Sunday, May 11, 2008

Wacana: Pantun dan Pencerahan Budaya Melayu

-- Leon Agusta*

INILAH kami. Kami ada dan mengada di Negeri Pantun, Kota Gurindam. Di negeri kami telah lahir Raja Ali Haji, pendekar gurindam yang melegenda. Juga, Raja Mantara, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri. Suaranya serak nyaring menggelegar di panggung-panggung para penyair dunia dan nusantara.

Kami juga punya Raja Pantun, Tengku Nasyaruddin S Effendy, terkenal sebagai Tenas Effendy, yang telah menulis sekitar 65 buku tentang bahasa, seni dan budaya serta sejarah Melayu, 45 naskah ceramah dan diskusi. Ia Doktor Honorus Causa Universitas Kebangsaan Malaysia.

Kami juga punya Ratu Pantun, Hj Suryatati A Manan, walikota Tanjungpinang. Pemimpin yang menaburkan cinta terhadap pantun, pusat pesona dan semangat hidupnya. Anak-anak muda berada dalam rangkum pelukannya penuh kebanggaan.

Kami masih punya banyak nama, para pakar dan pencipta pantun. Karya mereka adalah buah dari pohon budaya kami yang bernama Bahasa Melayu -- bahasa yang kini menjadi karunia peradaban bangsa Indonesia.

Begitulah, kurang lebih, yang tertangkap dari Festival Pantun Serumpun, 25-29 April 2008, di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yang diselenggarakan oleh Yayasan Panggung Melayu (YPM) atas dukungan pemerintah Kota Tanjungpinang. Oleh sang walikota, Tanjungpinang pun dideklarasikan sebagai Negeri Pantun.

Tak kurang dari peserta Malaysia dan Brunei Darussalam pun ikut berpartisipasi. Ada pula opera pantun yang disutradarai Asrizal Nur, dan pantun majelis yang menampilkan Deputi I Menpora Sahyan Asmara, beberapa walikota serta Dubes Malaysia. Ini merupakan festival pantun pertama dengan partisipasi yang sedemikian luas.

Bicara tentang budaya Melayu akan selalu disusul dengan kata serumpun: Melayu Serumpun. Ini menunjukkan kawasan budaya Melayu begitu luas. Bukan sebatas kepulauan Riau. Tetapi, juga warga Minangkabau, Jambi, Palembang, Lampung, Deli Serdang, Malaysia, Brunei Darussalam, Kalimantan dan bagian selatan Thailand.

Bahkan, lebih luas lagi sampai beberapa kawasan Asia Tenggara seperti Kamboja dan Vietnam. Untuk mencakup semua maka disebut Serumpun Melayu. Dalam peta politik pemerintahan masa kini simpul-simpull keserumpunan itu sama sekali tidak terlihat. Diabaikan.

Budaya Melayu memperlihatkan keragaman sekaligus kekhasannya masing-masing. Ada masyarakat matrilineal Minangkabau, yang tradisi pantunnya juga kuat, dan punya tari serampang dua belas Melayu Deli, dan zapin. Ada juga Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang sangat dibanggakan.

Ketika kita hendak mencari sebuah ikon yang dapat dianggap merepresentasikan ruh kebudayaan Melayu, boleh jadi kita akan sampai kepada pantun (Maman S Mahayana, 2008). Suatu hal yang cukup terpercaya, mengingat kenyataan pantun tersebar di seluruh kawasan negeri Melayu Serantau.

Masyarakat Melayu zaman dulu tidak meninggalkan jejak sejarah yang memadai untuk dijadikan rujukan. Bila ada yang bertanya sejak kapan budaya pantun lahir dan tumbuh dalam budaya Melayu, pasti tidak ditemukan jawaban. Kecuali jawaban: pantun sudah ada sejak nenek moyang kita.

Menurut Hoesein Djajadiningrat, pantun sudah menarik perhatian para peneliti Barat sejak tahun 1688 (Poejangga Baroe, No 6, Th 1, November 1933). Artinya, pantun sudah terkenal sejak sebelum itu. Setidaknya ada 20 tulisan yang dibahasnya dan dia berhasil menunjukkan adanya kecenderungan yang keliru dalam pemahaman pantun karena ukuran yang dipakai tidak lain dari persajakan Barat.

