-- Muhammad Ali Fakih AR
PERDEBATAN mengenai “sastra serius” dan “sastra populer” sesungguhnya merupakan perdebatan lama yang kurang lebih menemukan momentumnya dalam beberapa waktu belakangan ini, setidaknya –dengan mengambil satu contoh– pasca Andrea Hirata menerbitkan tetraloginya, Laskar Pelangi.
Pro-kontra mengenai novel Andrea ini, yang paling banyak menyita perhatian para pemerhati sastra ialah apakah Laskar Pelangi termasuk novel serius atau novel populer? Pertanyaan semacam ini pada tingkat tertentu sangat problematis, lantaran pandangan mengenai “sastra serius” dan “sastra populer” cenderung subjektif.Di satu pihak Laskar Pelangi dianggap novel serius karena plot penceritaan, karakter penokohan dan klimaks dan antiklimaksnya disuguhkan dengan kuat. Andrea juga kurang lebih berhasil dalam mengekspresikan dengan baik latar budaya dan citraan literer Melayu.
Namun, di pihak lain Laskar Pelangi dianggap tidak layak dikategorikan novel serius karena – sebagian alasan yang diajukan– gaya penceritaan Andrea yang cenderung fleksibel dengan konstruksi literer yang tidak sedikit menggunakan bahasa keseharian yang lumrah (tidak dengan ejaan yang disempurnakan yang ketat), juga tidak menyuguhkan hal yang baru, khususnya bagi “pembaca” dewasa, misalnya sesuatu yang membuat orang –ketika sudah membacanya– memperoleh percerahan dan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang menarik hasrat untuk direnungkan dan segera dijawab.
Terjadinya pro-kontra ini tidak semata-mata bisa dilihat dari kenyataan bahwa selama ini tidak terdapat satu diktat sastra pun yang memberikan kategori-kategori jelas mengenai batas-batas tertentu perbedaan antara “sastra serius” dan “sastra populer”, tetapi juga dapat dimengerti bahwa sesungguhnya kita masih belum siap menghadapi kenyataan-kenyataan pluralitas dalam sastra. Sejak dulu sebenarnya kita telah dihadapkan pada keberadaan bentuk dan pola karya sastra yang heterogen, namun demikian rupanya kita masih terbelenggu dalam paradigma “sastra kanonik”.
Kecenderungan menganggap karya sastra yang “tidak berbobot” dan berkualitas literer tingkat tinggi sebagai “sampah sastra” lebih dominan ketimbang sikap lebih terbuka, menerimanya sebagai bentuk ekspresi yang tidak boleh tidak turut dihormati. Paradigma sastra kanonik terasa kurang proporsional lantaran berakibat pada sikap sentimental yang keras, misalnya dengan terlalu mengagumi karya sastra satu dan menafikan yang lainnya.Apabila akhirnya paradigma semacam ini telah menjadi frame world suatu masyarakat sastra tertentu, maka dengan mudah ditunjukkan realitas mengenai kritik-kritik sastra yang lebih bersifat marginalis dan alienalis, dalam artian suatu karya sastra tidak dipandang dan ditempatkan pada di mana ia seharusnya ditinjau.
Tidak sedikit ditemukan kritik-kritik sastra yang bermodel semacam itu di dalam khazanah kesusasteraan kita,baik kritik oleh para kritikus kelas bawah maupun para kritikus kelas atas. Dari kenyataan semacam ini, dapat dipertanyakan kembali ketegasan mengenai objektivitas suatu kritik sastra.Paradigma kanonik sastra selama ini,diakui atau tidak, kurang lebih telah hampir menjadi titik tolak yang tendensius dalam frame kritik sastra. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan kita belum dengan benar-benar siap membuang “logosentrisme sastra”dan belajar memaklumi secara proporsional kenyataan pluralitas perkembangan karya sastra kita dari waktu ke waktu.
Pluralisme kritik sastra –kurang lebih begitu– ialah ikhtiar yang dimulai dari suatu pandangan mengenai,apakah suatu karya sastra patut ditinjau,tidak dengan bagaimana tinjauan dibangun dalam memandang karya sastra. Dua hal ini amatlah kontraproduktif, terutama dilihat dari efek “psikologis” pada suatu bangunan karya kritik sastra itu sendiri. Mempertanyakan ‘seperti apakah suatu karya sastra patut di tinjau’ berarti memulai kritik dengan terlebih menerima karya sastra sebagai keberadaannya yang patut diapresiasi dalam dimensi apa pun.
Sementara itu, mempertanyakan ‘bagaimana tinjauan dibangun dalam memandang karya sastra’ lebih memuat tendensi paradigma yang telah terbangun dalam diri seorang kritikus. Memandang karya sastra dengan bekal paradigma kanonik, berarti pengabaian terhadap proses kreatif sang pengarang. Setiap orang berbeda-beda dalam segala dimensi,bahkan juga dalam menghasilkan karya sastra. Karena perbedaan itu, tidak bisa dipaksakan oleh siapa dan pihak mana pun.Hal ini merupakan salah satu faktor mula terdapatnya pola dan model karya sastra yang heterogen.
Heterogenitas sastra seharusnya dipandang lebih mafhum bahwa keberadaannya merupakan bentuk kekayaan sastra kita.Kekayaan tersebut tetap harus dijaga adanya dan tidak sepatutnya ditanggalkan dengan alasan-alasan, seperti dengan paradigma pembedaan karya sastra yang serius atau populer. Karena jika tidak,alih-alih konflik kontraproduktif, kita dengan sendirinya masuk dalam jurang “homogenisme sastra”. Secara tidak langsung, uraian di atas menunjukkan suatu keharusan bagi kita untuk memahami dengan rendah hati bahwa di dalam karya sastra, seperti juga dalam fenomena kemanusiaan, terdapat aspek pluralitas yang tidak boleh tidak patut dijaga eksistensinya dari godaan-godaan luar yang hanya akan mengakibatkan pada proses pengerdilan.
Paradigma “kanonik sastra” dalam hal ini menjadi tidak berlaku sebab hanya semakin meneguhkan “homogenisme sastra”yang bertahan cukup lama sebagai tren kritik dalam dunia kesusastraan kita. Masa depan kritik sastra kita sudah seharusnya di titik-tekankan pada cara pandang yang lebih inklusif dan proporsional, yakni dengan paradigma “pluralisme sastra”. Paradigma ini mengimpikan suatu kritik yang tidak permisif terhadap karya sastra yang dibangun dalam struktur dan pola yang beragam. Dengan analogi yang lebih sederhana,tinjauan kritik terhadap karya Andrea Hirata dan karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya tentu haruslah berbeda.
Namun, karya keduanya mesti dipandang secara profesional dalam tinjauan bahwa karya tersebut berkedudukan sama sebagai karya sastra yang patut diapresiasi tanpa sikap permisif dan tendensi apa pun.Karena kita tahu, baik Andrea maupun Pramoedya sama-sama telah berhasil mentransformasi kesadaran pada masyarakat kita.(*)
* Muhammad Ali Fakih AR, Esais dan peminat sastra tinggal di Yogyakarta.
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 6 Desember 2009
No comments:
Post a Comment