-- US Tiarsa R*
Inohong di Bojongrangkong
Lain inohong sabongbrong
Inohong nu ngajak seuri
Ngajak nyeungseurikeun diri
Ngajak naliti nastiti
Naléngténg jati pribadi
Ngajak nyarita balka
Ngarampa ceda nu aya
Lain dumuk di nu anggang
Aya di badan sorangan
Lain nyangkaruk di deungeun
Dina diri sadirieun
SEPERTI makna lirik lagu tema di atas, RAF membuat Inohong di Bojongrangkong (IDB) sebagai media kritik. Namun, lagu itu bukan kritik tajam yang langsung menuju sasaran. RAF mengajak semua orang mau meneliti, memahami, dan menceritakan secara terbuka masing-masing dirinya. IDB tidak mencela, mengejek, dan menertawakan orang lain. IDB justru lebih menukik ke dalam diri orang perorang.
Perilaku dan semua yang terucapkan merupakan cermin semua orang. Apabila pada cermin itu terefleksikan sesuatu yang bagus, artinya perilaku seperti itulah yang bisa menjadi pegangan. Sebaliknya apabila pada cermin terefleksikan sesuatu yang buruk, itulah gambaran diri seseorang dan orang itu perlu segera memperbaikinya.
IDB yang ditayangkan TVRI Stasiun Bandung sampai 110 episode itu berbeda dengan sinteron. IDB jelas-jelas bukan sinetron. RAF sebagai penggagas sekaligus penulis naskah tidak berangkat dari konsep sinematografi. Semua naskah IDB murni dalam bentuk naskah drama, bukan skenario film apalagi sinopsis. Naskah yang ditulis RAF merupakan naskah utuh berupa dialog lengkap dengan narasi dan dramaturginya. Naskah IDB bisa disebut sebagai karya yang laik baca dan bisa dinikmati layaknya karya sastra.
Karena RAF berangkat dari konsep drama atau teater yang berpretensi sastra, dialog merupakan kekuatan utama IDB. Secara keseluruhan, IDB tidak membutuhkan acting yang luar biasa. Oleh karena itu, IDB tidak melibatkan bintang film atau selebritis. IDB tidak membawa bintang, justru IDB mencetak bintang. Odo yang berperan sebagai Pak Soma karena main di IDB, mendapat tawaran main dalam sinetron, dimulai dengan menjadi bintang iklan. Bu Esih, Enok, Eroh, Erum, menjadi orang terkenal dan sering tampil dalam berbagai acara. Tike Priatnakusumah yang sekarang malang melintang dalam dunia lawak, boleh dikatakan berangkat dari IDB.
Naskah IDB sejak episode awal sudah memberi arahan yang jelas bagaimana pemeranan yang harus dilakukan para pelaku. Naskah IDB memiliki kemampuan membentuk karakter setiap pelaku secara konsisten. Justru di sinilah kepiawaian RAF. Ia memiliki naluri dan pandangan amat kuat terhadap kehidupan, khususnya kehidupan di perdesaan. Komunitas Bojongrangkong dibuat sangat beragam. Sifat dan karakter penghuni kampung itu benar-benar heterogen. Semua orang yang ada dalam komunitas itu memiliki perilaku, karakter, kebiasaan, dan latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang berperilaku sangat baik, seputih Samiaji.
Sekadar contoh, orang yang berhati bersih, jujur, punya keinginan memajukan kampungnya itu, tergambar pada tokoh Ibu Esih. Perempuan bijak itu mewakili kaum cerdik pandai yang punya pretensi meluruskan semua perilaku bengkok, munafik, dan korup. Esih tidak dapat disebut tokoh sentral tetapi memang protagonis. RAF sebagai anggota DPRD Jabar masa itu, menggunakan Esih sebagai media pembersih. Namun, "pembersihan" yang dilakukan RAF, pembersihan yang halus, tanpa kekerasan, dan aroganistis. Pembersihan yang diinginkan RAF, pembersihan secara intelektual. Karena itu mediumnya juga seorang perempuan berpenampilan santun.
Tokoh baik dan jujur juga menjadi milik Kepala Desa (Kades) Bojongrangkong meskipun tidak seputih Bu Esih. Ia seorang kepala desa yang benar-benar mengayomi rakyatnya. Sayang, "karena tugas" ia harus digantikan oleh pejabat kades. Tokoh ini menggambarkan seseorang yang punya kedudukan tetapi tidak punya latar belakang pendidikan dan pengalaman yang cukup. Ia buta huruf tetapi bergaya intelektual sejati.
Tokoh munafik digambarkan oleh Pak Soma. Inohong terkaya di kampung itu seperti berjiwa besar, penolong, banyak beramal. Namun, semua itu merupakan topeng untuk menutupi hawa nafsunya yang serakah. Tampaknya RAF juga ingin memberi gambaran, kekuasaan, dan senjata berakibat jelek bila digunasalahkan. Hal itu digambarkan melalui, Usen, tokoh preman kampung yang menjadi ketua keamanan di desa itu. Ia beranggapan, semua persoalan akan selesai dengan caci maki, bentakan, dan golok.
Pengadegan dan pengambilan gambar sebenarnya bisa lebih filmnis. Namun, RAF memilih adegan yang tidak terlalu moving atau dinamis. Gambar lebih banyak minidimensional, bukan multidimensional, bahkan cenderung berbasis panggung preskonium, seperti layaknya teater. Kamera lebih banyak statis, tertancap pada tripod dengan posisi frontal. Hanya sesekali saja mobile-camera bergerak ke arah samping atau atas.
Secara sadar, RAF ingin mengangkat teater ke layar kaca, RAF merupakan sastrawan Sunda yang punya apresiasi cukup terhadap teater. Ia pernah menulis naskah dan menyutradarai gending karesmen dan dramaswara "Leuwi Sipatahunan" dan "Yaomal Kiamah". Oleh karena itu, secara sadar pula, RAF mengajak orang teater ikut dalam proses kreatif IDB. Bukan sekadar menjadi pelaku tetapi juga bersama-sama menerjemahkan konsep IDB dalam bentuk seni peran, artistik, dan sebagainya. Di sana ada Bambang Arayana, Sis Triaji, Aat Suratin, dan sebagainya.
RAF menghabiskan lebih separuh waktunya untuk menggarap naskah IDB. Tak ada waktu di luar sidang yang tidak diwarnai dengan bunyi mesin tik tuanya di ruang atas rumahnya. Biasanya sebuah naskah diselesaikan dalam tempo satu minggu kecuali bila encok di kakinya tak bisa diajak kompromi, RAF terpaksa menunda garapannya. Namun, paling lambat dua minggu, sebuah naskah rampung. RAF suka menelefon saya dan beberapa orang yang berasal dari lingkungan teater membaca naskah yang baru selesai. Kami melakukan diskusi, kadang amat terperinci, sampai pada dampak sosial dari cerita itu.
IDB termasuk tayangan yang be-rating tinggi tetapi IDB tidak menjadi andalan hidup para pelakunya. Bila ada uang masuk dari sponsor, habis untuk transpor pelaku. Amat berbeda dengan sinetron yang bisa melambungkan para pelaku apalagi produser, menjadi orang kaya raya. IDB tidak mendatangkan uang, kecuali bantuan dari sana-sini, termasuk dari pemda.
Kelemahan, sekaligus kekuatan IDB, RAF tidak "menjual" IDB kepada sponsor. Tidak memiliki tenaga marketing yang bekerja mencari sponsor. RAF dan kawan-kawan tidak mau IDB menjadi poster atau spanduk perusahaan. Ada semacam pantangan, orang IDB dalam frame atau adegan menyebut nama produk. IDB pernah mendapat sponsor dari sebuah perusahaan pasta gigi melalui para dokter gigi. Mereka meminta pasta gigi itu muncul dalam cerita. Semua berkeberatan.
RAF hanya memasukkan pentingnya kebersihan gigi. Itu pun dalam kalimat pendek, "Kangjeng Nabi Muhammad teu kinten titénna kana waos. Méh tara lésot tina siwak (ranting pembersih gigi). Mantenna kantos sasauran, mun teu matak ngahésékeun mah, kami nitah sakumna umat kami, ngosok huntu saban wudu. Malah basa lesna pisan pupus, pananganana ngulapés, pluk baé siwak murag."
Kalimat itu diucapkan Iroh, janda yang menjadi mubaligoh, dalam tausiahnya di hadapan warga Bojongrangkong. Kesempatan menarik sponsor sebanyak-banyaknya terbuka bagi IDB tetapi orang IDB tampaknya tidak memiliki keahlian memasarkan produknya. Bagi para pelaku yang idealis, keadaan seperti itu amat melegakan. Mereka senang karena tidak terjebak menjadi papan reklame.
Kebebasan improvisasi
Dalam penggarapannya, IDB sama benar dengan proses penggarapan pergelaran teater. Semua pemeran harus berlatih cukup lama. Dimulai dengan pembacaan naskah (dalam teater disebut reading) dan pendalaman peran. Secara bersamaan juga dilakukan diskusi tentang plot, pengadegan, tata cahaya, busana, properti, dan hal lain meskipun dalam format kecil. Biasanya reading dilakukan di kelas SD. Sedangkan pendalaman peran dilakukan secara berkelompok sesuai dengan scene. Semua pemeran harus hafal naskah. Memang semua pelaku diberi kebebasan melakukan improvisasi namun tidak boleh mengabaikan kata kunci, di samping itu, karakter peran merupakan pegangan utama.
RAF adalah seorang pencipta lagu. Ia punya kepandaian yang cukup dalam seni musik. Begitu pula anak-anaknya yang merupakan seniman musik yang mampu membuat aransemen musik dengan tingkat kesukaran sangat tinggi. Namun, dalam menggarap musik IDB, RAF tidak mau bekerja sendiri, ia mengajak Nano S., Tatang Benyamin, Ida Rosida, dan sebagainya. Mungkin karena RAF berangkat dari lingkungan Tembang Sunda (pendiri Lingga Binangkit), tampaknya gending dan lagu merupakan pewarna IDB. Setiap episode selalu ada adegan dengan ilustrasi lagu Sunda, baik tembang maupun kawih. Wajar bila para pemain IDB kebanyakan dari lingkungan tembang dan kawih.
Seperti pada buku Dongéng énténg ti Pasantrén, banyak adegan dalam IDB yang menggelitik. Meskipun tidak 100%, IDB cenderung komedi. Baik pengadegan maupun dialog, kebanyakan karikatural bahkan satire, termasuk sebagian besar tokoh ceritanya. Sejak awal RAF berniat ngajak nyeungseurikeun diri.***
* US Tiarsa R., Salah seorang pemeran dalam IDB.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 15 Maret 2008
No comments:
Post a Comment