YOGYAKARTA, KOMPAS - Bangsa Indonesia saat ini mengalami situasi seperti yang digambarkan penyair Ronggowarsito sebagai zaman kalatida dan zaman kalabendu. Kekuasaan pemerintah ada di atas kedaulatan rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat kecil serta semakin hancurnya alam.
Penyair WS Rendra menerima gelar doktor honoris causa dalam bidang kebudayaaan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (4/3). Dalam penganugerahan itu, Rendra menyampaikan pidato Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)
”Untuk keluar dari kalatida dan kalabendu, bukan Ratu Adil yang dibutuhkan, melainkan hukum yang adil,” kata penyair WS Rendra dalam pidato penerimaan gelar doktor honoris causa bidang kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada, Selasa (4/3).
Pada pertengahan abad ke-19, Ronggowarsito menggambarkan zaman pancaroba sebagai zaman kalatida dan kalabendu. ”Kalatida adalah zaman edan karena akal sehat diremehkan, sedangkan kalabendu adalah zaman hancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran dijungkirbalikkan secara merata,” kata Rendra.
Bangsa Indonesia saat ini pun mengalami hal yang tak jauh berbeda dari apa yang digambarkan Ronggowarsito itu.
Daulat pemerintah
Rendra juga mengkritik pemerintah yang kurang berpihak kepada usaha kecil dan menengah (UKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi bangsa. Meski sumbangannya pada gross national product (GDP) turun dari 62 persen menjadi 54 persen, sumbangan UKM tetap melebihi sumbangan badan usaha milik negara pada GDP yang hanya 45 persen.
Di bidang tata hukum dan tata pemerintahan, Pemerintah Indonesia juga masih meneruskan semangat penjajah Hindia Belanda yang menerapkan daulat pemerintah di atas daulat rakyat. Rendra mencontohkan, pepatah mikul dhuwur mendem jero sudah lepas dari konteks moralnya dan berganti makna menjadi ”kalau Anda berkuasa dan perkasa, maka berdosa boleh saja”.
Lebih jauh, selepas zaman kalatida dan kalabendu, Ronggowarsito menyebutkan akan hadir zaman kalasuba, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran yang akan ditegakkan oleh Ratu Adil, yang banyak dinantikan.
Namun, bagi Rendra, kalasuba tidak bisa sekadar dinantikan dengan sabar dan tawakal. Bangsa Indonesia sendiri yang harus aktif mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum, dan tata kenegaraan agar tercipta daya hidup dan daya cipta bangsa yang lebih baik.
”Situasi semacam itu tidak tergantung pada hadirnya Ratu Adil. Ratu Adil itu omong kosong, tetapi tergantung pada hukum yang adil, mandiri, dan terkawal,” ungkapnya.
Rendra sendiri merupakan penerima gelar doktor honoris causa ke-19 dari UGM. Melalui kepekaan atas kondisi sosial dan kemanusiaan yang dituangkan dalam karya-karyanya, Rendra dinilai telah memberikan pencerahan bagi bangsa Indonesia. (DYA)
Sumber: Kompas, Rabu, 5 Maret 2008
No comments:
Post a Comment