BENAR-BENAR gila. Enam tahun musuhan, hanya karena demi Soe Hok-Gie (lahir di Jakarta, 17 Desember 1942, wafat di puncak Mahameru, 16 Desember 1969), mereka bersatu kembali. Saking tergila-gilanya, dalam tempo dua minggu, seorang Mira Lesmana, misalnya, di sela-sela kesibukan yang luar biasa, bisa menyelesaikan tulisan dua jam menjelang tenggat.
Ada belasan penulis dalam kategori sama gilanya dengan Soe Hok-Gie—karena teman seperjuangan dan tergila-gila dengan sosok Soe Hok-Gie—dalam waktu dua bulan bisa menghadirkan buku Soe Hok-Gie …Sekali Lagi, setebal xxxix + 512 halaman. Ketika mereka dan puluhan pengagum serta teman Soe Hoe-Gie berjumpa, Jumat (4/12) siang di Bentara Budaya Jakarta, suasana menjadi begitu hangat. Mereka, yang umumnya sudah ubanan, tetapi masih berjiwa muda, saling bernostalgia. Silaturahim penuh kehangatan, yang mungkin sudah lama terputus, terjalin erat kembali.
Apalagi Rudy Badil, salah seorang editor buku dan teman Soe Hok-Gie, yang sama tergila-gila mendaki gunung, dengan lincah dan kocak memperkenalkan satu per satu penulis dan membuka cerita yang sangat manusiawi sekali, kenangan semasa menjadi aktivis kampus di Universitas Indonesia, menjadi eksponen ’66. Sekitar 50 pengunjung tak henti-henti dibuat tergelak-gelak, bahkan tersenyum-senyum malu.
Dan jika Anda sempat membaca buku ini—yang mungkin sudah beredar dan akan diluncurkan pertama kali tanggal 16 Desember mendatang di Universitas Indonesia, Depok—bersiap-siaplah menjadi tambah gila. Tergila-gila karena tiba-tiba Anda bisa menjadi pengagum baru sosok Soe Hok-Gie. Semangat Anda akan menjadi terbakar dan yang pasti, terinspirasi.
Tergila-gila dan kemudian ikut peduli memikirkan masa kini, juga masa esok, alam bangsanya, siapa takut?
”Soe Hok-Gie …Sekali Lagi ini, yang katanya small outside with big inside, terbagi dalam lima bab dan tersusun unik. Unik karena buku kenangan sekaligus bunga rampai 20-an tulisan serta pemanfaatan dokumentasi ini membuat informasi kejadian dan peristiwa nyata, yang biarpun berlangsung 40-an tahun lalu masih terasa jelas benang merahnya,” kata Rudy Badil, salah seorang dari tiga editor buku. Dua editor lainnya adalah Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan R.
Buku dengan judul kecil Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya ini menyajikan dengan otentik dan amat eksklusif testimoni survivors Musibah Semeru 16 Desember 1969.
”Buku ini juga memuat rangkaian dokumentasi bagus tentang Soe Hok-Gie dan Idham Lubis, suatu sajian unik yang memberikan dimensi lain mengenai kejadian masa lalu dua sekawan itu. Dari situ diketahui bahwa, bahkan selewat 35 tahun sejak Soe meninggal tahun 1969, nama Hok-Gie masih dicatut oleh segelintir manusia culas untuk menjual proposal penipuan adanya harta karun tipu-tipu senilai triliunan rupiah di puncak Mahameru,” papar Rudy Badil.
Jakob Oetama dalam tulisannya, ”Gelisah atas Nama Integritas”, menulis, ”Di tengah krisis rasa keadilan, hilangnya rasa, dan gencarnya semangat menggugat hukum saat ini, sosok Soe Hok-Gie pantas ditampilkan. Dilakukan tidak dengan maksud mengultusindividukan, tidak juga memaksakan, melainkan menawarkan nilai-nilai keteladanan, terutama integritas dan kebersihan hati.”
Menurut Jakob, Soe Hok-Gie mungkin tidak sekadar nama, tetapi sebuah nama yang telah mengukirkan sosok yang terus gelisah, inspirator yang terus menggugat… atas nama integritas dan kehormatan diri. (NAL)
Sumber: Kompas, Sabtu, 5 Desember 2009
No comments:
Post a Comment