Thursday, January 24, 2008

"Cinta Tak Kan Mati", Antologi Puisi Sang Pejuang Romantis

MUNGKIN tidak banyak yang kenal nama Irzadi Mirwan. Dia memang bukan seorang bintang televisi, atau tokoh pahlawan nasional. Tapi siapa yang sangka nama Irzadi begitu harum di antara aktivis kemerdekaan gerakan mahasiswa tahun 1977/1978? Bahkan, keharuman itu membangkitkan kembali sosok Irzadi yang meninggal 27 tahun lalu.

Seniman Sitok Srengenge membacakan puisi pada peluncuran buku kumpulan puisi karya Irzadi Mirwan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (22/1). Kumpulan puisi berjudul "Cinta Tak Kan Mati" merupakan kesaksian Irzadi Mirwan dalam perlawanan menentang rezim Orde Baru. (SP/Ignatius Liliek)

Lewat buku kumpulan puisinya, para sahabat Irzadi bukan hanya ingin mengenang, tapi juga menghidupkan kembali perjuangan Irzadi. Perjuangan melawan kemiskinan dan kebodohan. Hal inilah yang ingin disampaikan sahabat-sahabat Irzadi dalam peluncuran buku berjudul Cinta Tak Kan Mati, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (22/1) malam.

Di antara teman-temannya, Irzadi, semasa hidupnya dikenal sebagai pejuang yang memiliki idealisme tinggi. Dia bercita-cita agar rakyat Indonesia maju dan sejahtera. Sebagai aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung ketika itu, Irzadi menjadi salah seorang motor penggerak dan mengumpulkan kekuatan bersama mahasiswa-mahasiswa lainnya menentang rezim orde baru.

Irzadi lahir 23 Mei 1954. Pada usia yang masih sangat muda, 26 tahun, dia harus pulang ke hadapan Sang Pencipta. Sakit yang diderita Irzadi mengantarnya pada kematian, mungkin sebuah kematian yang indah, karena dia meninggal di puncak gunung Ciremei, Cirebon. Lingkungan gunung dan alam yang memang sangat dicintainya.

Diam-diam, ternyata Irzadi adalah seorang pejuang nan romantis. Hal ini diketahui sahabatnya, Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan RI 2000 - 2001. Mendapati puisi-puisi karya Irzadi yang tercecer, Rizal akhirnya meng-gong-kan pembuatan buku kumpulan puisi-puisi Irzadi yang ditulisnya pada 1973 - 1979 bertajuk Kesaksian Dalam Perlawanan Menentang Rezim Orde Baru.

Meski demikian, puisi-puisi Irzadi tidak melulu soal perjuangan. Ada banyak puisi yang menceritakan kepedihannya melihat keadaan lingkungan sekitarnya, human interest, hingga puisi cinta.

"Adi tokoh yang sangat terkenal di zamannya. Dia motor penggerak perjuangan aktivis mahasiswa. Disiplin, dan luwes. Tapi dia juga seorang yang romantik, menyukai sastra dan banyak menulis puisi. Puisi-puisi yang dibukukan ini, ditulisnya dari usianya 22 tahun," tutur Rizal ketika ditemui SP usai acara peluncuran buku.

Puisi berjudul Anak Kecil di Stasiun Kecil dan Di Pantai Ini Terbersit Tanya misalnya. Dua puisi itu menggambarkan dengan jelas kepedihan Irzadi ketika dia menyaksikan anak-anak harus bekerja di siang dan malam hari dan kehilangan masa bermainnya.

Sementara, puisi berjudul Sajak Percintaan, Surat Cinta Dari Akhirat, dan Hari Ini Kita Berdua, menjadi gambaran sisi romantisme sang pejuang. Serta puisi-puisi lain yang menjadi saksi perjuangan Irzadi dan sahabat-sahabat menentang rezim Orde Baru.

Ya. Adi memang gemar menulis. Menulis apa saja yang ada dibenaknya dalam tulisan-tulisan pendek. Menurut sahabat Irzadi, S Indro Tjahyono, Irzadi adalah sosok Karl Marx ketika muda. Pandangan-pandangan Irzadi yang dituangkannya dalam tulisan begitu sederhana.

Indro mengatakan, substansi dari puisi karya Irzadi selalu menyentuh problem masyarakat yang aktual. Puisi-puisi karya Irzadi terasa mengalir, karena menceritakan tentang peristiwa yang dirasakan dan dialaminya. Kesan yang diperoleh dari setiap peristiwa dengan spontan dia tuangkan dalam bentuk kritik atas kenyataan politis dan sosiologis.

Acara Reuni


Pembuatan buku Cinta Tak Kan Mati memang digongkan oleh Rizal. Tapi beberapa sahabatnya juga ikut memberikan kontribusi dalam merealisasikan buku yang merupakan kumpulan puisi Irzadi selama enam tahun.

Sebut saja Yayak Kencrit Adya Yatmaka, Muhammad Ridlo 'Eisy, Acep Zamzam Noor, S Indro Tjahyono, dan Bram G Zakir. Mereka ikut menorehkan tinta di atas buku ter- sebut dengan menuliskan kata pengantar.

Dalam acara peluncuran buku, turut hadir sahabat-sahabat Irzadi semasa kuliah di Institut Teknologi Bandung. Acara dibuka dengan sambutan-sambutan para sahabat Irzadi dengan mengenang sosok sang pejuang romantis.

Dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh beberapa sahabat-sahabat Irzadi, pemutaran video berisi foto- foto Irzadi sejak duduk dibangku Sekolah Dasar hingga berstatus mahasiswa. Aktris Rieke Diah Pitaloka juga turut andil membacakan puisi karya Irzadi di atas panggung.

Acara berlangsung santai persis seperti reuni para aktivis mahasiswa tahun 1977/1978. Satu sama lain saling kenal dan melempar joke-joke sehingga acara di ruang Teater Kecil tampak hangat sekaligus riuh bak kelas kuliah. [CNV/N-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 24 Januari 2007

No comments: