KARYA sastra terlahir karena kreativitas yang tinggi para pengarangnya, dibutuhkan juga inspirasi untuk mampu merangkai kata menjadi sebuah kalimat yang indah dan memiliki makna.
Untuk mendapatkan inspirasi dalam menghasilkan karya sastra berkualitas,penulis kawakan Indonesia, Triyanto Triwikromo menjelajahi empat benua untuk menghasilkan sebuah kumpulan cerpen bertajuk Ular di Mangkuk Nabi. Karya sastra yang dibedah di Galeri Nasional tersebut dihadiri oleh para penulis,pengamat sastra dan juga para pembaca karya sastra berkualitas. Hadir sebagai pembicara dalam bedah buku tersebut adalah Pencetus Anugrah Sastra, Richard Oh, Guru Besar Emeritus (linguistik, analisis wacana, semiotik) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,Benny H Hoed dan penulis terkemuka Indonesia,Seno Gumira Ajidarma.
Dalam bedah Ular Di Mangkuk Nabi tersebut terungkap bahwa kumpulan cerpen tersebut dibuat setelah sang penulis melakukan perjalanan di empat benua,yaitu Amerika,Asia,Eropa,dan Australia. Di Amerika penulis yang biasa disapa dengan panggilan Tri tersebut melakukan survei di kota Los Angeles,Las Vegas,dan San Fransisko. Di Australia penulis yang telah menerbitkan enam buku sastra tersebut melakukan penelitian di kota-kota,seperti Sidney,Melborn,dan Darwin.
Di Eropa penulis tersebut melakukan perjalanan di lima negara,yaitu Swiss, Belgia, Prancis, Jerman, dan Belanda. Sedangkan di Asia,Triyanto Triwikromo melakukan survei di Malaysia,Filipina,dan Arab Saudi. Walaupun tidak semua negara yang dikunjungi Tri bisa menghasilkan karya sastra, namun rata-rata sang penulis menghasilkan karya-karya sastra yang unik di kota yang bisa memberinya inspirasi. Saat berada di Prancis,misalnya ia menulis sebuah cerpen dengan judul Iblis Paris. “Iblis Paris adalah sebuah cerpen saya yang terlahir ketika saya tidak menemukan sisi romantisme sebuah kota yang dianggap paling romantis di dunia.
Di sana saya menemukan banyak juga sisi kelam kota tersebut,”kata Triyanto Triwikromo ditemui usai acara. Iblis Paris sendiri bercerita tentang kisah seorang gadis asal Bangladesh bernama Zita yang memiliki sebuah hotel sederhana di Paris.Kesan negatif tentang Paris sangat terasa dalam cerita pendek tersebut,seperti pada awal tulisannya,Tri menggambarkan terjadinya konflik dengan kalimat,“Ya, jika pada malam yang liar dan panas, kekasihmu tiba-tiba menusukkan moncong pistol ke lambungmu,sebaiknya dengarlah kisah brengsekku ini. Segalanya begitu cepat berubah setelah Khun Sa meninggal.
Aku,boneka kencana Raja Opium Segitiga Emas yang disembunyikan dan kelak kau kenal sebagai Zita, memang tidak mungkin mengikuti upacara kremasi bersama-sama gerilyawan Shan,”tulisnya. Bukan hanya itu saja,kekelaman Prancis juga digambarkan Tri dalam cerpennya dengan kalimat-kalimat, seperti ”Paris adalah neraka. Iblis manis akan membunuhmu jika kau bermimpi tinggal di kota brengsek itu. Ketahuilah, Zita, sejak salah seorang kepercayaanku mengetahui aku mencintaimu, saat itu pula ia berniat membunuhmu. Kau dianggap akan melemahkan perjuangan.
Karena itu,begitu tahu kau akan berimigrasi ke Prancis, saat itu pula ia mengirim pembunuh mu ke Prancis,”tulisnya lagi dalam cerpennya itu. Hal yang sama juga ditemukan Tri ketika berkunjung dan melakukan survei di Kuala Lumpur,sehingga lahirlah kalimat Lumpur Kuala Lumpur. “Di masing-masing kota yang saya singgahi, saya tinggal di hotel-hotel murah, di sana saya menemukan banyak sisi lain dari kehidupan manusia dan banyak sisi negatif.
Semua nama tokoh dalam cerpen saya adalah nama tokoh yang benar-benar ada di kota masing-masing,”katanya menerangkan. Tercatat dalam Ular Di Mangkuk Nabi, Triyanto menulis 15 cerita pendek yang kemudian mendapat tanggapan beragam dari kalangan pembaca juga pengamat,seperti yang diungkapkan Benny H Hoed.Menurutnya karya Triyanto merupakan karya sastra dengan cerita fantastik, yang tidak saja membuat takjub karena sifatnya yang ekstra natural, namun lebih dari itu cerita tersebut sanggup memberikan keraguan pada pembacanya tentang apakah cerita di dalamnya nyata atau tidak.
“Ceritanya mampu membawa kita ke peristiwa yang mungkin bisa terjadi di tempat yang kita kenal,”kata Benny H Hoed. Berbeda dengan Benny H Hoed,Richard Oh mengatakan bahwa karya Triyanto memiliki karakter-karakter, seperti insan tragedi komik dalam drama Beckett,You Must Go Onjuga I Can’t Go On. Mereka bukanlah subjek-subjek tertanda sebuah pencerahan, tapi bayang-bayang berkelebatan yang berenang bagaikan ikan hiu yang mengitari sebuah putaran,”paparnya. Ditambahkannya cerpen Triyanto adalah sebuah manifestasi kehebatan bahasa dalam mencipta mitos-mitos baru dari serpihan realita ataupun secuil sejarah.
“Triyanto sama sekali tidak membiarkan secercah cahaya menyusup ke dalam lubang lumpurnya.Kita hanya bisa mereka-reka,”katanya. Sementara itu, Seno Gumira Ajidarma lebih menilai karya-karya Triyanto sebagai sebuah cerpen, tetapi lebih cenderung dengan bahasa puisi yang sulit dimengerti. “Butuh kerja keras untuk bisa memahami karya-karya Triyanto. Bagi saya karya Ular Di Mangkuk Nabi lebih cocok disebut sebagai puisi,”kata Seno. (bernadette lilia nova)
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 6 Desember 2009
No comments:
Post a Comment