Saturday, December 05, 2009

Sangkakala Peradaban Cicak Vs Buaya

-- Teuku Kemal Fasya

REALITAS ”cicak vs buaya” telah membuat komponen bangsa geram dan kehilangan kesabaran karena kebaikan demokrasi belum menjadi tubuh politik.

Namun, kita harus menarik napas dalam-dalam dan menjernihkan pandangan agar tidak habis energi untuk marah-marah atas hilangnya uang negara Rp 6,7 triliun, Anggodo Widjojo, dan persoalan lainnya.

Kekacauan sistem hukum dan politik ini tidak layak ditimpakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seorang.

Jika memakai perspektif Lacanian, SBY hanya melanjutkan dorongan politik alam bawah sadar (political sub-consciousness) nasional. Reformasi 1998 hanya ”memermak hukum”, memberi terapi oral, tidak membedah dan mengamputasi kanker di sistem politik. Kesalahan ini sistemik, tidak mungkin sembuh hanya dengan mengganti presiden, wapres, atau menteri. Tiga gejala sakit itu adalah bangkitnya libido ultrakonstitusionalisme, miskinnya etika publik, dan kosongnya oposisi dalam praktik penyelenggaraan negara.

Ultrakonstitusionalisme

Sejak kekuasaan Orde Baru runtuh, konstitusi kita, UUD 1945, telah mengalami empat kali amandemen. Menurut pakar hukum JE Sahitapy, konstitusi Indonesia telah mengalami perubahan 300 persen. Belum lagi hadirnya ratusan undang-undang untuk beradaptasi dengan konstitusi baru. Postur Polri, sistem keamanan dan pertahanan nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), politik pemekaran, serta pemilu dan pemilihan kepala daerah langsung adalah sebagian buah konstitusi baru itu.

Namun, kehadiran negara serba konstitusi ini tak menjamin kehidupan publik semakin sehat dan bernalar sesuai keadaban hukum. Atas nama hukum, ratusan permukiman kumuh bisa digusur dan pemilik modal mengambilnya untuk pembangunan daerah bisnis. Manipulasi kasus Antasari dan kriminalisasi KPK juga berangkat dari koridor hukum.

Sejatinya, konstitusi menjamin kehidupan negara tidak liar dan memangsa segalanya (homo homini lupus), tetapi kini malah menjauhkan langkah negara dari tujuan kebenaran dan keadilan. Praktik bernegara telah terjebak pada situasi mendaulatkan konstitusi secara berlebih-lebihan (ultrakonstitusionalisme) sehingga gagal menemukan tujuannya (self-validated).

Konstitusi, menurut filsuf hukum Jerman, Carl Schmitt, pada tahap tertentu bisa menjadi praktik kediktatoran, ketika kehadirannya memberangus kebenaran dan memperkuat partisan kepala negara. Kritik Schmitt pada realitas konstitusi baru Jerman pasca-Hitler patut menjadi perhatian kita ketika tujuan konstitusi dibebankan terlalu besar kepada kepala negara dan memunculkan adagium ”hanya pemimpinlah yang layak mempertahankan hukum” (Der Führer schützt das Rech).

Penyelesaian konflik KPK-Polri tidak perlu dibebankan hanya kepada solusi konstitusional, tetapi miskin kebenaran dan kepentingan nasional. Hukum terlalu mewah hanya diserahkan kepada polisi, jaksa, dan ahli hukum. Kebingungan Presiden SBY sehingga muncul istilah out of court settlement juga karena terkungkung terminologi hukum semata. Perlu bagi bangsa ini (tidak hanya bagi pemimpin bangsa) untuk memunculkan nalar-nalar baru yang keluar dari rezim konstitusi dan banalitas hukum, dalam kalangan Aristotelian dikenal istilah epikeia. Presiden bisa memutuskan sikapnya tanpa semata-mata menjorokkan diri pada konstitusi, tetapi bersandar pada epikeia: kebijaksanaan pikir dan kelugasan nalar. Karena itulah kita memerlukan pemimpin manusia, bukan hanya robot hukum.

Etika publik

Reformasi berhasil menggulingkan sang diktatoris Soeharto dan membersihkan sindrom l’etat c’est moi (negara adalah aku), tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan praktik oligarki.

Publik memang mendapatkan kesempatan partisipasi dalam negara, tetapi hanya untuk mengisi interior sisa. Problemnya, publik telah didistorsikan sedemikian jauh sehingga hilang makna sebagai publica, yaitu warga yang memiliki hak-hak untuk mengatur hidup secara nyaman tanpa diganggu negara.

Tidak setiap manusia Indonesia memiliki status kewargaan (citizenship), akibat politik veto, atas nama, dan manipulasi elite. Hanya yang dekat dengan sumber-sumber politik dan ekonomilah yang berbahagia.

Di sinilah seharusnya seluruh tujuan negara demokratis didudukkan bahwa publik bukan hanya detergen politik, tetapi juga menjadi pertimbangan etis ketika urusan publik diciptakan (res-publica).

* Teuku Kemal Fasya, Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)

Sumber: Kompas, Sabtu, 5 Desember 2009

No comments: