Sunday, March 09, 2008

Wacana: Basis-basis Komunikasi Ideologi Kesastraan (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

-- Shiho Sawai*

KOMUNITAS sastra merupakan wadah kegiatan sastra yang khas di Indonesia. Fenomena yang mirip juga terlihat di banyak negara lain pada era sebelum munculnya kapitalisme percetakan, seperti pada zaman pertengahan di Perancis atau pada abad ke-19 di Jepang. Kelangkaan dan berharganya buku sastra membuat para pecinta sastra membaca secara berkelompok

Keunikan komunitas sastra di Indonesia terletak pada eksistensi pola menikmati sastra secara kolektif yang masih digemari hingga kini. Hal ini menunjukkan eratnya budaya berkelompok dalam kegiatan sastra di Nusantara.

Di Indonesia, komunitas sastra berupa sejumlah orang yang berkelompok untuk melakukan kegiatan sastra (menerbitkan, membaca, mendengar dan membahas sastra) secara bersama. Kelompok sejenis ini telah eksis di Nusantara setidaknya sejak zaman kolonial, untuk mensiasati keterbatasan kepemilikan dan akses atas buku.

Kelompok peminat sastra seperti itu sering disebut sanggar atau studi klub -- tempat berkumpul dan berdiskusi para anggota untuk berkarya lebih baik. Pada akhir 1980-an istilah "komunitas" baru mulai digunakan, dan bertambah populer di masyarakat sejak awal tahun 1990-an. Setelah Orde Baru runtuh, jumlah komunitas sastra bertambah secara drastis, dengan jenis kegiatan yang lebih variatif.

Pertumbuhan komunitas sastra itu didukung oleh perkembangan sosial-ekonomi dan perbaikan standar pendidikan yang berdampak pada meningkatnya kemampuan untuk membaca buku. Hilangnya sensor negara terhadap karya sastra dan izin penerbitan media cetak ikut mendorong industri penerbitan berkembang pesat.

Keikutsertaan dalam komunitas sastra menjadi populer di kalangan anak muda sebagai dampak banyaknya workshop penulisan yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga. Semua itu meningkatkan keaktifan kegiatan komunitas sastra.

Ideologi komunitas

Sebagai respon atas lingkungan sosial baru, komunitas sastra di Indonesia menciptakan berbagai ideologi dalam kegiatan mereka. Namun, ideologi komunitas belum tentu merupakan kesepakatan konkrit semua anggota. Tetapi, ideologi masing-masing anggota bisa dan mungkin mempengaruhi pembentukan keragaman dimensi ideologi kelompok.

Keadaan tersebut mencerminkan pergeseran karakter komunitas kepada peran individu dengan ideologi berbeda untuk berkumpul secara temporer dengan tujuan masing-masing. Keberagaman ideologi menjelma dalam komunitas sastra sebagai sebuah berlian dengan berbagai keindahan refleksi cahaya ke segala arah.

Keanekaragaman dimensi ideologis yang muncul itu dapat memperluas kesempatan dialog antar komunitas, dimana variabilitas perbedaan akan dapat memunculkan berbagai titik temu baru yang akan memperluas cakrawala pembahasan komunitas sastra. Sehingga, komunitas sastra bukan saja melahirkan ideologi dan membawa pada pertentangan ideologi yang saling berlawanan, melainkan berfungsi untuk memperkaya wacana sastra.

Komunitas sastra kini menjadi wacana umum yang dibicarakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Namun, pembentukan definisi komunitas sastra secara konkret menjadi lebih sulit. Ambiguitas definisi komunitas sastra berasal dari variabilitas tujuan dan isi kegiatannya, serta disebabkan keberadaan dualisme anggota komunitas, yaitu anggota inti dengan solidaritas tinggi dan anggota lepas sebagai audiens, yang bergabung secara temporer saat ada acara atau informasi yang dibutuhkan.

