Saturday, October 14, 2006
Buku: Revitalisasi Hukum Adat, Mungkinkah?
Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran. Penulis: H. Rizani Puspawidjaja, S.H. Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2006. 175 halaman
MESKIPUN Indonesia telah merdeka, masih terasa belum sungguh-sungguh merdeka. Setidaknya, dalam bidang hukum. Betapa tidak, sebagai negara merdeka, Indonesia seharusnya memiliki sistem dan tata hukum nasional yang berwatak kebangsaan.
Namun ternyata, hukum adat hanya sebagai pelengkap saja. Ketika kita mengakui bangsa Indonesia bersifat majemuk (pluralistis) dengan beragam suku-suku bangsa. Konsekuensinya, hukum adat tidak hanya diakui, tetapi harus dilaksanakan.
Padahal, substansi hukum adat telah diakui sarat dengan kebijakan lokal (local wisdom) tentang pengorganisasian masyarakat dan pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat adat merupakan cerminan pola hidup yang mementingkan kebersamaan (togetherness), seperti tolong-menolong dan gotong royong, dan senantiasa menjaga keseimbangan kepentingan-kepentingan (the balance of interests).
Konservasi sumber daya alam dalam pengelolaan lingkungan hidup, sudah diatur hukum adat, contohnya tentang sistem tebang pilih dalam kehutanan ternyata diatur dalam hukum adat. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika Rendra menyatakan hukum adat terbukti dapat melindungi lingkungan hidup dari kerusakan dan memperkuat kohesi sosial.
Menurut dia, "Sampai sekarang, yang tetap peduli menjaga alam adalah masyarakat yang hukum adatnya masih kuat," (Kompas, 9 Oktober 2006). Rupanya, pemberdayaan dan penguatan masyarakat adat untuk menjaga lingkungan hidup harus segera dilakukan karena pemerintah ternyata tidak mampu menanggulangi asap akibat kebakaran dan pembakaran lahan.
Keinginan dan tuntutan agar hukum adat dilaksanakan secara efektif sudah menjadi isu lama, tapi tak kunjung direalisasi. Khususnya tuntutan para peneliti dan akademisi yang bergelut di bidang hukum adat, seperti pemikiran H. Rizani Puspawidjaja yang dituangkan dalam bukunya Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (2006).
Menurut dia, hukum adat memiliki potensi dan prospek yang bagus untuk pembangunan hukum nasional (hlm. 127) dan pembaruan hukum pidana (hlm. 141). Walaupun ia mengakui ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi agar hukum adat dapat diefektifkan.
Semangat agar hukum adat digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tampak dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi."
Rumusan pasal tersebut terkesan ada kegamangan mengakui eksistensi hukum adat karena dalam pelaksanaan hukum adat masih digantungkan pada persyaratan tertentu dan cenderung multi penafsiran. Tidak heran jika dalam implementasinya menjadi kabur atau tidak jelas. Rumusan serupa dijumpai kembali dalam Pasal 5 UUPA.
Persoalan hukum semacam itu umum dijumpai di negara yang majemuk, cenderung memiliki pluralisme hukum, sebagaimana dikatakan Lloyd's (2001), "In heterogeneous and pluralistic societies there will invariably be more than one living law." Sistem hukum nasional Indonesia setidaknya dipengaruhi tiga sistem hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum Eropa Barat. Ketiganya saling berinteraksi.
Berkenaan dengan pelaksanaan hukum adat, seolah-olah terjadi proses tarik-menarik atau kompetisi antara hukum yang berasal dari negara dan masyarakat adat.
Menyikapi hal itu, pemikiran H. Rizani Puspawidjaja terkesan kompromis dan realistis (hlm. 98). Sementara itu, pada bagian lain dikemukakan bahwa kasus-kasus pertanahan di Lampung menunjukkan (a) kesewenang-wenangan aparatur pemerintah dalam penerapan prinsip-prinsip hukum tanah yang berlaku; (b) kesalahan penafsiran tentang definisi tanah negara oleh pihak pemerintah; dan (c) pemberian ganti rugi yang ditekan serta tidak transparan (hlm. 34).
Dengan demikian, sesungguhnya sistem hukum Indonesia masuk kategori pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) yang oleh Griffith (1986) diartikan sebagai bentuk lain dari sentralisme hukum, karena hukum adat inferior sedangkan hukum negara superior. Sementara itu, Sally Falk Moore dalam bukunya Law as Process An Anthropological Approach (1978) menghendaki pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism) melalui pengaturan hukum yang otonom dalam the semi-autonomous social field, termasuk masyarakat adat.
Dalam hal ini, pemikiran H. Rizani Puspawidjaja dapat dikatakan bersifat eklektif yang menginginkan adanya interaksi yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualistis antara hukum adat dan hukum negara. Untuk itu, lembaga adat harus ditata ulang disesuaikan dengan kondisi modern, tetapi tidak meninggalkan sistem dan struktur baku yang menjadi ciri khasnya (hlm. 124).
Buku karya H. Rizani Puspawidjaja berjudul Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran memuat kumpulan tulisan dalam berbagai kegiatan dan pertemuan ilmiah. Ada keunggulan dan kelemahan dari teknik penulisan seperti itu, di antaranya yaitu pada satu pihak dapat mengikuti isu-isu yang berkembang, tetapi di lain pihak kelemahannya adalah pembahasannya tidak runtut.
Ada tiga topik besar yang dibahas dalam buku tersebut, yaitu tentang (1) adat dan masyarakat adat mencakup sistem, struktur, tatanan moral, dan tatanan hukum adat; (2) hukum tanah adat; dan (3) eksistensi dan pelaksanaan hukum adat. Buku tersebut diuraikan secara induktif dengan membahas hukum adat Lampung agar dapat diperoleh pemahaman hukum adat pada umumnya. Selain itu juga menggunakan pendekatan inter-disipliner, yaitu menggunakan konsep-konsep sosiologi hukum dalam memahami hukum adat.
Buku karya H. Rizani Puspawidjaja tersebut patut kita berikan apresiasi karena melalui karya tersebut hukum adat menjadi objek kajian atau studi yang penting dan perlu dilakukan dalam rangka mencari solusi komprehensif atas permasalahan hukum dan sosial yang terjadi pada masa sekarang dan mendatang. Hukum adat termasuk bidang kajian yang kering dan langka.
Apalagi setelah meninggalnya Profesor Hilman Hadikusuma, Unila tidak memiliki lagi figur sekaligus tokoh hukum adat yang diakui secara nasional. Semoga dengan terbitnya buku karya H. Rizani Puspawidjaja tersebut dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum adat di Lampung khususnya dan di Indonesia umumnya.
Wahyu Sasongko, Dosen Fakultas Hukum Unila
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 14 Oktober 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment