Sunday, January 13, 2008

Wacana: Catatan untuk Kongres Komunitas Sastra Indonesia (Bagian pertama dari dua tulisan)

-- Iwan Gunadi*

WALAUPUN sejarah komunitas sastra dapat ditelusuri jauh ke belakang, komunitas sastra tetaplah topik yang relatif baru dalam diskursus kesusastraan Indonesia. Istilah "komunitas" memang sudah sering digunakan dalam kajian atau perbincangan ilmu-ilmu humaniora di negeri ini.

Tapi, istilah "komunitas sastra" sendiri baru muncul pada pertengahan 1990-an dalam diskursus kesusastraan Indonesia. Perbincangannya sendiri mulai marak beberapa tahun terakhir ini, meski kajian yang serius tentang fenomena komunitas sastra di Indonesia tetap langka.

Selama 2007 hingga awal 2008, perbincangan komunitas sastra terasa hangat setelah beberapa forum dan media massa mengangkat isu adanya hegemoni komunitas tertentu di Tanah Air. Kalau kita jelajahi pelbagai situs web atau blog di dunia maya, perdebatan atau perbantahan tentang isu tersebut terasa memanas.

Sebuah forum yang akan menjadi bagian dari kesemarakan perbincangan tentang komunitas sastra siap digelar Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah, selama 19-21 Januari 2008. Forum yang didukung PT Djarum melalui program Djarum Bakti Pendidikan tersebut bertajuk Kongres Komunitas Sastra Indonesia, yang di dalam ada seminar nasional dengan tema Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia.

Untuk menyambut acara tersebut, tulisan ini mencoba menguraikan sejumlah fakta dan pertanyaan yang mungkin layak dipertimbangkan dan direnungkan, khususnya untuk seminar dalam kongres tersebut.

Sekitar 15 hingga 25 tahun terakhir, di negeri ini memang tumbuh begitu banyak komunitas sastra. Termasuk pelbagai komunitas sastra yang mencoba menghancurkan eksklusivitas sebutan "sastrawan" dan mengangkat karya-karya atau pelaku-pelaku sastra yang dianggap marginal. Kalau kita pakai perumpamaan klise, fenomena tersebut bak cendawan di musim hujan.

Untuk pembuktian secara sederhana suburnya pertumbuhan komunitas sastra selama rentang waktu tersebut, ambillah satu buku antologi puisi atau cerita pendek (cerpen) berskala nasional. Bacalah daftar biografi singkat mereka. Jangan terkejut bila ditemukan fakta bahwa sebagian besar dari mereka merupakan anggota atau pengurus suatu komunitas sastra atau seni. Bahkan, mungkin, mereka terlibat lebih di satu komunitas sastra atau komunitas seni.

Fakta semacam itu, misalnya, dapat ditemukan di dua buku Antologi Puisi Indonesia 1997 terbitan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Tangerang dan Angkasa di Bandung pada 1997. Tengok pula, misalnya, Sebuah Antologi Puisi Cyber: Graffiti Gratitude terbitan Yayasan Multimedia Sastra (Jakarta) dan Angkasa (Bandung) pada 2001 dengan cakupan yang melewati batas geografis Indonesia atau Bisikan Kata, Teriakan Kota: Antologi Puisi Temu Sastra Jakarta terbitan Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya (Yogyakarta) pada 2003 dengan jangkauan penulis yang lebih terbatas, yakni Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok. Hal yang sebaliknya akan sulit ditemukan, misalnya, pada buku antologi puisi empat jilid suntingan Linus Suryadi AG, Tonggak, dan Gema Tanah Air susunan HB Jassin.

Kondisi tersebut tak lepas dari munculnya kesadaran kolektif yang lebih meluas sejak 1980-an dan lebih-lebih sejak 1990-an untuk tak lagi menempatkan Jakarta sebagai barometer standar estetika kesusastraan Indonesia. Cara pandang para sastrawan pada kedua periode tersebut terhadap Taman Ismail Marzuki atau Majalah Horison, misalnya, berubah. Mereka tidak lagi melihat pusat-pusat semacam itu sebagai penguasa tunggal perkembangan kesusastraan Indonesia.

Kesadaran tersebut memicu tumbuhnya makin banyak dewan kesenian di daerah-daerah di luar Jakarta yang menyorongkan kesempatan kepada banyak seniman, termasuk sastrawan, di masing-masing daerah untuk bertemu, lalu berkelompok. Bahkan, kesadaran yang sama tak hanya muncul pada para sastrawan yang sering berkumpul di dewan-dewan kesenian, tapi juga meluas ke persona-persona di tempat-tempat lain, seperti di pesantren, sekolah, kampus, stasiun radio, dan bahkan moda transportasi semacam bus kota dan kereta api.

Mereka tak hanya berada di kota-kota besar, tapi juga menyebar ke kota-kota kecil. Mereka menjadi semacam kantong-kantong kesenian yang kecil-kecil yang kemudian dapat menjadi pusat-pusat kecil, yang diperkirakan akan menjadi basis dan karenanya lebih menentukan arah perkembangan kesenian Indonesia. Pandangan dengan acuan posmodernisme ini mulai terasa menguat sejak Nirwan Dewanto1 memaparkannya di Kongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta pada 1991.

Pemetaan yang dilakukan KSI saja berhasil mengumpulkan informasi dari 54 komunitas sastra yang tumbuh dan atau masih aktif di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) pada 1997. Dari jumlah tersebut, yang berhasil dipetakan ada 46 komunitas sastra2. Jumlah tersebut saja melebihi jumlah 35 organisasi yang mengikuti Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) yang digelar di Jakarta pada awal Maret 1964. Artinya, dalam 33 tahun, jumlah komunitas sastra di wilayah yang lebih sempit sudah melebihi jumlah komunitas di wilayah yang jauh lebih luas, walau mungkin di wilayah yang lebih luas tersebut masih banyak komunitas sastra yang tidak turut konferensi tersebut.

Kalau wilayahnya kita perluas sampai seluruh Indonesia dengan rentang waktu sama (1997), saya yakin, jumlahnya bisa ratusan atau bahkan lebih. Apalagi jika rentang waktunya diperpanjang melebihi tahun tersebut. Melani Budianta, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, misalnya, pada diskusi Mencermati Sastra Subkultur Kita yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia di Jakarta, 31 Mei 2001, memperkirakan bahwa pada saat itu, jumlah komunitas sastra di Indonesia lebih dari 200 dan 75 di antaranya berada di Jakarta. Jumlah tersebut pun belum termasuk komunitas sastra yang dibentuk di kampus-kampus perguruan tinggi.

Kalau rentang waktu untuk taksiran Melani diperpanjang ke depan hingga awal 2008 ini, misalnya, saya yakin, jumlahnya jauh dari angka itu. Salah satu asumsinya, misalnya, tumbuhnya ratusan media massa sejak 1998 setelah Menteri Penerangan Kabinet Reformasi Pembangunan pimpinan Presiden Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie, M Yunus Yosfiah, membuka keran kebebasan penerbitan media massa tentu turut merangsang ramainya komunitas sastra. Sebab, sebagian dari media massa itu pun menampung karya-karya sastra, terutama puisi dan cerita pendek, yang tentu membutuhkan respons dari para sastrawan, termasuk yang tumbuh dan bergelut di pelbagai komunitas sastra itu.

* Iwan Gunadi, Pemerhati komunitas sastra

Sumber: Republika, Minggu, 13 Januari 2008

No comments: