Friday, December 04, 2009

[Pustakaloka] Perempuan Tionghoa Indonesia Pascakolonial

-- Tonny Dian Effendi

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

• Judul Buku: Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa: Sebuah Kajian Pascakolonial
• Penulis: Lim Sing Meij
• Tebal: xvii + 212 halaman
• Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
• Cetakan: I, Juli 2009
• ISBN: 978-979-461-727-4


PENDIDIKAN menjadi ruang sosial baru bagi perempuan Tionghoa pascapenjajahan Belanda, tempat mereka melakukan transformasi identitas di tengah ketidakadilan jender, isu etnisitas, kelas, agama, dan kolonialisasi pengetahuan.

Penelitian tentang perempuan Tionghoa di Indonesia biasanya mengambil background setting pada masa Orde Baru dan pada peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Alasannya adalah pada masa Orde Baru pemerintah yang cenderung represif terhadap etnis Tionghoa tentu saja akan berdampak pada kehidupan sosial perempuan Tionghoa. Sedangkan peristiwa Mei 1998 merupakan sebuah klimaks simbol dampak posisi dan stereotip etnis Tionghoa yang sengaja dibangun oleh pemerintah Orde Baru yang berdampak pada kebencian dan sasaran atas permasalahan sosial ekonomi dan perbedaan yang ditimbulkannya dengan saudara lain yang disebut pribumi. Hubungan peristiwa Mei 1998 dan perempuan Tionghoa adalah pada dampak kekerasan yang dialami oleh perempuan Tionghoa pada peristiwa memilukan ini.

Munculnya tulisan Lim Sing Meij yang mengulas tentang ruang sosial baru perempuan Tionghoa dengan menggunakan analisis Teori Feminisme Pascakolonial merupakan sebuah angin segar baru terhadap kajian Tionghoa di Indonesia. Buku ini memuat sebuah pesan yang sangat penting tentang perkembangan perempuan Tionghoa Indonesia, yaitu pesan optimisme. Secara garis besar, pesan ini disampaikan pada hasil penelitian Lim Sing Meij, yaitu kebangkitan perempuan Tionghoa Indonesia melalui jalur pendidikan untuk melawan beberapa kondisi sosial politik yang tidak menguntungkan dengan melakukan transformasi identitas.

Mengapa kajian ini begitu penting? Buku ini menceritakan perkembangan perempuan Tionghoa Indonesia hingga mencapai titik perubahan dan mampu melepaskan diri dari dua kekangan sekaligus. Pertama adalah kekangan yang berkaitan dengan isu jender, yaitu ketidakadilan jender. Kedua adalah kekangan yang berkaitan dengan isu etnisitas, kelas, agama, dan kolonialisasi pengetahuan. Setidaknya itulah yang disampaikan oleh Teori Feminisme Pascakolonial yang diusung oleh Mohanty sebagai landasan teori dalam penelitian ini.

Kajian ini menghasilkan sebuah fenomena yang menarik dan dapat dikatakan inspiratif. Melalui jalur pendidikan, perempuan Tionghoa Indonesia berusaha melepaskan diri dari persoalan yang berkaitan dengan jender, etnisitas, agama, dan kolonialisme pengetahuan. Pada masa Orde Baru, perempuan Tionghoa berada pada satu situasi yang disebut dengan double colonialization, yaitu kolonialisasi oleh negara dan budaya. Diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah Orba terhadap etnis Tionghoa dalam beberapa bidang juga berdampak pada perempuan Tionghoa. Struktur budaya Konfusius yang patriarkis dan hierarkis juga turut andil dalam ketidakadilan yang diterima oleh perempuan Tionghoa. Jalur pendidikan dilihat sebagai jalan keluar atas permasalahan ini karena dalam jenjang pendidikan perempuan Tionghoa menemukan ruang sosial baru yang memberikan kesempatan untuk melakukan transformasi identitas.

