Sunday, March 09, 2008

800 Tahun Rumi: 'Tersesat' di Jalan yang Benar

HIDUP delapan abad silam, Jalaluddin Rumi hingga kini masih dikagumi banyak orang. Tidak cuma itu, tak segelintir yang terinspirasi oleh tokoh Islam yang wafat pada 17 Desember 1273 tersebut. Akan tetapi, yang belum mengenalnya, banyak juga.

Fierman Wandi, termasuk orang yang baru mengenal Rumi. Eksekutif muda ini akhirnya mengetahui sosok Rumi di usianya yang sudah kepala tiga. ''Terus terang, hari inilah saya kenal Rumi,'' katanya seusai menghadiri acara Renungan 800 Tahun Rumi yang digelar oleh penerbit Mizan, Jumat (29/2), di Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, Jakarta Selatan.

Sepanjang acara, Fierman duduk diam menyimak satu per satu penggalan puisi karya Rumi yang dibacakan oleh tokoh-tokoh ternama negeri ini. Ia mengaku terpana oleh kedahsyatan pemikiran dan syair Rumi. ''Maknanya begitu dalam dan semuanya merupakan intisari Alquran,'' komentarnya.

Di mata Fierman, apa yang dituliskan Rumi sepanjang hayatnya adalah kebenaran. Meski tercetus beratus tahun silam, kebenaran hakiki tetap menjadi sebuah kebenaran hingga masa kini sekalipun. ''Untuk kondisi sekarang, di masa krisis seperti saat ini, peringatan dan nasehat Rumi makin relevan saja,'' ujarnya.

Sebagai orang yang hidup di abad ke-13, lanjut Fierman, pemikiran Rumi teramat maju. Bahkan, ia menilai hasil perenungan Rumi telah jauh melampaui zamannya. ''Rumi adalah filosof Islam yang menebarkan kebenaran dengan cara yang indah,'' katanya.

Sebagai bukti atas pemahamannya terhadap pemikiran Rumi, Fierman angkat bicara. Ia lantas mengulang kembali dengan bahasanya sendiri petikan puisi Rumi tentang kebaikan versus kejahatan. ''Di segala kondisi, orang harus tetap berbuat baik. Meski kadang kala, kebaikan itu mendatangkan bala baginya. Yakinlah, yang benar akan tetap benar,'' urainya.

Akulah Angin Engkaulah Api. Itulah judul buku Annemarie Schimmel, profesor kajian Islam dan Arab yang juga doktor sejarah agama serta doktor bahasa dan peradaban Islam, yang diterbitkan Mizan dalam rangka mengenang Rumi.

''Rumi...Oh...Rumi...Delapan ratus tahun sudah engkau kembali, menghadap Sang Pencipta. Namun, hingga kini, kata-katamu masih bisa memukau dan membuat orang tersadar untuk terus berada di jalan yang benar.''

Kehidupan sufi belum tampak diminati Rumi hingga usia 35 tahun. Saat itu, ia juga tidak terlihat tertarik menjadi penyair. Kepenyairan Rumi bermula ketika berumur 37 tahun, usia yang dalam hitungan jari akan dicapai Fierman. Pertemuan, pertemanan, dan pengembaraannya bersama Syamsi Tabriz -- seorang darwish alias sufi pengembara dari Tabriz, Iran, yang hadir di Konya, Turki, pada 1244 membuat hidup Rumi makin berwarna.

Perpisahan dengan Syamsi Tabrizlah yang memicu Rumi untuk menulis syair. Rasa kangen pada guru spiritualnya membuat Rumi yang lahir di Balkh, Afghanistan, pada 30 September 1207, perlahan makin merindukan Tuhan. Sepeninggalnya, Rumi pun mewariskan karya-karya fenomenal yang menggugah hati.

Seiring waktu, Diwan-i Shams Tabriz dan Mathnawi-i Ma'nawi, kemudian mendunia, dan tidak hanya jadi kebanggaan Persia. Konon, sepanjang hidupnya, Rumi melahirkan 34.662 bait syair dalam bentuk ghazal alias sajak-sajak cinta mistikal, ruba'i atau sajak empat baris dengan rima teratur, dan matsnawi yang menyerupai prosa. Lantas, masih ada lagi wacana keilmuan (rasa'il) dan khutbah (khitabah).

Uniknya, dari 27 ribu matsnawi Rumi, cuma 18 yang ditulis tangannya sendiri. Hanya bagian pembuka saja yang merupakan goresan pena Rumi. Sisanya dicatat oleh murid-muridnya. Catatan itulah yang kini tersebar luas di seluruh penjuru dunia. Karya Rumi tersebut telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mempengaruhi mereka yang membacanya. ''Andai saja pengajaran sastra di bangku sekolah juga memperkenalkan Rumi,'' celetuk Fierman.

Gagasan Rumi termasuk yang mendapat tempat di hati orang yang tidak bersyahadat sekalipun. Itu karena Rumi memandang semua agama adalah sama, mengajarkan cinta kepada alam keruhanian. Pemikirannya itu antara lain tercetus dalam sajak Ratapan Seruling Bambu, kisah kerinduan manusia terhadap Tuhannya.

Zawawi Imron mengagumi Rumi. Penyair asal Madura ini merasa 'tersesat di jalan yang benar' saat membaca karya-karya Rumi. ''Toh lebih bagus daripada merasa benar di jalan yang sesat,'' kelakarnya.

KH Mustafa Bisri yang ahli fiqih menganggap penting upaya untuk mengembangkan pemikiran Rumi. Terlebih, Rumi menggunakan penanya untuk menghancurkan pedang dan tombak -- membawa pesan perdamaian. ''Kemarilah, mari kita berbicara tentang Tuhan,'' ajak Mustafa menirukan Rumi. reiny dwinanda

Tarian Gasing sang Sufi


Selain rentetan syair indah penuh makna, Rumi juga mewariskan tarian gasing yang baru lengkap jika ada seruling, rebab, rebana, dan peci, serta japon darwis. Berputar-putar dalam satu sumbu selama berjam-jam seperti planet mengitari matahari seraya menghayati ketuhanan. Itulah sema (sama') yang lestari dijalankan oleh tarekat Maulawi, pengikut ajaran Maulana Jalaluddin Rumi.

Sufi bernama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Husayn al-Khattibi al-Bahri ini dikenal sebagai tokoh yang jalan pemikirannya inklusif. Apresiasi terhadap pemikiran Rumi seolah membuat dunia demam Rumi. Unesco di tahun 2007 tepat 800 tahun wafatnya Rumi menetapkan tahun tersebut sebagai Tahun Rumi.

Mengapa Tahun Rumi? Tentu saja karena 81 peneliti dari 26 negara yang tergabung dalam badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tersebut merasakan kebenaran dalam jalan pemikiran Rumi. Tak cuma itu, Rumi juga diapresiasi sebagai imigran yang sukses dan menjadi tokoh besar sepanjang sejarah. rei

Sumber: Republika, Minggu, 09 Maret 2008

No comments: