-- Erwin Edhi Prasetyo
SENIN (11/2) siang. Satu kelas siswa SMA Negeri 11 Yogyakarta terlihat serius mengikuti pelajaran yang disampaikan seorang guru. Bukan di dalam kelas, namun di sebuah aula sekolah yang cukup besar. Mereka duduk lesehan mendengarkan sang guru yang sedang menjelaskan pelajaran.
Siswa SMA Negeri 11 Yogyakarta mengikuti pelajaran di ruang aula sekolah, Senin (11/2). Di aula inilah, Kongres Pertama Boedi Oetomo, 3-5 Oktober 1908, digelar. (KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA)
Sebenarnya bukan proses belajar-mengajar siswa SMA itu yang istimewa. Tempat yang mereka pakai belajar itulah yang istimewa. Aula yang mereka tempati itu hampir 100 tahun silam dipakai sebagai tempat kongres pertama Boedi Oetomo. Organisasi yang lahir tanggal 20 Mei 1908 dan tercatat dalam sejarah negeri ini sebagai peletak fondasi kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia.
Catatan sejarah milik SMAN 11 Yogyakarta mendokumentasikan, aula itu pada awalnya adalah ruang makan Kweekschool atau Sekolah Guru Atas pada zaman kolonial Belanda di Yogyakarta. Fisik gedung dibangun pada tahun 1897 dan pertama kali digunakan sebagai gedung Kweekschool. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tanggal 3-5 Oktober 1908, gedung Kweekschool yang terletak sekitar satu kilometer ke arah utara dari Tugu Yogyakarta tersebut dijadikan sebagai tempat Kongres I Boedi Oetomo.
Ruang makan (aula) Kweekschool sekarang berfungsi sebagai aula SMAN 11 Yogyakarta. Pilihan tempat di aula dianggap tepat karena aula terbuka itu berukuran cukup besar, sekitar 15 x 21 meter. Aula dibangun memakai rangka kayu tanpa dikelilingi dinding tembok sehingga terbuka layaknya konsep pendapa Jawa. Hanya di bagian depan yang diberi dinding tembok. Pada sisi kanan-kiri aula hanya diberi sekat papan sebagai batas (dinding) terluar setinggi sekitar 1,5 meter.
Pada tahun 1927, kompleks gedung ini digunakan sebagai sekolah guru 4 dan 6 tahun atau Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK). Sekolah guru itu sempat ditutup pada masa revolusi Kemerdekaan RI.
Baru pada tahun 1946 sekolah dibuka kembali dengan nama Sekolah Guru B (SGB). Untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru yang berpendidikan 6 tahun, pada bulan November 1947 pemerintah membuka Sekolah Guru A (SGA).
Pada saat perang mempertahankan kemerdekaan atau clash II pecah sekolah terpaksa ditutup, dan dibuka kembali ketika Yogyakarta kembali ke Pemerintah RI, Juni 1949. Sekolah Guru A/B dibuka kembali, namun gedung bersejarah itu berubah fungsi sebagai asrama tentara Indonesia. Sedangkan SGA/B pindah menempati gedung lain. Dengan bantuan Sultan HB IX, pada tahun 1950 SGA/B kembali menempati gedung semula yang terletak di Jalan AM Sangaji, Yogyakarta. Pada tahun 1967 SGA diubah menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Baru 22 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1989, pemerintah mengalihfungsikan SPG menjadi SMA, yaitu SMAN 11 Yogyakarta.
”Sayang, sejarah gedung Kweekschool serta segala aktivitas di dalamnya dulu tidak tercatat rinci. Pihak sekolah sendiri tidak terlalu tahu detail tentang gedung cagar budaya ini. Tetapi, kami semua tahu kalau tempat ini adalah gedung yang dulu digunakan untuk Kongres I Boedi Oetomo,” ungkap Miftahkodin, sekretaris sekolah.
Kompleks gedung Kweekschool hingga kini relatif terjaga meskipun sudah dilakukan renovasi di sana-sini mengikuti dinamika sekolah. Bagian lantai, misalnya, di gedung bagian terdepan sudah diganti dengan lantai keramik dan pada bagian dinding juga dilapisi keramik setinggi sekitar satu meter. Sedangkan aula bersejarah tetap terjaga baik. Seluruh bangunan berdiri di atas tanah Sultan Ground atau tanah milik Kasultanan Yogyakarta.