Kehadiran audiens penting bagi komunitas, dalam penciptaan suasana seru saat pelaksanaan acara, serta membawa ide dan inspirasi yang segar di luar aliran komunitas yang disepakati. Di samping itu, baik anggota inti maupun audiens sering berhubungan dengan beberapa komunitas yang berbeda secara bersamaan, dengan intensitas partisipasi yang beragam.

Keadaan seperti itu kadang berakibat pada sulitnya menentukan siapa anggota dan siapa audiens dalam sebuah komunitas, karena seorang anggota inti di komunitas A kadang bergabung ke komunitas B sebagai anggota inti atau audiens. Hal ini mengaburkan batas keanggotaan komunitas sastra, tetapi mempermudah banyak hal, seperti komunikasi antar komunitas serta memperlancar proses penyebaran informasi antar komunitas.

Tetapi, banyaknya percampuran ide dan pemikiran di luar anggota inti mempersulit integritas kesepakatan ideologi komunitas. Meskipun anggota inti dalam satu komunitas berbagi ideologi yang jelas, audiens belum tentu memiliki tujuan yang sama. Ketidakjelasan batas komunitas ini memberi banyak peluang bagi pelaku komunitas untuk menyiasati keikutsertaan mereka untuk tujuan masing-masing.

Hal itu menunjukkan problematisnya tangkapan umum tentang komunitas sastra yang mengasumsikan keanggotaan yang jelas dan kesepakatan ideologis di dalamnya. Mungkin bisa digugat bahwa keanggotaan dan implikasi ideologi yang rapi dan jelas adalah mitos, atau ideologi tersendiri. Namun, mitos ini bisa membuka wacana baru untuk meninjau ulang bagaimana ambiguitas tersebut bisa memberi ruang komunikasi dan interaksi yang kaya bagi kegiatan komunitas sastra.

Basis kegiatan

Komunitas sastra masa kini dapat digolongkan dalam berbagai jenis berdasar basis kegiatannya, yaitu lembaga pendidikan, non-lembaga pendidikan, serta komunitas yang berbasis koran/majalah, penerbit, milis dan gerakan literasi.

Komunitas yang berbasis perguruan tinggi sangat umum di seluruh Indonesia. Sedangkan komunitas yang berbasis non-lembaga pendidikan, antara lain Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Forum Lingkar Pena (FLP) dan Komunitas Utan Kayu (KUK). Jenis komunitas yang lain adalah komunitas yang berbasis majalah atau koran seperti Horison, Kompas, dan Bali Pos.

Komunitas majalah dan koran eksis dengan peranan redaktur media dan para pemasuk naskah sebagai anggota inti, dan para pembaca sebagai audiens. Komunitas ini muncul berdasarkan nilai estetika serta interaksi di antara para pelaku untuk meningkatkan mutu karya yang dimuat di media tersebut.

Perkembangan industri penerbitan memperbanyak kesempatan para penulis untuk menerbitkan karyanya. Sehingga, penulis pemula pun bisa berkonsultasi langsung mengenai naskahnya kepada redaksi melalui email. Bahkan, komunitas yang beranggotakan staf pemasaran dan redaksi di penerbit juga mulai aktif. Milis Pasar Buku, misalnya, merupakan komunitas untuk membahas berbagai persoalan di sekitar pemasaran, distribusi dan retail buku.

Ada juga Komunitas Pekerja Buku Indonesia (KPBI) yang membuat berbagai kegiatan berkaitan dengan buku seperti pasar buku dan seminar, untuk mengatasi persoalan distribusi dan pemasaran buku. Selain itu, komunitas yang berbasis milis seperti Apresiasi Sastra atau milis Bungamatahari juga muncul. Komunikasi dalam komunitas milis tidak dibatasi waktu, alamat tinggal atau selera estetik pelakunya. Siapa pun bisa berekspresi melalui tulisan apa saja, meskipun keterbukaan ini juga mengakibatkan kurangnya integritas dalam mutu dan orientasi ideologis komunitas tersebut.

* Shiho Sawai, Tokyo University of Foreign Studies

Sumber: Republika, Minggu, 09 Maret 2008

No comments: