-- Tjahjono Widarmanto*
SEJARAH mencatat, setiap kebangkitan bangsa di manapun selalu berawal dari gerakan intelektualitas. Itu berarti kebangkitan suatu bangsa selalu bermula dari kebudayaan. Dan setiap kebangkitan intelektualitas selalu dimulai dari sebuah keterpesonaan kepada "tanda". Tanda inilah yang berwujud bahasa yang menjadi pemantik bagi kegandrungan pada harapan masa depan.
Tanda baru berupa bahasa ini disabdakan oleh Martin Heidegger sebagai "Language is the house of being". Bahasa sebagai sebuah 'rumah tanda' -house of being- tentu saja tak hanya sekedar dimaknai sebagai alat verbal komunikasi baik lisan maupun tulis, melainkan harus dimaknai sebuah wacana keberaksaraan yang diperdebatkan dalam opini publik.
Melalui bahasalah, melalui sebuah wacana diekspresikan, diperdebatkan dan diusung dalam ruang publik kegiatan intelektualitas. Sehingga benar kata Yudhi Latif (2008) bahwa upaya perjuangan dan kebangkitan harus bermula dari bebenah kata, melalui lorong bahasa dan susastra; dengan jalan merebut dan menghidupkan kembali darah kata. Dengan kata lain, melalui keberaksaraanlah perjuangan dan kebangkitan dirumuskan.
Berkait dengan itu Partha Chatterjee seorang pemikir nasionalis India dan Reynaldo Ileto dari Filipina menegaskan bahwa kebangkitan sebuah nasionalisme tidak (hanya) bergantung pada mesiu, diplomasi, dan gerakan revolusi, namun juga pada emosi dan keterpikatan pada pancaran puisi dan daya kata. Sejarah kebangkitan kebangsaan merupakan sebuah gelombang sejarah yang melalui fase permulaan (persiapan), fase pembentukan, dan fase pematangan. Di sepanjang fase itu bahasalah yang menjadi panglimanya.
Jurgen Harbemas menegaskan bahwa pembentukan tradisi intelektulitas modern di Eropa Barat merupakan penanda dari kemunculan ruang public yang berawal berpusar di sekitar wacana kritis mengenai karya sastra yang berorientasi pada penikmatnya yang berlangsung di lembaga sosial yang baru bermunculan seperti jurnal, kedai kopi, majalah, dan komunitas tertentu. Ruang public ini merupakan wahana bagi komunitas para kaum intelektual.
Dalam ruang public itulah individu-individu berdebat dan menimbang bahkan mempertentangkan secara bebas berbagai wacana yang rasional. Dari perjumpaan dan perdebatan kritis itu mereka menjadi sebuah kelompok yang memiliki kekuatan kohesif yang kelak melahirkan pemikiran dan kekuatan politik tangguh. Ternyata hal yang sama terjadi juga di belahan dunia manapun termasuk Indonesia dengan kelahiran Budi Utomo, Indische Party, Sarikat Islam, dan sebagainya.
Di Indonesia kebangkitan kebangsaan tidak bisa dilepaskan dari kelompok intelektual (dalam hal ini di saat itu peran profesi guru sangat menonjol karena dalam profesi inilah bibit-bibit intelegensia bermunculan) yang mempromosikan wacana kebangsaan dan kemajuan. Kelompok inteletual ini memperdebatkan pandangan dan pemikiran mereka pada majalah-majalah seperti Soeloeh Pengadjar (terbit 1887), Taman Pengadjar (1899-1914), Bintang Hindia (1902), Sinar Djawa (1914), sampai pada kemunculan Balai Pustaka.
Kemunculan Balai Pustaka (1920-an) pada awalnya bersifat apolitis untuk meredam bahan bacaan yang bersifat menentang kolonialisme, justru memunculkan perlawanan dan tandingan dengan bermunculan genre kesusastraan politik yang menemukan medium ekspresinya dalam koran-koran atau majalah-majalah nonpemerintah.
Contoh yang jelas genre kesusastraan politik yang lahir dari arus bawah ini adalah kemunculan novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo dan Hikajat Kadiroen karya Semaun, yang diterbitkan Koran Sinar Hindia Semarang tahun 1918 dan 1920. Hal itu menunjukkan peran kesusastraan dan media dalam menssosialisasikan nasionalisme dan kebangsaan. Itu juga menunjukkan bahwa imajinasi kesusastraan tentang kemerdekaan justru mendahului gerakan perjuangan kemerdekaan.
Tampaklah, bahwa melalui kerja bahasalah perjuangan kebangsaan selalu bermula. Bahasa berperan dalam mengarahkan perjuangan. Sejarah juga mencatat, melalui kerja jurnalistik, kelompok, dan kesusastraan pilar kebangsaan dibangun. Mohamad Hatta sejak 1924 membuat jurnal Indonesia Merdeka sambil menulis puisi-puisi patriotik, di antaranya berjudul Beranta Indera dan Hindiana.
Di tahun 1926, Soekarno membuat jurnal perjuangan Indonesia Moeda dan bersama kawan seperjuangan Sarekat Islam, juga menerbitkan Majalah Bendera Islam, dan menulis beberapa naskah drama kebangsaan. Syahrir menerbitkan Daulat Rakyat dan menjadi pemain drama yang baik dan minatnya terhadap sastra sangat tinggi.
Menulis merupakan kerja mencipta dan mencipta mensyaratkan keberaksaraan. Menulis adalah mata rantai pertama dalam keberaksaraan yang terangkai dengan mata rantai lain yaitu membaca. Semakin banyak menulis semakin banyak yang dibaca, semakin kaya cakrawalanya. Dalam konteks kebangsaan, keberaksaraan merupakan pembangun kesadaran eksistensial. Melalui keberaksaraanlah identitas kebangsaan diimajikan.
Karena itu, tak mungkin sebuah bangsa dapat eksis tanpa memuliakan keberaksaraan dan kesusastraan. Tradisi keberaksaraan merupakan instrumen ketepatan dan kekuatan. Keberaksaraan merupakan ukuran keberadaban dan puncak pencapaian tertinggi daslam evolusi budaya.
Sekaligus, keberaksaraan merupakan instrumen dan organ kemajuan sosial. Pada posisi inilah keberaksaraan berfungsi sebagai instrumen budaya dan sarana perkembangan saintifik. Melalui keberaksaraan titik sentral perubahan dalam masyarakat dimulai.
Untuk menjadi bangsa yang mampu berkompetitif dan eksis dalam pertarungan global saat ini, mau tidak mau harus dibangun masyarakat keberaksaraan. Namun, itu bukan persoalan mudah karena keberaksaraan saat ini mendapat ancaman dari berbagai penjuru, antara lain berupa terpaan multimedia khususnya televisi. Televisi merupakan bentuk kelisanan dengan wajah baru yang menenggelamkan literasi.
Yang tak kalah hebat, ancaman vokasionalisme baru yaitu konsep dari lembaga pendidikan yang menekankan keterampilan teknis. Frank Fueredi menyebutkan ancaman ini sebagai the cult of philistinism pemujaan terhadap budaya kedangkalan yang berlebihan terhadap interes material praktis.
Kalau mengaca sejarah, bisa diketahui pada masa lalu kebangkitan kebangsaan dicanangkan melalui tanda keberaksaraan, dan itu merupakan gerakan kebudayaan. Saat ini diperlukan lagi gerakan kebudayaan karena dalam kenyataannya reformasi sosial tak akan muncul hanya mengandalkan reformasi politik dan ekonomi. Dengan kata lain reformasi harus berjejak pada reformasi budaya. Gerakan kebudayaan dengan lokomotif keberaksaraan menjadi salah satu alternatif menjaga kewarasan publik.
Melalui keberaksaraan dan kesastraan cita-cita kebangsaan dan cita-cita reformasi bisa bertahan dalam memori kolektif. Gerakan kebudayaan harus secara konstan dikembangkan sebagai sesuatu meminjam istilah Edward Saidworldliness yaitu keterlibatan konstan para intelektual-sastrawan dalam mengaitkan tekstualitas dengan dunia sebagai perwujudan moral kesusastraan di tengah gebalau krisis jatidiri kebangsaan bahkan kemanusiaan. ***
* Tjahjono Widarmanto, Penulis adalah Pembantu Ketua III STKIP PGRI Ngawi, Jatim
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 5 Desember 2009
No comments:
Post a Comment