Saturday, December 05, 2009

Pendidikan Kewirausahaan dalam Diskriminasi Sejarah

-- Asvi Warman Adam*

KETIKA membuka Temu Nasional 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan pentingnya jiwa kewirausahaan, inovasi teknologi, dan kreativitas. Ketiga aspek itu sebetulnya tercakup dalam nebula (megabudaya) China yang ironisnya tidak boleh diajarkan semasa Orde Baru. Dalam pelajaran sejarah di sekolah diajarkan pengaruh nebula yang berasal dari India, Arab, dan Eropa, tetapi tidak demikian halnya dengan sumbangan nebula China bagi peradaban Nusantara. Diskriminasi sejarah itu berlangsung sejak peristiwa G30S tahun 1965. Pemerintah melarang segala sesuatu yang berbau China.

Kehidupan kita sehari-hari bisa berjalan dan berkembang seperti sekarang ini antara lain berkat ilmu dan teknologi yang berasal dari kebudayaan China. Orang Belanda yang berada di Jawa mulanya kurang memerhatikan pertanian. Orang Tionghoa-lah yang mengembangkan budidaya padi. Setiap tahun banyak jung (kapal besar dari kayu) datang ke sini untuk berdagang sambil membawa 1000-an orang China untuk dipekerjakan, terutama di lahan pertanian.

Abad ke-17

Pada abad ke-17, orang-orang Tionghoa di Batavia mengembangkan budidaya tebu. Penggilingan tebu itu sangat sederhana, yaitu dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah sistem roda gigi serta sebuah poros sepanjang 4,5 meter. Karena kekurangan bahan bakar untuk tungku, sejak tahun 1815 industri gula ini dipindahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Budidaya padi bukanlah monopoli etnis Tionghoa, tetapi mereka berjasa dalam menemukan teknik baru, seperti alat penyosoh padi tahun 1750 yang dengan dua-tiga sapi bisa mengolah sampai 500 ton padi per hari menggantikan lesung dengan kapasitas 100 ton per hari. Penyebaran alat tersebut merangsang produksi beras dan mengatasi masalah persediaan pangan di Batavia saat itu. Jadi, melalui orang Tionghoa itu lahir tipe pertanian bermesin sederhana: pompa berpedal, gilingan tebu, pemeras kelapa, penyosoh beras, dan bajak.

Dari dua komoditas di atas dibuat menjadi arak yang terdiri dari beras yang difermentasi, tetes tebu, dan nira sejak tahun 1611. Orang-orang Tionghoa juga berhasil membudidayakan sayur-sayuran dan buah-buahan, seperti semangka. Orang Tionghoa pula yang mendatangkan ke Pulau Jawa tanaman seperti kapas dan terung. Tanaman yang mengandung protein yang diperkenalkan oleh etnis Tionghoa adalah kacang hijau yang semua produk olahannya diberi nama China, yaitu taoge (kecambah), tahu, dan taoco. Dari sejenis kacang-kacangan dibuat kecap.

Orang Tionghoa juga merupakan pionir dalam bidang metalurgi dan pertambangan. Etnis Tionghoa bekerja di penambangan timah di Bangka dan emas di Kalimantan Barat (paruh pertama abad ke-19). Teknik yang digunakan penambang Tionghoa ini sangat efisien pada zamannya dan berasal dari teknik pembuatan irigasi: mengendalikan aliran air yang alami untuk mencuci mineral di sepanjang permukaan yang miring. Barang yang juga dikembangkan berkat jasa orang Tionghoa adalah jarum untuk menjahit dan perkakas dapur, yakni kuali. Etnis Tionghoa juga berperan sebagai pengecor meriam di Aceh dan Patani.

Teknologi

Etnis Tionghoa juga memiliki sumbangan dalam teknologi kelautan. Merekalah yang membuat kapal yang digunakan Pati Unus, pangeran dari Jepara, untuk menyerang Malaka. Perahu mayang yang dipakai nelayan lokal di pantai utara Jawa menggunakan dinding sekat kedap air khas China. Etnis Tionghoa juga aktif dalam budidaya tiram, kerang, dan ikan di tambak-tambak. Teknik pembuatan garam juga dikembangkan orang Tionghoa. Pembuatan produk ini dikuasai oleh mereka sebelum pemerintah kolonial Belanda abad ke-19 mengembangkan pembuatan garam secara modern dengan mengambil alih tambak-tambak garam besar di Gresik dan Sumenep.

Menurut hemat saya, nebula (megabudaya) China penting dimasukkan ke kurikulum sejarah karena kenyataan bahwa ia telah menyumbang bagi peradaban bangsa. Selama ini hanya diajarkan budaya India (Hindu-Buddha), Arab (Islam), dan Eropa (Kristen) yang memengaruhi budaya lokal di Tanah Air. Jika dari budaya India yang menonjol adalah aspek spiritual dan kerukunan meskipun ada hierarki (kasta), dari budaya China kita bisa menanamkan kreativitas kewirausahaan dan inovasi teknologi untuk kesejahteraan masyarakat.

* Dr Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI

Sumber: Kompas, Sabtu, 5 Desember 2009

No comments: