-- Junaidi Gafar*
PEMERINTAH berencana membeli hak cipta naskah buku pelajaran untuk murid setingkat SD, SMP, dan SMA/SMK. Naskah buku tersebut sebelumnya harus lolos Badan Standar Nasional Pendidikan. Pembelian naskah buku tersebut dimaksudkan untuk menekan harga jual buku yang sekarang ini dirasakan cukup mahal.
Untuk mendukung langkah ini sebenarnya Menteri Pendidikan Nasional melalui Badan Standar Nasional Pendidikan telah mengumumkan judul-judul buku yang akan dinilai dan dibeli pemerintah pada 29 Januari 2008. Mendiknas juga sudah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2008 sebagai pengganti Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2005.
Dalam Pasal 11 Peraturan Mendiknas (Permendiknas) Nomor 2 Tahun 2008 secara jelas dinyatakan bahwa hanya buku yang telah dibeli hak ciptanya yang boleh dijual di sekolah. Ini artinya apabila penerbit ingin bukunya dipakai di sekolah, maka harus dinilai terlebih dahulu dan kemudian hak ciptanya dibeli oleh pemerintah.
Uniknya, menurut permendiknas tersebut, buku yang telah dibeli hak ciptanya dapat digandakan dan diperjualbelikan oleh siapa saja (tidak harus penerbit/penulis yang menerbitkan pertama kali) dengan izin resmi pemerintah. Maka, penerbit/penulis buku yang telah menjual hak ciptanya harus siap berkompetisi menjual produk mereka sendiri (bila punya percetakan) dengan perusahaan lain, termasuk dinas pendidikan, departemen agama, dan instansi pemerintah lainnya yang telah memperoleh izin cetak.
Pertanyaan yang paling mendasar untuk berjalannya program ini adalah dari mana pemerintah mendapatkan buku-buku tersebut? Dari penulis atau dari penerbit?
Pembelian hak cipta dari penulis (penulis ikut mendesain fisik bukunya sendiri) mungkin dapat dilakukan, tetapi hasil yang diperoleh jelas tidak akan maksimal.
Menulis buku tidak sama dengan menerbitkan buku. Seorang guru atau dosen bisa jadi seorang penulis buku pelajaran yang baik. Akan tetapi, tanpa penerbit yang mampu mendesain buku dan mengedit tulisan tersebut, tulisan itu bisa tidak berarti apa-apa.
Cuma 37 naskah
Oktober 2007 pemerintah telah menempuh langkah membeli hak cipta langsung dari penulis. Hasilnya, dari 300 lebih naskah yang ikut, hanya ada 37 naskah (lebih kurang 10 persen) yang bisa masuk kategori layak untuk digunakan sebagai sumber belajar yang baik.
Bagaimana dengan membeli dari penerbit? Pemerintah, dalam hal ini Mendiknas, sepertinya tidak dapat membedakan antara penulis dan penerbit.
Penerbit adalah institusi bisnis yang mempekerjakan banyak orang. Apa jadinya bila hak cipta produk mereka dijual. Aktivitas bisnis mereka akan terhenti dan selanjutnya mereka harus jadi kuli yang menjual produk mereka sendiri, bersaing dengan pebisnis lain yang mengantongi izin Depdiknas. Itu sama artinya seorang petani yang menjual sawah ladangnya kepada orang lain untuk kemudian bersedia menjadi buruh tani dengan upah terbatas di sawah dan ladang itu.
Tawaran pemerintah dengan kisaran harga hak cipta Rp 100 juta mungkin angka yang cukup besar untuk penulis perorangan, tetapi tentu saja akan sangat kecil bagi penerbit. Untuk memperjelas masalah ini mari kita lihat perbandingan antara harga pembelian pemerintah dan rata-rata omzet penerbit setiap tahun.
