-- Denny Riezki Pratama*
SESEORANG bertanya kepada Seno Gumira Ajidarma, "Mengapa buku kumpulan cerpen Ajidarma diberi judul Linguae?"
Pertanyaan tersebut muncul dalam Bedah Buku Linguae di Ruang Sidang Fakultas Sastra Unpad Jatinangor pada Kamis, 13 Maret lalu. Dalam ruang yang dipenuhi lebih kurang 150 orang itu, setelah terlihat sedikit berpikir keras untuk mencari jawaban yang memuaskan penanya yang antusias itu, Ajidarma buka mulut, "Biar terkesan aneh aja."
Aneh? Jawaban singkat itu memang terkesan sekenanya dan seperti menyepelekan keingintahuan si penanya. Namun, apabila kita tarik hubungan antara jawaban Ajidarma dan kumpulan cerpennya itu, kita akan banyak menemukan "keanehan" di dalamnya. Tak usah jauh-jauh, tengok saja judul-judul cerpennya, "Cintaku Jauh di Komodo", "Badak Kencana", "Rembulan Dalam Cappucino", "Joko Swiwi", dan "Sebatang Pohon di Tengah Padang". Itu sudah cukup jadi "pengantar" dunia teks/sastra macam apa yang akan Ajidarma hantarkan kepada pembacanya; dunia yang remang dan (sedikit) sumbang.
Dunia Linguae adalah dunia yang dipenuhi cerita-cerita tak seragam, tema saling bertabrakan, namun intim. Di satu cerpen, Ajidarma terlihat ingin beromantis ria dengan mengangkat tema perselingkuhan, namun di cerpen lain ia mungkin hanya ingin membagi pengalaman eksistensialnya (atau bahkan lamunan). Masalah bencana alam, kehancuran ekologi, atau keprihatinan dalam dunia sosial-politik pun terangkat dan hidup dalam Linguae. Hal tersebut mungkin berkaitan dengan kenyataan cerpen-cerpen yang dimuat di Linguae terlebih dahulu diterbitkan di media massa mulai dari tahun 2000 sampai 2007. Isu, masalah, dan suasana hati yang berbeda kala itu terkumpul dalam satu buku.
Dalam diskusi yang sama, Sapardi Djoko Damono menggolongkan cerpen-cerpen dalam Linguae sebagai kisah-kisah yang realistis-fantastis. Ajidarma, menurut dia, selalu mengingatkan pembaca akan kefiksian kisah dalam cerpennya itu. Dunia cerpen yang dibangunnya itu surealis nan fantastis. Namun, pada saat yang bersamaan, ada juga beberapa bagian dalam cerpennya yang berusaha membetot pembaca ke dunia nyata dengan menghadirkan hanya fakta sederhana atau bahkan kejadian-kejadian faktual sehingga fakta atau realita dihadirkan berdampingan dengan dunia khayal.
Salah satu contoh sederhana, menurut Sapardi, adalah bagaimana Ajidarma dengan sadar memberi catatan kaki pada istilah cappucino. Memberi keterangan dalam cerpen atas sesuatu yang jamak orang awam ketahui, mungkin adalah sesuatu yang agak aneh, janggal. Akan tetapi, menjadi lain maknanya kalau sumber referensi catatan kaki itu dikutip dari bungkus produk gula/pemanis buatan rendah kalori.
Contoh lain cerpen "Simsalabim". Dalam salah satu bagian cerpen ini diceritakan seorang pesulap, karena tekanan sosial yang dihadapinya harus membocorkan rahasia trik sulap di depan penontonnya. Pada bagian itu, Ajidarma memberi catatan kaki yang menerangkan rahasia-rahasia sulap itu yang (ternyata) dikutip dari sebuah buku panduan sulap dan bukan sesuatu yang dikarangnya sendiri. Pembaca pun kemudian dihadapkan pada pengalaman nyata yang faktual dalam sebuah kisah fiksi. Apalagi pada cerpen itu dijelaskan bahwa yang menjadi penonton sulap adalah para korban bencana alam yang tak berdaya di satu kampung terpencil di negeri antah berantah; sesuatu yang sepertinya tidak asing bagi kita.
