-- Iwan Gunadi*
KALAU kita juga menghitung komunitas teater, atau komunitas seni lainnya, juga sering mengadakan kegiatan sastra, maka jumlah 'komunitas sastra' akan lebih banyak lagi. Maklum, jumlah aktivitas sastra seolah tak pernah menyusut. Penyelenggaranya tak hanya komunitas sastra, tapi juga komunitas seni yang lain atau bahkan komunitas nonseni yang punya perhatian atau minat terhadap sastra.
Apalagi, tak sedikit pekerja sastra yang juga berteater, berseni rupa, atau menggeluti, sekurangnya meminati cabang kesenian lain, berarati tak sedikit orang di luar pekerja sastra yang menggeluti atau sekurangnya meminati sastra. Kenyataan tersebut juga menambah deret panjang 'komunitas sastra'.
Sebagai bukti, tengok saja buku Direktori Seni dan Budaya Indonesia 2000. Dari 3.869 komunitas seni budaya di Indonesia yang berhasil dicacat hingga 1995, komunitas yang melakukan aktivitas sastra melebihi angka taksiran Melani tadi. Mereka bukan hanya komunitas sastra, tapi komunitas cabang kesenian yang lain, komunitas seni secara umum, atau bahkan komunitas budaya.
Data yang mencengangkan dapat dilihat pada hasil Susenas Model 2003 yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS). Selama 1993-2003, BPS mencatat keberadaan 89.658 organisasi kesenian dari 26 provinsi di Indonesia. Jumlah tersebut meliputi organsasi kesenian di bidang musik, seni tari, seni rupa, karawitan, pedalangan, teater, hingga sastra.
Organisasi kesenian di bidang sastra mencapai 4.699 atau 5,24% dari jumlah total organisasi kesenian itu. Lima besar provinsi pemilik organisasi kesenian di bidang kesusastraan adalah Jawa Tengah (2.419), Jawa Timur (512), Sumatra Barat (472), Daerah Istimewa Yogyakarta (396), Bali (312), dan Bengkulu (232). Sejumlah provinsi hanya memiliki paling banyak empat organisasi kesenian di bidang sastra. Mereka adalah Sulawesi Utara (4), Sumatra Utara (3), Jambi (3), Irian Jaya (3), Sulawesi Tengah (2), Sulawesi Tenggara (2), dan Maluku (1).
Namun, data BPS itu tak menyebutkan angka untuk Kalimantan Tengah dan Sulawesi Selatan. Apakah hal itu berarti bahwa tak ada organisasi kesenian di bidang sastra yang ditemukan BPS di kedua provinsi tersebut selama 1993-2003? Tak dapat dipastikan sebagaimana tak dapat dipastikan pula apa yang dimaksud dengan organisasi kesenian pada sensus nasional tersebut. Yang jelas, penelusuran saya menunjukkan fakta sebaliknya. Jumlah komunitas sastra yang dapat ditelusuri di Kalimantan Tengah memang sedikit, tapi di Sulawesi Selatan, jumlahnya lumayan banyak. Sebagian di antaranya sudah hadir selama rentang waktu survei BPS itu.
Kalau rentang waktunya diperpanjang hingga jauh ke belakang, misalnya sejak Chairil Anwar dan kawan-kawan menggelindingkan Gelanggang Seniman Merdeka pada 1949, kita tentu akan menemukan deret panjang komunitas sastra atau komunitas seni atau nonseni yang meminati sastra. Kalau mau dilacak lebih jauh lagi, tentu saja cikal-bakal komunitas sastra atau komunitas seni secara umum tak berhenti sampai pada upaya Chairil Anwar dan sejumlah koleganya itu.
Kita tentu dapat menduga, apa yang ditandai sebagai Angkatan Balai Pustaka tak mungkin muncul tanpa adanya dukungan komunitas sastra atau komunitas seni, walau mungkin kita belum pernah mendengar bahwa pada saat itu ada proklamasi kelahiran suatu komunitas sastra atau komunitas seni lengkap dengan nama dan orientasi perjuangannya. Ketika Sutan Takdir Alisjahbana menggagas tradisi kesusastraan Melayu yang baru di Hindia Belanda di bawah pengaruh kebudayaan Barat untuk menandingi Angkatan Balai Pustaka, Takdir menyatakan pentingnya dibentuk organisasi pengarang yang siap mendukung dan menyebarluaskan gagasan itu.
