KUDENGAR entah suara siapa/Melengking melantunkan doa...Kudengar angin pun berbisik/Hampa mendera di antara kita: Sepi dan...Semakin Menggelegar ketika angin berlalu.
Itulah salah satu bait puisi yang diciptakan seorang tunanetra, Irwan Dwi Kustanto, dalam judul Angin pun Berbisik 4.
"Angin Pun Berbisik hanyalah sebuah perjalanan anak manusia, yang jejaknya tersibak oleh huruf. Saya hanyalah debu yang melukis kaki-kakinya pada jalan itu," ungkap Irwan sebelum peluncuran buku antologi puisi bertajuk Angin pun Berbisik yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Karya-karya yang ada di buku setebal 164 halaman itu menurutnya adalah kata-kata yang ia coba kumpulkan untuk mengekspresikan perasaan, hasrat, dan semua yang pernah tumpah karena cinta yang mengalir dari kekasih, keluarga, sahabat, alam, dan Tuhan.
Antologi puisi dan peluncurannya itu diadakan Yayasan Mitra Netra bekerja sama dengan Voice of Human Right, Perkumpulan Seni Indonesia, dan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Acara ini pun diselenggarakan untuk memperingati hari Braille yang jatuh pada 4 Januari, serta dua tahun gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra yang jatuh pada 30 Januari mendatang.
"Sebagian hasil penjualan antologi puisi itu akan digunakan untuk membiayai sosialisasi gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra serta produksi dan distribusi buku bagi kelompok yang punya hambatan penglihatan ini.
Peluncuran dimulai dengan dialog antara puisi dan musik yang dipresentasikan oleh Irwan Dwi Kustanto dan Siti Atmamiah, istri yang juga ikutan menyumbang beberapa karya dalam antologi puisi tersebut.
Mereka berdua berkolaborasi dengan Marusya Nainggolan yang memainkan piano. Selain istrinya, sang anak, Zeffa Yurihana juga ikut menyumbangkan karyanya.
Angin Pun Berbisik adalah antologi puisi pertama di Indonesia yang disusun oleh sebuah keluarga. Menyertai peluncuran antologi puisi, serangkaian pertunjukan seni, baik musik, teater, serta pembacaan puisi digelar di atas panggung GKJ. Diawali dengan pentas teater Meldict (Melihat dengan Ilmu dan Cinta) yang para pemainnya adalah pelajar dan mahasiswa tunanetra, sastrawati Dewi Lestari, sastrawan Joko Pinurbo, Rieke Dyah Pitaloka, dan Zeffra Yurihana.
Selain itu musikalisasi juga mengisi panggung dengan penampilan Riko dan Dody mahasiswa tunanetra, Endah dan Reza, serta Jodhi Yudono, wartawan dan seniman yang peduli terhadap masalah sosial.
Program Seribu Buku untuk Tunanetra mengajak masyarakat untuk mendekatkan dan menautkan hati, bergandengan tangan, melihat, dan membangun dunia menjadi lebih indah dan ramah bagi semua.
Kegiatan yang dicanangkan pada 2005 ini merupakan program Yayasan Mitra Netra, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan dan pengembangan tunanetra.
Program ini, menurut Humas Yayasan Mitra Netra, Aria Indrawati, mengajak penerbit dan penulis buku agar bersedia meminjamkan soft file buku-bukunya untuk diterbitkan dalam versi braille, sehingga bisa lebih cepat dibaca penyandang tunanetra.
Di negara-negara maju, sudah ada peraturan agar penerbit menyerahkan file bukunya untuk diterbitkan dalam versi braille. Di Indonesia, aturan semacam itu belum ada. Karena itulah dibuat program Seribu Buku untuk Tunanetra, sambil mendorong pemerintah membuat peraturan yang sama. (Eri Anugerah/H-1)
Sumber: Media Indonesia, Jumat, 25 Januari 2008
No comments:
Post a Comment