Dengan strategi catatan kaki itu, Ajidarma sepertinya berniat mengajak pembaca untuk juga berada dalam posisi tidak pasti, tidak jelas, yang sepertinya "main-main", tak jelas maknanya apa, sama halnya seperti cerpen-cerpennya yang "remang" itu.
Cerpen-cerpen dalam Linguae memang memiliki acuan yang jelas terhadap kenyataan dan realitas keseharian. Ajidarma sendiri mengakui penulisan cerpen atau karya sastra yang lain adalah menulis dengan menggunakan, atau bahkan mempermainkan wacana yang terbagi antara dirinya dan pembaca. Jadi yang dikarangnya memiliki tempat dalam kerangka acuan pembaca; ada kenyataan atau fakta (berupa wacana) yang dipahami dan dibagi bersama antara pengarang dan pembaca. Contoh, bagaimana kita, sebagai pembaca kisah fiktif, menjadi tidak asing ketika berhadapan dengan cerpen yang menceritakan perihal korban-korban bencana alam (tsunami, banjir lumpur, flu burung, dll.), atau ketika diajak membayangkan kota yang dipenuhi pengemis kala Lebaran tiba. Itu semua karena kita sehari-hari bersentuhan dan memahami logika kenyataan/fakta yang sama. Ada wacana kebenaran yang kita akui dan hidupi bersama-sama.
Dalam dunia Linguae, hal tersebut malah membangun ruang yang terentang antara fiksi dan fakta; batasnya belum jelas betul, masih samar, dan remang. Ajidarma sadar benar akan hal itu. Kebenaran akan fakta dan kenyataan seakan-akan dipermainkan dalam buaian cerita fiktif maka terdapatlah keremangan dan ketakjelasan batas antara fiksi dan fakta pada cerpen-cerpen Linguae (mitos atau rekaankah, cerpen berbentuk laporan jurnalistik atau laporan jurnalistik berbentuk cerpenkah); dunia Linguae tidak menawarkan makna yang pasti dan tunggal. Dengan demikian, pembacalah yang diundang (atau bahkan dipaksa) untuk hadir . Di situ, pembaca menjadi aktif dan hidup.
Adanya ruang yang terbangun antara fiksi dengan fakta/kenyataan, malah juga mengajak pembaca kemudian untuk (bersama-sama) menggugat (wacana tentang) kenyataan atau dunia faktual (keseharian) kita. Alasannya, sifat dunia Linguae yang remang dan sumbang, belum pasti, pada dirinya memberikan jalan bagi kita untuk menggugat kenyataan atau dunia faktual yang dihadapi sehari-hari. Kenyataan yang kita alami, fakta yang kita percaya, kehidupan yang kita imani, sedemikian rupa terjungkal dalam dunia Linguae. Sehingga, yang kemudian muncul adalah rasa ketidakpastian dan penasaran yang mendalam atas fakta dan kenyataan yang membangun kehidupan sehari-hari kita. Wacana tentang fakta, kebenaran, dan realitas yang kita sama-sama percaya, tiba-tiba dipertanyakan, digugat kembali. Dunia Linguae yang fiktif, pada gilirannya, merekonstruksi (atau bahkan mendekonstruksi) kembali keyakinan akan fakta dan kenyataan. Akibatnya, kita sebagai pembaca, diajak untuk (kembali) akrab dan intim dengan hidup yang kita hadapi sehari-hari.
Hal ini menjadi relevan dengan yang dikatakan Ajidarma, "Ketika suatu karya sastra (cerpen) sudah berada di tangan pembaca, pengarang ‘telah mati’! Pembacalah yang menjadi penafsir aktif dari teks." Menafsir berarti undangan untuk menggugat. Dengan demikian, pembaca lahir dan hidup melampaui teks. Sama saja seperti menatap senja yang remang: kita diajak mempertanyakan yang akan kita perbuat pada malam yang kelam, tetapi sekaligus pada waktu bersamaan, kita juga dibawa untuk menggugat yang telah kita lakukan dan buat pada pagi dan siang yang telah berlalu.***
* Denny Riezki Pratama, Alumnus Antropologi Unpad, aktif di Institut Nalar Jatinangor
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 22 Maret 2008
No comments:
Post a Comment