Bahkan, sebelumnya, pada akhir abad ke-19, di Pulau Penyengat, Riau, sudah ada komunitas sastra lengkap dengan namanya, yakni Rusdiyah Klab, forum bersama untuk pengembangan sastra Melayu yang beranggotakan intelektual dan sastrawan Melayu. Demikian juga pada era kerajaan-kerajaan, kita sering mendengar mitos, atau fakta sejarah, bahwa para raja memiliki pujangga yang menulis berdasarkan keinginan raja. Artinya, di keraton pun, tanpa ada dukungan komunitas sastra, perangkat kerajaan itu tak akan bertahan lama. Belum lagi tradisi pembacaan karya sastra di hadapan khalayak lazim digelar sejak dulu. Jadi, komunitas sastra sesungguhnya bukan fenomena baru.
Runtutan sejarah
Kalau begitu, bagaimana persisnya runtutan sejarah komunitas sastra di negeri ini? Apa sesungguhnya komunitas sastra itu? Apa tujuan kehadiran mereka? Bagaimana bentuk organisasinya? Siapa saja anggotanya? Apa saja kegiatannya? Bagaimana pembiayaan kegiatannya?
Nah, dalam deretan panjang komunitas sastra tadi, banyak sastrawan berkarya. Mereka begitu bergairah menghasilkan karya sastra, terutama puisi. Bahkan, saking banyaknya, ada yang mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia sedang mengalami inflasi penyair dan booming puisi.
Karena banyak orang menciptakan puisi, predikat "penyair" pun disandang banyak orang. Boleh dikatakan, puisi, penyair, dan komunitas sastra, mengalami booming serempak selama 1990-an. Booming muncul lantaran adanya keterkaitan kuat di antara ketiganya.
Pemetaan yang dilakukan KSI tadi menyebutkan, 20 komunitas sastra di Jabotabek saja telah menerbitkan sekitar 140 buku sastra atau terbitan berkala sejak awal 1990-an hingga 1998. Jumlah itu belum termasuk penerbitan yang dilakukan secara pribadi. Padahal, penerbitan jenis terakhir ini lebih bergairah. Ia juga belum termasuk karya rekam audio dan audio-visual. Forum Lingkar Pena (FLP) saja selama sepuluh tahun kiprahnya (1997-2007) pernah mengklaim telah menerbitkan sekitar 500 buku. Apalagi kalau digabung dengan buku-buku terbitan banyak komunitas lain dan pribadi-pribadi dalam banyak komunitas itu.
Bagaimana penyebaran buku-buku itu? Apakah kegiatan komunitas sastra hanya menerbitkan buku? Apakah karya sastra mereka berbeda dengan karya sastra yang dihasilkan pekerja sastra yang tidak terlibat dalam komunitas sastra? Tegasnya, adakah sastra komunitas itu?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang layak dijawab dalam seminar Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia yang diselenggarakan KSI di Kudus tadi. Saya akui, dalam cakupan yang lebih sempit, pertanyaan-pertanyaan seperti itu pernah dijawab pemetaan yang dilakukan KSI sebelumnya. Tapi, jawaban-jawaban itu hanya berlaku untuk komunitas-komunitas sastra di Jabotabek. Tidak untuk fenomena yang menasional.
Jawaban-jawaban itu pun belum mengakomodasi perkembangan-perkembangan setelah pemetaan itu dilakukan, seperti komunitas sibersastra. Nah, semoga seminar komunitas sastra itu mampu meluaskan cakupan sekaligus menindaklanjuti atau melengkapi jawaban-jawaban yang belum diberikan.
* Iwan Gunadi, Pemerhati komunitas sastra
Sumber: Republika, Minggu, 20 Januari 2008
No comments:
Post a Comment