Sebagai hasil dari sebuah penelitian, buku ini sangat menarik untuk dibaca karena pengetahuan yang ada di dalamnya disajikan dalam bahasa yang lugas, jelas, dan dalam format yang easy reading. Penulis seperti menulis novel yang mengisahkan perempuan Tionghoa yang menjadi responden penelitian untuk mendukung argumentasi yang dibangunnya. Lim mengungkapkan studi kasus tentang enam perempuan profesional yang berprofesi sebagai akuntan, wartawan, notaris, dokter gigi, dan pekerja kemanusiaan. Kisah-kisah yang disampaikan banyak memberikan suatu pengetahuan baru bahwa ternyata perlu hati-hati dalam memahami identitas seorang perempuan Tionghoa. Identitas satu sama lain dapat berbeda karena dipengaruhi oleh perbedaan generasi, agama, jender, budaya (dialek atau cara hidup), pendidikan, pandangan politik, dan pengalamannya dengan peradaban global.

Sebuah perlawanan

Perubahan identitas adalah sebuah perlawanan! Itulah mungkin satu hal lagi yang ingin disampaikan penulis kepada pembacanya. Pengetahuan yang didapatkan oleh perempuan Tionghoa, yang kemudian berujung pada pemahaman dan keinginan untuk melepaskan diri terhadap label identitas yang dibentuk dari luar ini, didapatkan ketika mereka memasuki jenjang pendidikan tinggi. Dari beberapa wawancara ditemukan dua fenomena menarik. Pertama, untuk mencapai jenjang perguruan tinggi, beberapa responden harus berjuang untuk meyakinkan keluarganya yang masih menganggap pendidikan akan jauh lebih baik jika diperoleh anak laki-laki. Kedua, di perguruan tinggi ini, perempuan Tionghoa mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang luar biasa tentang dunia luar yang sebelumnya terlihat menakutkan. Perguruan tinggi ternyata justru memberikan pengetahuan tentang penghormatan terhadap keberagaman. Hasilnya adalah banyak peran yang dilakukan oleh perempuan Tionghoa Indonesia dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yang mungkin bisa dikatakan adalah bidang baru yang jauh dari bidang tradisionalnya yang kebanyakan berada pada bidang ekonomi-perdagangan. Perubahan seperti inilah yang secara tidak langsung telah menjadi simbol perlawanan perempuan Tionghoa terhadap berbagai diskriminasi budaya.

Identitas hibrid

Melalui pembentukan identitas baru, perempuan Tionghoa Indonesia memiliki dua identitas sekaligus yang saling melengkapi, yaitu identitas ketionghoaan dan keindonesiaan. Percampuran kedua identitas ini menghasilkan identitas hibrid yang unik dan melengkapi keberagaman bangsa Indonesia. Secara khusus juga telah menjadi kekuatan pendorong bagi perempuan Tionghoa untuk melakukan suatu perubahan dan peran yang lebih luas bagi masyarakat dan bangsa Indonesia.

Karena disajikan dalam bahasa yang lugas dan memberikan banyak kisah yang menarik, buku ini tidak lagi seperti buku teks hasil penelitian ilmiah sebuah disertasi yang biasanya memuat banyak istilah yang memerlukan pengetahuan khusus. Justru buku ini sangat familier bagi semua pembaca dengan latar belakang apa pun. Penulis seperti membawa pembaca ke dalam kisah-kisah inspiratif yang mampu membangkitkan optimisme untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Buku ini wajib dibaca oleh para pemerhati feminisme, utamanya peminat kajian China dan sosiologi, serta siapa pun yang tertarik membaca sebuah ”novel penelitian”. Buku ini juga dapat memberi inspirasi untuk melakukan kajian berikutnya, seperti masalah pengentalan kembali identitas ketionghoaan (resinofication) dan kecenderungan makin besarnya minat untuk belajar bahasa Tionghoa.

* Tonny Dian Effendi, Ketua Pusat Kajian Asia Timur Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Sumber: Kompas, Jumat, 4 Desember 2009

No comments: