-- Aa Sudirman*
"CUKUP. Saya tidak suka kuliah arsitektur. Menghabiskan waktu saja. Saya mau jadi penulis." Mungkin kalimat itu yang diucapkan Orhan Pamuk saat memutuskan untuk berhenti kuliah di Universitas Teknik Istanbul, Turki. Belakangan ia kuliah lagi di Institut Jurnalistik, Universitas Istanbul. Tapi ia tidak pernah sungguh-sungguh menjadi jurnalis.
Orhan kecil lebih suka membaca karya Virginia Wolf dan menulis di rumahnya. Keberaniannya untuk memutuskan berhenti kuliah arsitek itu mungkin salah satu pendorongnya untuk menjadi penulis. Tentu saja bakat menulisnya adalah faktor utama yang mengantarnya pada posisi terhormat sebagai penulis tingkat dunia.
Dari tangan, dan tentu saja pikiran dan hatinya, lahir novel fiksi yang unik. Sebagai penulis novel fiksi, ia dengan lancar bisa menggambarkan orang yang telah mati masih bisa berbicara. Di tangannya, pepohonan jadi bisa berkisah.
Lahir di Istanbul, 7 Juni 1952, Orhan Pamuk memang dikenal sebagai penulis hebat. Namanya bukan hanya dikenal di negerinya. Nama dan karyanya melintasi batas-batas negara. Melintasi sekat-sekat kelompok, agama, dan pandangan politik. Tidak heran jika majalah Time edisi 8 Mei 2006 menobatkan Orhan sebagai satu di antara 100 manusia yang paling berpengaruh di dunia.
Orhan memang menawarkan cara lain bercerita lewat tulisannya. Menyuguhkan alur cerita yang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang negaranya, Turki, yang sering disebut sebagai wilayah pertemuan antara budaya Barat dan Timur. Menurut Orhan karyanya memang tidak lepas dari soal perubahan budaya, gaya hidup Barat di negara yang sebenarnya bukan Barat.
Keputusan yang Berani
Tiga puluh tahun menulis dan menyaksikan bagaimana karyanya diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa di dunia, jelas membuatnya bahagia. Siapa tahu ia ingat kata-kata tajamnya saat meninggalkan kuliah di jurusan arsitektur. Putusan yang berani dan tepat.
Dua puluh jam terakhir, dunia sastra kembali harus membaca dan menyebut namanya setelah Horace Engdahl, sekretaris Komite Nobel menyebut nama Orhan Pamuk sebagai penerima penghargaan Nobel Sastra tahun ini. Pengumuman dilakukan di Stocholm, Swedia, Kamis (12/10) waktu Indonesia.
Komite Nobel untuk bidang sastra dipilih oleh Akademi Swedia yang beranggotakan 18 orang. Akademi Swedia yang disebut sebagai De Aderton itu beranggotakan penulis, ahli bahasa, sejarawan, dan ahli hukum terkenal dari Swedia.
Untuk tahun ini Komite Nobel beranggotakan Pär Wästberg, Horace Engdahl, Kjell Espmark, Lars Forssell, dan Katarina Frostenson. Semuanya anggota adalah penulis yang berwibawa di Swedia.
Dalam situs resmi Nobel, Akademi Swedia memberikan catatan singkat soal Orhan. "Dalam perjalanan untuk menemukan jiwa dari kota kelahirannya, ia telah menemukan simbol dari penggabungan beberapa kebudayaan".
Pengumuman Akademi Swedia itu sekaligus meruntuhkan spekulasi mengenai siapa yang akan meraih penghargaan Nobel tahun ini.
Kantor berita AP menyebutkan, selain Orhan, kandidat terkuat untuk meraih penghargaan lainnya ialah penyair Suriah Ali Ahmad Said, Joyce Carol Oates dari Amerika, dan penulis Jepang Haruki Murakami, serta penulis asal Swedia Thomas Transtromer.
Nama Orhan akan ditempatkan di atas nama peraih Nobel bidang sastra tahun lalu, Horald Pinter. Di bagian paling bawah daftar itu tertera nama peraih penghargaan yang sama pada 1901, Sully Prudhome.
Keluarga Kaya
Orhan yang dilahirkan dari latar belakang keluarga kaya itu sudah banyak menulis novel dalam bahasa Turki. Belakangan karya tulisnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, dan beberapa negara lainnya. Beberapa diantaranya ialah, My Name is Red, The White Castle, The Black Book, The New Life, Istanbul, dan Snow.
Kehidupannya malah menjadi salah satu sumber inspirasinya saat menulis novel yang berjudul Cevdet Bey, His Sons dan The Black Book.
Ia sempat menjadi mahasiswa tamu di Universitas Columbia di New York (1985-1988). Pada saat itulah ia menulis novel berjudul The Black Book yang muncul dari pengalaman pribadinya saat bercerai dengan Aylin Turegen.
Novel yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis itulah yang mengantarnya meraih penghargaan Prix France Culture. Novel itu juga yang membuatnya dikenal sebagai penulis yang mampu meramu kisah masa lampau dengan masa kini dalam alur cerita yang unik dan memikat.
Ide cerita sepertinya datang bergelombang kepadanya. Ia kemudian mengisahkan kisah seorang mahasiswa yang sangat terpengaruh sebuah buku misterius dalam novel berjudul The New Life. Novel itulah yang melambungkan nama Orhan Pamuk di negerinya.
Nama Orhan semakin melambung saat ia mengatakan bahwa satu juta orang Armenia dan 30 ribu warga Kurdi dibunuh tentara Turki pada Perang Dunia I. Pemerintah Turki membantah melakukan pembantaian dan menyatakan bahwa saat itu yang terjadi adalah peperangan dan warga Turki pun banyak yang tewas saat itu.
Akibat pernyataannya itu, Orhan sempat diperiksa dengan dakwaan menghina identitas Turki dan angkatan bersenjata Turki. Dakwaan akhirnya dihentikan setelah Kementerian Kehakiman Turki menolak mengeluarkan ketetapan tentang bisa tidaknya dakwaan terhadap Pamuk disidangkan.
Lepas dari kemungkinan bahwa penghargaan itu mungkin akan menimbulkan reaksi Pemerintah Turki dan kritikan dari berbagai kalangan yang tidak menyetujui terpilihnya Orhan, hadiah uang sebesar US $ 1,4 juta, medali emas dan piagam sudah menantinya. Pada 10 Desember mendatang di Stockholm, Swedia, tanggal di mana pemrakarsa pemberian penghargaan Nobel, Alfred Nobel meninggal, Orhan bisa dengan bangga menyatakan, "Aku memang penulis. Aku bukan arsitektur."
* Aa Sudirman, wartawan Suara Pembaruan
Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 13/10/06
No comments:
Post a Comment