Beberapa penulis lain juga menunjukkan pandangan yang kurang lebih sama. Mereka menolak anggapan Barat bahwa pantun tidak lebih dari hasil improvisasi (karangan dadakan) dan isinya amoreus (berhubungan dengan percintaan).

Ahli sastra (pantun), Hasan Junus, makin menekankan bahwa usaha untuk memahami pantun mestinya berdasarkan pemikiran, ukuran dan sudut pandang pantun itu sendiri, tidak terlepas dari lingkungan sosial budaya yang melahirkannya.

Sejak 1688, saat buku Studies on Malay Pantun karya Francois-Rene Daillie hingga saat ini sudah lahir satu deretan panjang buku yang merupakan hasil studi para peneliti asing dan dari kawasan Melayu tentang pantun. Ini menunjukkan, bahwa pesona pantun kian meluas, khususnya di kalangan peneliti bukan Melayu.

Pantun menjadi ikon, menurut Maman S Mahayana, karena pantun tidak terikat oleh batasan tempat, usia, jenis kelamin, stratifikasi sosial, dan hubungan darah. Pantun juga dapat digunakan di sembarang tempat, waktu dan suasana. Seorang pejabat negara dalam pidato resminya atau seorang khatib selagi berkhotbah elok saja menyelipkan pantun di dalamnya.

Dalam pengertian umum pantun merupakan salah satu bentuk sastra rakyat yang menyuarakan nilai-nilai dan kritik budaya masyarakat. Biasa digunakan dalam fokslore yang bersifat lisan sebagaimana terlihat dalam dendang yang diiringi berbagai alat musik seperti salung dan rebab di Minanghkabau atau gendang dan kecapi serta berbagai alat musik tradisional Melayu lainnya.

Pantun juga digunakan dalam upacara adat atau dalam berbagai dialog dengan ciri masing-masing, seperti pantun percintaan, pantun nasehat, pantun bercanda tau pantun jenaka (lelucon), dan pantun teka-teki.

Pantun juga digunakan untuk menyampikan pesan-pesan sosial secara sederhna seperti Keluarga Berencana, modernisasasi secara sekilas. Tidak mendalam. Terakhir sekali, pantun bahkan juga dimamfaatkan untuk kampanye pemilihan kepala daerah.

Hal itu menunjukkan bahwa pantun memang merupakan satu bentuk seni sastra rakyat yang bukan saja tekstual tetapi juga kontekstual, dan fleksibel, hingga selalu mampu mengikuti perkembangan zaman dan menghibur:

Pengamat Barat cenderung mengatakan dua baris awal dari pantun (sampiran) sebagai nonsens semata. Sementara dalam budaya Melayu sampiran itu menyimpan kekuatan estetik bahkan juga kerifan dan keterampilan dalam berbahasa dan berkomunikasi.

Para petinggi adat di Minangkabau, misalnya, beranggapan bahwa sampiran merupakan bahasa cerdik pandai atau cendekiawan, sementar isi adalah bahasa untuk orang kebanyakan. Penciptaan yang sesungguhnya berlangsung waktu sampiran dibuat. Sementara isi hanya mengikuti pola sampiran dengan muatan yang disesuaikan. Kata-kata pada sampiran sangat kaya dengan tanda-tanda budaya, flora dan fauna yang merupakan bagian kehidupan masyarakat.

Dalam artikel Revitalisasi Tradisi Perpantun (Negeri Pantun, 2008), Ahmadun Yosi Herfanda melihat kuatnya semangat kebangkitan budaya Melayu saat ini karena masyarakat Melayu memiliki daya resistensi yang cukup tinggi terhadap ancaman budaya global. Kesadaranan ini pulalah yang menghidupkan proses revitalisasi tradisi dimaksud.

Spirit kultural masyarakat Melayu tampaknya sedang mengalami pencerahan dan dengan lantang menyatakan jati dirinya di hadapan sejarah zaman ini.

* Leon Agusta, Penyair dan pengamat sastra

Sumber: Republika, Minggu, 11 Mei 2008

No comments: