemajuan-kemajuan, rasionalitas, disiplin profesi, atau pun sisi-sisi negatifnya yaitu pengasingan jati diri karena globalisasi, maka di sana tantangan untuk mencapai tata hidup bersama dalam hak-haknya dan kewajiban menjadi penentu sosialitas yang dibangun. Inilah prinsip keadilan sosial baik untuk relasi antar keberagaman dalam negara maupun relasi antar negara dalam mencipta perdamaian dunia.
Masalah Watak Ke-Indonesiaan
Pada tahun 1970-an,dalam esai pedasnya mengenai watak orang Indonesia Mochtar Lubis (alm.) menunjuk salah satunya adalah sikap munafik.Apa artinya? Di depan tampil sopan,bagus,halus atau “semua beresboss”namundibelakangnya yang terjadi adalah sebaliknya. Artinya lagi, terdapat pecah watak antara kata dan kefasihan khotbah dan bicara dengan perilaku dan tindakan. Bahkan bila diekstremkan, terjadi jurangmengangaantarakesalehandoa yang khususk di hari ibadah entah Minggu atau Jum’at dan hari Senin sampai Sabtu yang diperilakui 1800 terbalik dari kekhusukan doa.
Panggung rumah Indonesia yang beragam kebhinekaan penyusunnya dari identitas suku,agama,golongangolongan fungsi dan kearifan-kearifan lokal yang pada awal sejarah manifesto politik Boedi Oetomo dan Perhimpunan Indonesia menegaskan tahun 1925 ke Indonesiaan hanya akan dewasa beradab bila bertolak dari tiga nilai hakiki bersama yaitu kemandirian, kedaulatan rakyat dan hormat perbedaan. Apa itu? Yaitu salingberebutruang dan tempat untuk identitas masingmasing dalam rebutan lahan ekonomi, lahan politis dan kuasa budaya.
Akibatnya panggung keindonesiaan baru disadari hanya bisa terus hidup bila berubah dari saling berebut untuk masuk ke tahap saling berdampingan damai dalam perbedaan. Paparan indah di atas berada dalam ruang pergulatan dan transformasi nilai-nilai yang dikonsensuskan untuk keIndonesiaan yang dirajut dari songket-songket benang tenun terbaik penyusun-nya yaitu identitas suku, religi agama yang saling memperkaya untuk hidup berdampingan dengan rajutan nilai.
Tetapi yang dihidupi nyata bukannya nilai namun saling hantam kepentingan di ranah kuasa, wewenang,politik tidak pandang bulu itu di parpol, gereja, agama-agama, sekolah atau masyarakat. Begitukepentingandiambiluntukdipenuhi dengan tujuan menghalalkan cara maka tak ada lagi etos nilai pengontrol dan perekatnya lantaran “naluri liar”lah yang saling mendominasi. Mengapa? Karena kekuasaan kepentingan telah tega melahap tanah air negeri bersama menjadi tanahtanahku, minyak-minyak kami dan air-air ku.Tak ada lagi ruang buat yang tak berpunya.
Kita “dipaksaberbagi”dalam banjir Jakarta,yang kebanjiran air,y ang mati listrik dan yang air bersih PAM macet! Bencana karena kesalahan kita sendiri yang tidak memberi kantong-kantong resapan air hingga air memakai hutan beton kita dan jalan tol kita menjadi sungai-sungainya. Karena itu solusi jangka panjang adalah tetap yaitu apakah hidup bersama mau kita landaskan atas kehidupan saling membagi sebagai nilai bersama ataukah tetap saja bersumber naluri liar kita berebut adu kepentingan yang tega membunuh sesama? Untuk melihat jernih soal ini jalan satu-satunya adalah pendidikan pencerdasan budi dan penajaman pekerti nurani.
* Mudji Sutrisno SJ, budayawan
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 20 Januari 2008
No comments:
Post a Comment