JAKARTA, KOMPAS - Sastra Indonesia sebenarnya berkembang pesat dan cukup menarik, tetapi kurang diapresiasi oleh anak didik dan masyarakat. Hal ini terjadi karena dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia selama ini banyak pemanipulasian fakta dan data, dan seolah-olah terpusat di Jakarta serta kota-kota besar lainnya. Untuk kepentingan apresiasi, anak didik harus tahu sastrawan dengan pencapaian-pencapaiannya sehingga mereka akhirnya bebas memilih karya siapa yang mereka sukai.
Kenyataan itu diungkapkan pengamat sastra dari Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, dan "Presiden Penyair" Sutardji Calzoum Bachri, Selasa (15/1) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam sesi dialog menjelang digelarnya Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2008 di Kudus, 19-21 Januari 2008, dengan tema "Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia".
Maman mengatakan, selama ini yang dimaksud sastra Indonesia adalah yang ada di Jakarta dan di kota-kota besar. Apalagi kebudayaan Indonesia didefinisikan sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah. Dengan ini, tentu saja yang bukan puncak menjadi bukan sastra Indonesia. "Ini sangat menyesatkan," ucapnya.
Karena itu, Maman menilai Kongres Komunitas Sastra Indonesia yang disponsori Djarum Bakti Pendidikan sebagai sesuatu yang penting. Diharapkan dengan Kongres Komunitas Sastra Indonesia, pemetaan sastra (dan sejarah sastra) Indonesia menjadi lebih lengkap.
"Sastra justru sesungguhnya bisa memahami kebudayaan daerah. Sastra menjadi ekspresi kultural, menjadi presentasi semangat etnis. Jika anak didik diberikan pelajaran sejarah sastra Indonesia yang benar dan apresiasi sastra yang beragam, maka sastra bisa menjadi alat untuk demokratisasi, belajar demokrasi. Anak didik diizinkan berbeda pendapat, saling berargumen. Ini menjadi penting dan mudah-mudahan menjadi harapan membangun Indonesia yang lebih baik," paparnya.
Pencapaian sastrawan
Sutardji menegaskan betapa pentingnya apresiasi sastra di kalangan anak didik. Namun, dalam apresiasi, jangan hanya karya yang mudah dicerna, tetapi juga harus karya-karya yang sulit. Guru bisa menjelaskan tidak dengan kognitif, tetapi situasional.
"Sama halnya dengan memahami musik, jangan hanya, misalnya, Slank saja, tapi juga musik Beethoven, Bach, dan sebagainya," ujar Sutardji.
Menurut Sutardji, dalam sastra Indonesia perlu dikenalkan paradigma baru, tidak hanya paradigma Chairil Anwar dan Amir Hamzah.
"Jika merasa bertanggung jawab terhadap kemajuan sastra Indonesia, para sastrawan yang masuk ke sekolah-sekolah jangan hanya memperkenalkan karyanya sendiri saja atau kelompoknya, tetapi juga karya sastrawan lain, yang tak punya kesempatan diundang, misalnya," katanya.
Adapun untuk masuk dan disebut-sebut dalam sejarah Indonesia, jelas tidak mungkin semua sastrawan masuk di dalamnya. Harus ada kelas-kelasnya, dan jelas pencapaian atau prestasi karya sastranya, seperti pencapaian baru dalam pengucapan. Juga pencapaian dalam bentuk penerimaan oleh pembaca.
"Sastra itu juga sejarah, ada pencapaian-pencapaian kemanusiaan," kata Sutardji Calzoum Bachri. (NAL)
Sumber: Kompas, Rabu, 16 Januari 2008
No comments:
Post a Comment