Pemerintah akan membeli hak cipta (copy right) dari penerbit sebesar Rp 100 juta per judul buku (ada 250 judul yang akan dibeli) atau Rp 25 miliar sebelum dipotong pajak (Untuk penulis potongan sampai 20 persen dari harga pembelian).
Bila dibagi dengan jumlah penerbit buku pelajaran di Indonesia (150 penerbit), masing-masing penerbit secara rata-rata hanya akan mendapat sekitar Rp 160 juta untuk waktu 15 tahun. Bandingkan dengan omzet rata-rata penerbit yang mencapai Rp 10 miliar per tahun. Atau Rp 150 miliar untuk waktu 15 tahun. Ibarat bumi dengan langit bukan?
Program pemaksaan pembelian hak cipta (secara halus dengan adanya Permendiknas Nomor 2 Tahun 2008) juga akan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Saat ini, dari 150 penerbit buku pelajaran di Indonesia, hanya sekitar 15 penerbit yang memiliki percetakan sendiri. Sebagian besar penerbit membayar ongkos cetak kepada percetakan.
Untuk itu langkah pemerintah memaksakan membeli hak cipta perlu ditinjau ulang. Ini bukanlah cara yang bijak menyelesaikan masalah mahalnya harga buku pelajaran di Indonesia. Sejarah dunia pendidikan di Indonesia berbeda dengan di negara lain. Industri buku pelajaran sudah menjadi bagian penting dari dunia pendidikan di Indonesia sejak awal. Industri ini juga telah memberi ribuan kesempatan kerja dan berkarya bagi anak bangsa kita.
Penerbit adalah industri yang apabila dimatikan akan menimbulkan efek sosial yang berantai seperti pemutusan hubungan kerja.
Kita tidak menafikan bahwa langkah pemerintah ini ditujukan untuk mendapatkan buku pelajaran yang murah dan terjangkau daya beli masyarakat. Akan tetapi, langkah yang ditempuh tidak bisa dengan serta-merta mematikan industri buku pelajaran dengan membuat kebijakan pembelian hak cipta ini. Saya khawatir pemerintah akan gagal dengan program ini, dan ini akan menyebabkan makin merosotnya wibawa pemerintah di mata masyarakat.
Dalam hemat saya, langkah menetapkan harga maksimal buku pelajaran untuk SD dan SMP tahun 2005 sudah sangat bagus. Pemerintah seharusnya secara konsisten bergerak dengan langkah ini.
Langkah kedua, pemerintah perlu menindak tegas penerbit yang melakukan manipulasi harga atau menciptakan persaingan usaha tidak sehat. Pemerintah harus bertindak terhadap pihak-pihak yang bermain mata dengan sekolah dan dinas pendidikan sehingga terjadi praktik monopoli dalam satu sekolah atau daerah.
Pemerintah juga jangan suka berganti kebijakan dalam waktu singkat. Tahun 2005 Mendiknas menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 26 yang mengatur judul buku Bahasa Inggris, Matematika, dan Bahasa Indonesia SMP dan SMA yang layak dipakai di sekolah untuk waktu lima tahun. Sekarang, baru dua tahun telah muncul lagi keputusan baru yang membatalkan keputusan tersebut. Bayangkan pemborosan yang terjadi karena saat ini ada ratusan ribu buku yang direncanakan dijual penerbit untuk lima tahun menumpuk jadi sampah tak berguna.
Pada akhirnya permasalahan buku pelajaran di Indonesia tidak akan dapat diselesaikan dengan pendekatan kekuasaan melalui pembelian hak cipta semata. Pemerintah perlu duduk bersama dengan asosiasi penerbit dan menemukan solusi yang terbaik dan memuaskan semua pihak.
* Junaidi Gafar, Pengamat Perbukuan, Pengajar pada Program Manajemen Penerbitan dan Grafika Politeknik Negeri Jakarta
Sumber: Kompas, Senin, 24 Maret 2008
No comments:
Post a Comment