-- A Handoko
ENUNG (50) masih terus mengaduk-aduk beras ketan yang disangrainya ketika bau sangit mulai tercium. Beras ketan yang semula berwarna putih itu mulai menghitam. Tak lama kemudian, beras ketan yang sudah hitam pekat itu dimasukkan ke sebuah ember yang berisi air.
Perajin membuat lentera gentur di Kampung Gentur, Desa Jambudipa, Kecamatan Warungko ndang, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (18/11). Lentera gentur digunakan sejak tahun 1918 oleh para santri yang hendak mengaji di masjid atau belajar di pondok pesantren. (KOMPAS/A HANDOKO)
Terakhir, Enung menambahkan jelaga ke dalam ember itu. ”Jelaga ini saya dapat setelah sehari semalam,” katanya. Jelaga itu sengaja dibuat oleh Enung. Caranya dengan menaruh kompor kecil di dalam kotak seng bekas tempat biskuit. Setelah sehari semalam, jelaga mengerak di dinding kotak seng.
Itulah sepenggal aktivitas Enung ketika memproduksi tinta gentur saat ditemui pada Rabu (18/11). Tinta gentur adalah tinta yang digunakan oleh santri untuk menulis ayat-ayat Al Quran.
Gentur adalah sebuah kampung yang dulu masuk wilayah Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Ketika terjadi pemekaran Kecamatan Warungkondang, Gentur terbagi menjadi dua wilayah, satu di Jambudipa dengan nama tetap Gentur, satu lagi masuk ke Desa Songgom, Kecamatan Gekbrong, dengan nama Kampung Peteuy Condong Gentur.
Enung adalah generasi keempat pembuat tinta gentur. Tinta gentur awalnya dibuat oleh dua kiai di Jambudipa, yakni Mama Kaler dan Mama Kidul, pada tahun 1800-an. Mereka sering dipanggil Mama Gentur.
Tinta gentur memiliki keunikan dibandingkan dengan tinta lain produksi zaman sekarang. Tulisan menggunakan tinta gentur tidak berubah warna hingga lebih dari 90 tahun walaupun kertas sudah berubah warna menjadi kuning atau dimakan rayap.
Warna tulisan tetap hitam pekat dan tidak meresap ke dalam serat kertas seperti tinta jenis lain. Biasanya, tinta gentur digunakan dengan alas tulis dari qalam, sejenis tanaman hutan yang berlubang di bagian tengah.
Tinta gentur buatan Enung dipakai oleh santri yang belajar di sejumlah pondok pesantren di Cianjur. Namun, sejumlah pondok pesantren lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga pernah menggunakan tinta gentur buatan Enung. Harga tinta gentur kemasan 200 mililiter Rp 5.000.
Selain tinta, Gentur juga memiliki peninggalan budaya dari nenek moyang yang hingga kini masih tetap lestari, yakni lentera gentur. Lentera gentur adalah lentera yang terbuat dari kuningan dan kaca.
Lentera gentur digunakan sejak tahun 1918 sebagai alat penerangan oleh para santri yang hendak mengaji di masjid atau belajar ke pondok pesantren. Tradisi penggunaan lentera gentur itu masih tetap fungsional sampai kemudian masuk instalasi listrik ke pesantren-pesantren di Cianjur.
Pada perkembangannya, lentera gentur mengalami modifikasi sehingga bisa digunakan untuk tempat lampu listrik. Jalaludin (24), pembuat lentera gentur, mengatakan, harga lentera gentur bervariasi, Rp 90.000-Rp 1,5 juta per buah, bergantung pada model dan besarnya. Di Gentur setidaknya ada 50 perajin lentera gentur.
”Sekarang permintaan yang paling banyak berasal dari Bali. Umumnya, penampung di Bali minta dibuatkan lentera gentur dengan model klasik,” kata Jalaludin. Selain dipasarkan di Bali, lentera gentur juga dipasarkan di Jambudipa, terutama saat haul Mama Gentur.
Beras pandanwangi
Tak hanya mewariskan tinta gentur dan lentera gentur, nenek moyang warga Jambudipa juga mewariskan varietas padi pandanwangi dan ayam pelung.
Padi varietas pandanwangi amat terkenal karena aromanya yang wangi dan rasanya yang pulen. Di pasar swalayan, harga beras pandanwangi bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram.
Padi pandanwangi pada awalnya memang ditanam di lahan sawah Jambudipa, lalu di beberapa desa lain di Warungkondang. Namun, rasanya berubah ketika benih pandanwangi ditanam di luar Warungkondang.
Setelah diteliti, ternyata kandungan unsur hara, cuaca, dan air di Warungkondang berbeda dengan tempat lain. Kondisi itulah yang membuat rasa dan aroma pandanwangi tetap khas. Belakangan, kondisi tanah yang disebut rezina, seperti yang ada di Warungkondang, diketahui hanya ada dua di dunia, yakni di Warungkondang dan negara Siberia.
Ayam pelung yang terkenal dengan suaranya yang khas juga berasal dari Warungkondang. Pada tahun 1850, ayam jenis ini ditemukan oleh Mama Haji Zarkasih di Desa Bunikasih, Warungkondang. Selain berkembang di Bunikasih, ayam pelung juga dikembangkan oleh santri-santri dari Jambudipa yang waktu itu belajar mengaji di Bunikasih, desa yang bersebelahan dengan Jambudipa.
Wakil Ketua Himpunan Peternak dan Penggemar Ayam Pelung Indonesia Jawa Barat Memed Tohir mengatakan, harga ayam pelung yang menjuarai kontes bisa lebih dari Rp 30 juta. ”Ayam pelung yang belum kontes saja, kalau secara fisik bagus dan memiliki potensi suara, harganya bisa sampai Rp 1,5 juta pada umur enam bulan,” kata Memed.
Ketua Paguyuban Pasundan Cabang Cianjur Abah Ruskawan mengatakan, sudah saatnya Jambudipa dijadikan desa wisata jika melihat potensi budaya yang amat banyak itu. ”Dengan menjadikannya desa wisata, Jambudipa akan menjadi oase bagi Cianjur yang pernah terkenal karena budayanya. Selama ini, potensi budaya itu memberikan kontribusi ekonomi yang amat besar kepada masyarakat sehingga jangan sampai luntur atau bahkan hilang,” kata Abah Ruskawan.
Camat Warungkondang Handri Prasetyadhi mengatakan, usulan menjadikan Jambudipa sebagai desa wisata dengan empat ikon budaya itu memang tepat. Dalam jangka pendek, Handri mengaku akan melakukan upaya untuk mematenkan potensi budaya yang ada di Jambudipa agar tidak diklaim oleh daerah lain.
Sumber: Kompas, Jumat, 4 Desember 2009
No comments:
Post a Comment