Bangunan inti Kweekschool bisa digolongkan dalam tiga bagian, yaitu bagian depan, tengah, dan belakang. Pada bagian terdepan sebagai ruang kelas dan guru kini difungsikan sebagai ruang tata usaha dan ruang kepala sekolah, terdiri dari enam ruang. Pada bagian tengah yang merupakan ruang kelas kini difungsikan sebagai ruang praktik siswa dan ruang komputer. Sementara bagian belakang adalah aula yang berdempetan dengan dua ruang kelas (ruang ini sekarang dimanfaatkan untuk menyimpan alat-alat kesenian).
Sejak Kweekschool berubah menjadi SPG dan kini menjadi SMA Negeri 11 Yogyakarta, di kompleks sekolah memang telah dilakukan pembangunan ruang-ruang baru untuk ruang kelas, ruang guru, dan ruang laboratorium. Gedung atau ruang baru yang dibangun hampir seluruhnya berada di bagian belakang. Hanya Perpustakaan Perintis yang dibangun tahun 1979 berada di bagian paling depan sebelah selatan, bersebelahan dengan bangunan inti Kweekschool. Dari depan, kekhasan desain bangunan kolonial Belanda masih terlihat anggun menawan.
Menurut rencana, di gedung inilah nanti Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional akan dipusatkan. Panitia Pelaksana Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional juga sudah mulai ”mencoba” tempat Kongres I Boedi Oetomo dengan menggelar seminar ”Merajut Potensi untuk Kejayaan Negeri” Seratus Tahun Kebangkitan Nasional.
Beberapa renovasi untuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak kini sedang dilakukan. Beberapa bagian gedung memang terlihat kurang terawat. Misalnya, ruang-ruang untuk asrama siswa SGA/SPG di bagian timur dan barat aula terlihat agak kurang terawat dan kini hanya difungsikan sebagai gudang.
Siswa SMAN 11 Yogyakarta yang memiliki total 653 siswa ini, seperti diungkapkan Kepala SMAN 11 Yogyakarta Dwi Rini Wulandari, merasa bangga karena menempati gedung yang bersejarah. ”Tentu kami merasa lebih bersemangat dalam proses belajar-mengajar dan membangun semangat kebangsaan di kalangan pelajar karena di tempat inilah dulu semangat kebangsaan itu ditumbuhkan,” ujarnya.
Seluruh siswa SMAN 11 Yogyakarta juga tahu gedung sekolah mereka adalah tempat Kongres I Boedi Oetomo digelar. Pada masa orientasi siswa baru, pihak sekolah selalu menyosialisasikan tentang sejarah SMAN 11. ”Pada awalnya saya tidak tahu, tetapi setelah diberitahu sekolah ada rasa bangga,” ujar Devi, siswa kelas 12. Tentu saja kebanggaan pada fisik gedung saja tidaklah cukup. Semangat kebangsaanlah yang jauh lebih penting.
Menurut Wuryadi, Ketua Dewan Pendidikan DIY-Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, lahirnya Boedi Oetomo yang dikesankan sebagai organisasi yang lunak, organisasi priayi yang tidak berdaya, dan tidak cukup mengesankan sebagai kekuatan ”Indonesia” sesungguhnya adalah upaya cerdas dan modern saat itu untuk mengorganisasi kekuatan Indonesia yang mulai sadar terhadap nasionalisme.
”Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dan momen sebelum dan sesudah itu adalah periode menumbuhkan kesadaran berbangsa dengan segala perspektif kemerdekaan yang asasi bagi bangsa Indonesia,” ungkapnya.
Seratus tahun Peringatan Kebangkitan Nasional, ungkap GKR Pembayun, tokoh pemuda dan Ketua Umum Karang Taruna DIY, adalah momentum yang paling berharga dan penting untuk mengawali upaya-upaya perbaikan bangsa dan negara dalam menyongsong masa depan. Menghadapi era global, upaya strategis yang bisa dilakukan adalah dengan menumbuhkan kembali semangat kebangsaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sumber: Kompas, Rabu, 26 Maret 2008
No comments:
Post a Comment