-- Abdul Kholiq
data buku
• Judul buku: Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan (Menuju Demokrasi dan Kesadaran Bernegara)
• Penulis: Moeslim Abdurrahman
• Penerbit: Impulse dan Kanisius
• Cetakan: I, 2009
• Tebal: 296 halaman
• ISBN: 978-979-21-2243-5
KUALITAS keimanan atau tingkat kesalehan spiritual seseorang sering kali dilihat dari sisi ibadah formal yang menjadi indikator kesadaran seseorang dalam beragama. Namun, sejauh ini kenyataan tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan.
Adalah fakta, jumlah jemaah haji dari tahun ke tahun meningkat dan masjid makin disesaki oleh jemaah shalat. Namun, di sisi lain, jumlah penduduk miskin tidak berkurang. Pekerja yang di-PHK makin banyak. Para pedagang kaki lima semakin tipis rezekinya ketika harus tergusur. Eksploitasi alam secara tak terkendali membuat rakyat miskin makin terpinggirkan.
Krisis ekonomi dan keterbatasan akses politik, sosial, dan ekonomi menambah kesulitan orang miskin untuk memperbaiki kehidupannya. Lantas, di manakah peran agama?
Meskipun belum sampai pada kesempurnaan, kegelisahan keagamaan tersebut kiranya terjawab dalam buku Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan karya Moeslim Abdurrahman. Bagi sosiolog yang hidupnya bergelut dalam dunia pemberdayaan, lembaga swadaya masyarakat, dan ormas ini, makna Islam yang paling murni bukanlah terletak pada rumusan teologisnya, tetapi muncul dari pergulatan hidup sehari-hari umatnya untuk menegakkan keadilan, keadaban (amar ma’ruf) dan menghidupkan cita-cita kemanusiaan yang merdeka, bebas, dan terhormat (nahi ’annil munkar).
Suara transformatif
Buku ini sangat menggelitik determinasi paham keagamaan kita selama ini. Manifestasi perilaku keagamaan yang selama ini kita anggap benar, seperti memperkaya ritual keagamaan, menemukan titik kering fungsi keagamaan kita ketika membaca buku ini.
Kesalehan ritualistik sekarang ini lebih banyak dipertontonkan dengan ungkapan yang mahal dan bergengsi—seolah-olah menjadi gaya hidup—daripada sebagai kekuatan yang asketik tentang pentingnya menegakkan nilai-nilai kesetaraan yang lebih manusiawi. Lebih lanjut, bagaimanapun khusyuknya ibadah kita, sebuah kesalehan tak akan memberikan makna yang sejati jika kesalehan itu tidak mengalirkan makna perubahan. Menurut doktor lulusan University of lllinois Urbana Champaign Amerika Serikat ini, mengamalkan Islam dan mengamalkan kesalehan sama halnya melakukan kritik sosial dalam rangka menghidupkan terus-menerus cita-cita keadilan dan kesetaraan manusia itu sendiri.
Hal menarik lainnya adalah argumentasi sosial transformatif yang didasarkan pada rasional-obyektif, kenyataan sosial, pengalaman hidup orang lain maupun penulisnya sendiri ketika bersinggungan dengan kemungkaran sosial yang dihadapinya. Bukan pada refleksi teologis yang fiktif, ahistoris, dan utopis, tetapi dialektika teks-teks suci dengan kenyataan riil kaum pinggiran, kaum mustadh’afin. Tidak berlebihan kiranya jika buku ini menemukan relavansinya dalam memberikan kontribusi penyelesaian kehidupan sosial kita.
Moeslim menawarkan Islam bersuara transformatif. Islam lahir sebagai kritik sosial terhadap hegemonitas struktur sosial yang tidak adil yang membuat marjinalisasi kaum pinggiran. Struktur yang tidak adil juga membatasi akses perubahan bagi kaum marjinal. Pendiri Lembaga Kebajikan Umat ini selalu mengategorikan tiga tingkat kemiskinan, yaitu kemiskinan institusi politik, kemiskinan institusi ekonomi, dan kemiskinan institusi keagamaan.
Karakter normatif Islam pada dasarnya bersifat populis dan egaliter, yaitu bahwa setiap manusia dilahirkan mempunyai peluang yang terus-menerus untuk mendapatkan tingkat ketakwaan yang sama di hadapan Tuhan-nya. Apa pun hambatan struktur sosial yang mengitari seseorang, jika diberikan peluang mengubah nasibnya, ia akan muncul sebagai human agency yang dapat mengubah hambatan struktur tersebut.
Dalam mewujudkan perubahan transformatif, tidak ada manusia yang serta-merta mati dalam strukturnya. Sebab, kehidupan merupakan proses sejarah yang terus-menerus bergerak. Pergerakan sejarah sesungguhnya merupakan pergulatan antara ”kesadaran” yang terus-menerus melakukan negosiasi dan kemapanan struktur sosial, ekonomi, dan politik.
Spirit pemerdekaan
Bagaimanapun tetap relevan kalau kita konsisten bahwa agama merupakan kehendak Tuhan yang meneguhkan cita-cita emansipasi sebagai tujuan ketakwaan yang paling tinggi. Dengan demikian, teologi merupakan bentuk kesadaran manusia yang paling tinggi. Suara keimanan dan keyakinan seseorang menjadi spirit pemerdekaan dari setiap struktur yang menindas, apa pun bentuknya.
Mereka yang percaya bahwa struktur merupakan kekuatan deterministik beranggapan bahwa kultur selalu tidak otonom dari struktur. Moda interpretasi dari kultur sangat dipengaruhi oleh moda produksi sehingga orang-orang kaya memproduksi makna-makna kesalehan dan ekspresinya berbeda dengan yang ekonominya lemah.
Namun, jika teologi yang berwatak pemerdekaan mampu memberikan suara perlawanan simbolik dengan mengartikulasikan kesadaran-kesadaran penindasan yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, agama akan muncul sebagai kekuatan profetik.
Jika dibawa ke dalam konteks praksis di Indonesia, sepakat atau tidak, sekarang ini bentuk nasionalisme kita yang masih terawat dengan baik tinggal bentuk artefaknya saja. Bendera masih merah-putih, orang-orang masih membutuhkan kartu tanda penduduk (KTP) dan paspor sebagai identitas kewarganegaraan. Nama, pahlawan tetap terpampang di jalan-jalan protokol. Akan tetapi, nasionalisme sebagai kesadaran, sebagai solidaritas kebangsaan, dan sebagai kebanggaan terhadap bangsa rasanya semakin tidak jelas.
Benar bahwa kita mempunyai KTP, mempunyai nomor wajib pajak, mempunyai negara, juga mempunyai kelembagaan formal politik yang disebut partai politik. Namun, semua perangkat politik yang kita miliki itu ternyata tidak mampu menyentuh masalah sosial. Realitas seperti busung lapar dan meninggalnya anak-anak yang diimunisasi polio itu seharusnya menjadi panggilan suci politik kita untuk mengatasinya.
Ironis memang. Tatkala perjalanan bangsa ini terpuruk seperti sekarang ini, kita kehilangan patriotisme dengan makna baru. Kita juga kehilangan makna demokrasi sosial yang baru. Bahkan, keimanan kita juga telah redup dalam birokrasi agama masing-masing. Kita lupa akan adanya teologi sosial yang baru yang bisa menggugah solidaritas.
Kehadiran teologi baru menjadi tumpuan dan harapan untuk mengatasi kemelut sosial dan kemanusiaan. Sebuah rumusan syariah yang prokemanusiaan yang mungkin bisa membangkitkan kembali kesadaran bahwa kesengsaraan bukanlah merupakan gejala ekonomi dan politik. Kesadaran bahwa kesengsaraan merupakan tantangan kemanusiaan yang harus dijawab dengan tanggung jawab bersama-sama.
Dengan kerja teologis, setiap agama akan mampu mengeluarkan cita-cita sosialnya tanpa harus menghilangkan praktik ritual dan penghayatan spiritualnya. Mudah-mudahan agama-agama mampu melakukan kerja sama membangun teologi sosial yang baru. Suatu teologi yang bisa menyuarakan secara politik bahwa ”suara Tuhan adalah suara orang miskin” atau ”tangisnya orang lapar adalah tangis Tuhan” sehingga sejarah kesengsaraan manusia bisa berubah.
* Abdul Kholiq, Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang
Sumber: Kompas, Senin, 7 Desember 2009
No comments:
Post a Comment