Monday, March 24, 2008

Penulis Muda Jatim: Bergeliat di Situasi Tidak Bersahabat

-- Palupi Panca Astuti dan Anung Wendyartaka

Ada fenomena yang berbeda manakala kita mengamati dunia perbukuan di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Industri buku di kota ini terkesan kurang bergairah, bahkan cenderung stagnan jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Jawa lainnya seperti Yogyakarta, Bandung, ataupun Jakarta, beberapa tahun terakhir.

Buku-buku karya penulis muda Jawa Timur bentuknya beragam mulai dari kumpulan puisi, cerpen, hingga novel. (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Geliat industri perbukuan yang terjadi di Yogyakarta, Bandung, ataupun Jakarta yang ditandai dengan munculnya ratusan penerbit buku sejak era reformasi tahun 1998, ternyata tidak terjadi di Surabaya. Hampi-hampir tidak ada satu pun penerbit buku baru yang muncul ke permukaan dan kiprahnya diperhitungkan di kancah industri buku nasional.

Kondisi yang berbeda terjadi di Yogyakarta, misalnya, muncul penerbit-penerbit seperti LKiS, Galangpress, Bentang, Jalasutra; di Bandung muncul penerbit Nuansa Cendekia, penerbit-penerbit di bawah kelompok Mizan, MQ Publishing; di Jakarta muncul kelompok penerbit Agromedia, Komunitas Bambu, serta penerbit-penerbit lainnya yang saat ini mewarnai industri buku di Tanah Air.

Muramnya kondisi industri perbukuan, tidak berkembangnya industri penerbitan buku di provinsi paling timur Pulau Jawa ini, mau tidak mau memengaruhi perkembangan dunia tulis-menulis dan sastra di wilayah itu. Penulis atau sastrawan di wilayah ini tentunya tidak seleluasa penulis-penulis di Yogyakarta, misalnya, dalam menerbitkan karya-karya mereka karena minimnya penerbit buku. Akibatnya, tidak banyak penulis muda dari wilayah Jatim yang dikenal di tingkat nasional.

”Saya iri dengan teman-teman penulis di Yogya atau Bandung. Lingkungan di kota mereka sangat mendukung perkembangan penulis. Selain penerbitnya banyak, masyarakatnya juga peduli dengan perkembangan dunia sastra,” papar Mashuri, salah seorang penulis muda Surabaya.

Di Yogyakarta maupun Bandung kegiatan di dunia sastra, seperti diskusi buku atau bedah buku, cukup berkembang, baik di lingkungan kampus maupun di kalangan lebih luas. Selain itu juga muncul berbagai forum atau komunitas yang melibatkan penulis maupun penikmat buku.

”Di sini komunitas sastra ada di kampus-kampus seperti yang ada di Fakultas Sastra Unair (Universitas Airlangga) dan di Unesa (Universitas Negeri Surabaya). Itu pun kegiatannya enggak banyak, lebih banyak ngumpul-ngumpul saja,” kata Mashuri. Selain kampus, aktivitas sastra juga ada di beberapa pondok pesantren di Jatim, seperti Al Amin dan Anakoya di Sumenep, Madura, dan beberapa pondok pesantren di Jombang dan Gresik. ”Namun, umumnya penulis-penulis di daerah ini lebih banyak menulis untuk koran daerah, seperti ke Jawa Pos atau Surya,” jelas Sumayoga yang lebih dikenal dengan S Yoga, salah seorang penulis Jatim yang puisinya sudah pernah menembus koran nasional.

Menurut Mashuri, kurang berkembangnya sastra di Jatim, khususnya di Surabaya, karena kota ini lebih bercorak dan berkembang sebagai kota dagang atau bisnis ketimbang kota budaya. ”Jadi perhatian masyarakat, pemerintah daerah, dan dunia swasta memang tidak banyak ke sini (sastra),” kata Mashuri.

Tetap bergeliat


Kendati situasi kurang mendukung perkembangan dunia sastra, hal itu tidak menyurutkan beberapa penulis di daerah ini untuk terus berkarya dan berprestasi sehingga mampu menembus pasar nasional. Ini memberi harapan munculnya penulis-penulis muda yang nantinya bisa meneruskan kiprah penulis generasi yang lebih tua Jatim seperti Budi Darma, Suparto Brata, D Zawawi Imron, Akhudiat, dan Ratna Indrawati Ibrahim, yang sudah lebih dulu bicara di kancah sastra Indonesia.

Konstruksi industri penerbitan yang berfondasi pada minat pasar menjadi batu sandungan sastrawan dari daerah ini untuk tampil di panggung sastra Indonesia. Corak daerah dan karakter publik Jatim, terutama Surabaya, dianggap kurang bersahabat terhadap karya-karya sastra, khususnya sastra yang dianggap ”cukup berat” untuk dimengerti pembaca awam. Misalnya puisi, esai sastra, atau novel-novel dan cerpen dengan cerita simbolik, surealis, ataupun realis namun penuh estetika dalam berbahasa. Akibatnya, sastrawan di Jatim lebih banyak bergerak sendiri dalam menyebarkan kreasi-kreasi imajinasinya melalui jalur independen.

Geliat perkembangan sastra di Jatim terasa ketika generasi penulis muda kelahiran tahun 70-an mulai menancapkan kukunya di dunia sastra nasional. Sebutlah Mashuri, penulis sekaligus penyair kelahiran Lamongan itu mulai dikenal publik sastra Indonesia ketika novelnya Hubbu atau ’cinta’ dalam bahasa Arab memenangi Sayembara Novel DKJ yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2006.

Secara empiris, kemenangan Mashuri dengan Hubbu-nya cukup membuka mata kalangan sastra Tanah Air bahwa Jatim memiliki bibit-bibit penulis yang bisa diperhitungkan. Itu juga mampu mementahkan pandangan sebagian kelompok masyarakat yang menganggap provinsi ini merupakan ”lahan kering” buat para penulis. Kenyataannya, industri penerbitan yang kurang mendukung serta minat mayoritas publik yang tidak karib dengan sastra, tidak menyurutkan semangat para penulis dalam berkreativitas. Komunikasi antarkomunitas yang intens serta penciptaan jalur-jalur penerbitan independen adalah dua hal yang tetap merangsang munculnya novelis, cerpenis, penyair, esais, hingga kritikus sastra yang baru di Jatim.

Penulis Surabaya lain yang berhasil menembus ”Jakarta” adalah Lan Fang. Seperti halnya Mashuri, perempuan pengarang novel berjudul Lelakon yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama ini bisa menembus Jakarta setelah cerita pendek karyanya terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik pada sayembara penulisan yang diselenggarakan majalah wanita Femina.

Hingga saat ini, tak kurang sudah lima novel karya Lan Fang yang diterbitkan oleh penerbit di Jakarta. Selain Mashuri dan Lan Fang, masih ada penulis muda Jatim lain, seperti Imam Muhtarom, S Yoga, maupun A Mutaqim yang karya-karyanya berhasil menembus pentas sastra nasional.

Komunitas diskusi


Salah satu sarana yang diperlukan penulis untuk menghasilkan karya yang bermutu adalah komunitas diskusi. Minimnya komunis diskusi inilah yang dihadapi oleh para penulis di Jatim. ”Mereka memang jarang kumpul, berdiskusi. Kalaupun kumpul, yang dibicarakan lain. Jadi, tidak menjadi semacam komunitas berdiskusi. Tidak perlu sampai seperti komunitas Utan Kayu,” ujar Budi Darma.

Pentingnya komunitas diskusi ini juga dirasakan S Yoga. Ia merasakan, semangat untuk tetap berkarya muncul jika berjumpa dan berbincang-bincang, khususnya seputar perkembangan sastra dengan kawan-kawan penikmat dan pegiat sastra lainnya. ”Saat teman-teman bertemu, biasanya tiap bulan mengadakan presentasi. Tiap orang membaca puisi atau cerpen, lalu dikritik teman lainnya,” ucap penulis antologi puisi Patung Matahari ini.

Pembahasan yang sering kali berisi kritik dan masukan terhadap karya salah satu anggota komunitas pada akhirnya akan melahirkan karya-karya baru dari anggota lain. Dari komunitas-komunitas yang kebanyakan berasal dari kampus itulah kreasi-kreasi sastra di Jatim tidak pernah mati.

Pentingnya obrolan ngalor ngidul saat bertemu teman sangat dirasakan Indra Tjahyadi, penyair muda yang bergelut dalam dunia kesusastraan semenjak mengenalnya di bangku kuliah. ”Proses kreatif saya dalam bersastra biasanya dimulai dari diskusi dengan teman-teman,” kata Indra. Dari pembicaraan tentang hal yang remeh-temeh sampai perdebatan bernuansa politik lahirlah puisi atau cerpen-cerpen baru.

Hal yang berbeda dialami oleh Sujai atau lebih dikenal dengan nama S Jai. Semangatnya malah timbul ketika ia dan teman-teman sepakat membedah sastra di luar kampus. ”Di bangku kuliah saya tidak menemukan patron untuk bersastra. Oleh sebab itu, para calon penulis di kampus saat itu memilih bergerak di luar,” ujarnya. Untuk menambah jaringan ke penulis lain, penulis novel Tanah Api yang terbit tahun 2005 ini juga menjalin kontak dengan seniman di komunitas luar kampus. ”Di Bengkel Muda Surabaya saya banyak berkenalan dengan penulis-penulis ternama,” tambah penulis kelahiran Kediri itu.

Menurut Muhtarom, obrolan di dalam komunitas dianggap sangat tepat untuk membuahkan karya sastra yang ideal. Meski kegiatan sama dilakukan komunitas di daerah lain, ciri sastra Jatim yang tak terikat seperti mendapat peluang untuk lebih kreatif melalui ajang diskusi yang sifatnya serba bebas.

”Sastra dari Jatim generasi saya sekarang sebagian besar memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tidak baku dan saling mendominasi, penuh gairah dan semangat, tidak terikat, dan bebas dalam menulis,” tambah Imam. Tidak adanya tekanan dari institusi sosial diyakini akan membuat penulis muda Jatim lebih bereksperimen dalam berkarya. Meski selera pasar kurang merespons, Imam yakin d ia dan teman-teman tetap menghasilkan tulisan-tulisan menarik, apalagi jika mampu meraih penghargaan, maka publik dan penerbit pun akan melirik.

Kurang gigih

Dari rangkaian pengalaman bersastra para penulis muda Jatim tersebut bisa disimpulkan bahwa pembangkit semangat mereka mencipta salah satunya adalah komunikasi rutin yang kemudian mendorong timbulnya karya baru. Diskusi tidak harus selalu berupa pertemuan fisik, melainkan dengan bantuan teknologi, misalnya via chatting, surat elektronik, atau dalam blog. Hal inilah yang sekarang masih dilakoni oleh Imam Muhtarom, penulis asal Blitar, meski kini sering ulang alik Jakarta-Surabaya karena aktivitasnya sebagai editor sebuah penerbitan di Jakarta.

Menurut Budi Darma, selain kurangnya forum diskusi ada hal lain yang masih menjadi kelemahan penulis muda di daerah itu, yakni kurang memanfaatkan peluang yang baik dan mereka dianggap kurang gigih. ”Mereka itu menulis, berkarya tetapi kemudian berhenti. Kalau bertemu, mereka lebih sering mengeluhkan situasi Surabaya yang kurang mendukung. Itu secara obyektif memang betul, tetapi tidak bisa dijadikan alasan. Meskipun situasinya seperti itu, kalau mau, ya, mari maju,” papar Budi Darma.

* Palupi Panca Astuti dan Anung Wendyartaka, Litbang Kompas

Sumber: Kompas, Senin, 24 Maret 2008

No comments: