SEBAGAIMANA diutarakan Goenawan Mohamad, pada hari-hari dalam bulan Agustus 1945, yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik. Hindia Belanda sudah tidak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikan juga baru saja kalah. Yang ambruk adalah sebuah wacana.
Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi, yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan dan sebaliknya, membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ''kami, bangsa Indonesia'' -apalagi sebuah ''kami'' yang bisa ''menyatakan kemerdekaan'' (Tempo, 8/09).
Ya, Agustus adalah puncak gelora revolusi. Jika kemudian sebuah revolusi dimaknai sebagai ''menjebol dan membangun'', yang dijebol adalah wacana kolonial, sedangkan yang dibangun adalah wacana kebangsaan, keindonesiaan: kami adalah bangsa Indonesia.
Terkait hal itu, ungkapan ''pengetahuan adalah kekuasaan'' dari Francis Bacon, tampaknya, benar-benar diresapi oleh Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Moh. Yamin, Sukarni, Chairul Shaleh, dan para tokoh pergerakan lainnya.
Misalnya, Sjahrir yang tekun membaca Immanuel Kant, Karl Marx, John Stuart Mill, hingga Ortega Y. Gasset membawanya pada kesimpulan, ''Timur makin memerlukan ilmu pengetahuan dan rasionalisme Barat. Timur tidak lagi memerlukan mistisme dan kepasrahan yang membuatnya menderita.''
Kemudian, Mohammad Hatta suatu saat menulis esai Hindiana! Esai itu berkisah tentang seorang janda kaya bernama Hindiana. Dia menyesal menikah dengan Wollandia karena suami barunya itu mengeruk habis harta Hindiana. Alegori dalam esai Hatta tersebut membuat pemerintah kolonial gelisah dan tak mengira seorang pribumi muda mampu menulis sarkasme seperti itu.
Di antara para tokoh tersebut, yang paling fenomenal sekaligus paling dilupakan adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka. Lewat tulisan yang berjudul Naar de Republiek (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, Tan Malaka adalah orang pertama yang menggulirkan pemikiran secara tertulis tentang konsep berdirinya negara-bangsa bernama Republik Indonesia. Gagasan itu jauh lebih dulu daripada pemikiran serupa yang dituliskan Hatta dalam Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka): pleidoi Hatta di depan Pengadilan Belanda di Den Haag pada 1928 maupun Menuju Indonesia Merdeka yang ditulis Soekarno pada 1933.
Tan Malaka juga merupakan prototipe pejuang kemerdekaan yang militan dan punya kemampuan lengkap: cerdas dan kreatif di level gagasan, tapi juga cekatan dan ulet dalam mengorganisasi massa rakyat. Tan membuktikannya dengan menulis buku-buku revolusioner, inspiratif, sekaligus membangkitkan semangat anti kolonialisme. Di antaranya, Massa Actie, Madilog, Dari Penjara ke Penjara, dan Gerpolek.
Khusus untuk buku Massa Actie (terbit 1926), diakui terus terang oleh tokoh pergerakan dan bapak bangsa lain menjadi inspirasi utama bagi mereka untuk meneguhkan idealismenya dalam mengusir penjajahan dari bumi Indonesia. Bahkan, bagi Soekarno, buku itu merupakan ilham sekaligus bahan kutipan untuk menyusun Indonesia Menggugat: pleidoinya yang akhirnya sangat tersohor itu. Tak ketinggalan, frasa ''Indonesia tanah tumpah darahku'' dalam lagu Indonesia Raya diakui oleh W.R. Supratman diambil dari bagian akhir buku Massa Actie.
Selama 51 tahun hidupnya, Tan menjelajahi tak kurang dari 21 tempat dan 11 negara dengan kondisi sakit-sakitan serta pengawasan ketat agen-agen Interpol. Mulai Minangkabau (tanah kelahirannya) hingga melanglang buana ke Belanda, Jerman, Inggris, Moskow, Filipina, Burma, Beijing, Thailand, dan kembali lagi ke Indonesia untuk bergerilya ke Banten, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Jogjakarta, hingga tewas ''dibunuh'' di Kediri pada 21 Februari 1949. Semua petualangan dan pengorbanan itu dilalui demi satu hal: kemerdekaan Indonesia.
Dalam proses tersebut, Tan juga menghasilkan 23 karya tulis yang turut menerangi obor revolusi. Di antaranya, Parlemen atau Soviet (1920), Si Semarang dan Onderwijs (1921), Naar de Republiek Indonesia (1925), Massa Actie (1926), Manifesto Bangkok (1927), Aslia Bergabung (1928), Madilog (1943), Muslihat (1945), Thesis (1946), Islam dalam Tinjauan Madilog (1948), Pandangan Hidup (1948), Kuhandel di Kaliurang (1948), dan Gerpolek (1948).
Sebagaimana diwartakan majalah Tempo (17 Agustus 2008), semua fakta perjalanan hidup Tan Malaka tersebut diungkap oleh sejarawan Belanda Harry Albert Poeze dalam buku setebal 2.200 halaman yang berjudul Vurguisd en Vergeten, Tan Malaka, de Linkse Beweging en de Indonesische Revolutie (Tan Malaka, Dihujat, dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia).
Bak pedang bermata ganda. Di satu sisi, buku itu adalah ensiklopedia lengkap tentang Tan Malaka yang akan memudahkan kita mempelajari sepak terjang Tan Malaka dalam merintis berdirinya republik ini. Di sisi lain, buku tersebut juga menampakkan ironi pemerintah Indonesia: alangkah malunya bangsa kita ketika mengetahui bahwa justru seorang sejarawan Belanda yang proaktif mengungkap sisi-sisi kepahlawanan Tan Malaka. Sedangkan pemerintah Indonesia tidak peduli sama sekali, bahkan seolah ingin menghapus nama Tan Malaka dari sejarah Indonesia. (*)
Mohammad Afifuddin, bergiat di Lingkar Studi Filsafat Sense of Aufklarung Community PMII Jember
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 6 Desember 2009
No comments:
Post a Comment