Judul Buku: Kontra Terorisme Dilema Indonesia Era Transisi
Penulis: Sapto Waluyo
Penerbit: NF Media Center Jalarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal: 364 Halaman
BEBERAPA jam sebelum bom meledak di Hotel JW Marriott, 5 Agustus 2003, pengunjung dan penghuni hotel berkebangsaan AS dievakuasi dari hotel tersebut. Setidaknya, mereka telah diberi peringatan dini akan terjadinya suatu peristiwa dahsyat yang bisa merenggut nyawa. Tak heran, dalam ledakan tersebut tidak ada warga AS yang menjadi korban. Hanya seorang warga negara Belanda yang nahas karena sedang berada di hotel tersebut. Selebihnya, korban ledakan itu, baik yang meninggal mapun luka-luka, adalah warga Indonesia. Padahal, hotel tersebut dikenal sebagai tempat berkumpulnya para ekspatriat dari berbagai negara.
Terasa amat aneh saat bom meledak pada jam paling sibuk (makan siang) di lokasi yang jadi langganan warga AS, tidak ada warga negara AS yang menjadi korban. Justru yang banyak menjadi korban adalah warga pribumi kelas bawah: satpam, sopir taksi, karyawan, dan sejenisnya.
Itulah salah satu keanehan yang terungkap dalam buku Kontra Terorisme Dilema Indonesia Era Transisi yang ditulis Sapto Waluyo. Berbekal pengalaman sebagai wartawan, Sapto mampu memasukkan data-data mutakhir secara cepat. Di antaranya, ledakan bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott (2009) yang dilanjutkan dengan penangkapan para pelaku melalui aksi tembak-menembak yang menegangkan. Para pelaku teror ditembak mati melalui penyergapan yang dramatis di Temanggung dan Bekasi.
Penggerebekan di Temanggung lebih dramatis karena disiarkan secara live oleh dua stasiun televisi sehingga masyarakat bisa menyaksikan detik demi detik drama itu. Dalam bab 14 tak kalah menariknya, juga diungkap tentang aksi penyergapan gembong teroris Noordin M. Top di Jebres, Solo, pada 17 September 2009. Berbeda dengan penggerebekan sebelumnya, terutama di Temanggung, penumpasan Noordin dan kelompoknya itu ''luput'' dari liputan media massa.
Masih banyak misteri yang sampai saat ini belum terungkap di balik aksi teror yang tak pernah berhenti mendera negeri ini. Dalam ledakan bom Marriott I pada 2003, misalnya, petugas hotel kebingungan dengan keputusan Kedubes AS yang tiba-tiba membatalkan pesanan 20 kamar, hanya beberapa jam sebelum bom meledak. Padahal, acara resmi itu sebenarnya diadakan Kedubes beberapa jam sebelum peledakan.
Bukan hanya AS, Australia juga menyimpan rahasia yang sampai sekarang belum dijelaskan oleh pemerintah negeri tersebut. Penyidik AFP dari Australia sudah berada di lokasi pada jam pertama setelah ledakan, lebih cepat daripada penyidik kita. Bahkan PM Australia waktu itu, John Howard, langsung mengadakan konferensi pers mengenai ledakan tersebut saat dia berkunjung ke sebuah kota terpencil di Cape York, Australia. Howard bisa menjelaskan aksi ledakan itu dengan sangat detail dan valid.
Keanehan-keanehan tersebut diungkap oleh Joe Vialls, pakar masalah peledakan bom dari Australia, yang secara konsisten menentang kampanye perang terhadap terorisme internasional. Vialls mengungkap sejumlah fakta yang mencengangkan di balik aksi ledakan bom menghebohkan itu. Fakta tersebut sulit terbantahkan sekaligus sulit dijelaskan. Pendapat PM Australia John Howard dan Presiden George Bush yang oleh Vialls dituduh tergesa-gesa saat menuding pelaku ledakan itu adalah Jamaah Islamiah dengan tegas disanggahnya. Bahkan, dengan analisis yang tajam dan bukti kuat, dia berkesimpulan sebaliknya bahwa pelaku peledakan bom itu adalah warga AS atau Israel yang menguasai bom inkonvensional.
Berbagai misteri di balik aksi ledakan bom di Indonesia itu menjadi masalah pelik pemerintah dalam aski kontra-terorisme yang menjadi pokok bahasan buku ini. Empat presiden pengganti Soeharto, sejak B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, sampai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terpilih lagi untuk kali kedua, tetap dihadapkan pada masalah terorisme. Setiap presiden punya gaya dan policy sendiri dalam menangani masalah teroris.
Terorisme menjadi masalah besar bagi bangsa Indonesia, terutama selama satu dekade terakhir. Aksi teror mulai marak setelah Soeharto turun dari tampuk kekuasaan yang didudukinya selama 32 tahun. Sejak itulah Indonesia tidak pernah lepas dari aksi teror, baik dalam skala kecil maupun besar, yang menimbulkan banyak korban. Empat presiden yang menggantikan kedudukan Soeharto menghadapi masalah pelik untuk menyelesaikan masalah teroris itu. Apalagi dalam perkembangannya, terorisme bukan hanya masalah dalam negeri tapi sudah menjadi isu internasional.
Campur tangan asing ditengarai menyebabkan penanganan masalah teroris di dalam negeri semakin rumit. Dalam buku ini bahkan digambarkan secara jelas bagaimana pihak luar ikut campur dalam urusan terorisme. Penanganan kasus bom Bali, penangkapan Abu Bakar Ba'asyir, sampai pembentukan Densus 88 tak lepas dari campur tangan asing.
Pada mulanya, terorisme di Indonesia dianggap sebagai masalah dalam negeri, terutama pada awal pemerintahan transisi setelah Soeharto lengser. Situasi kemudian bergeser, terorisme tidak hanya menjadi masalah nasional tapi sudah menjadi masalah transnasional, terutama setelah peristiwa 9/11. Terorisme telah berubah dari masalah domestik menjadi masalah internasional. Saat awal masa transisi, setelah Soeharto lengser, banyak yang mengaitkan masalah teror dengan mantan penguasa Orde Baru itu. Banyak pendukung setianya yang tidak bisa menerima berbagai tindakan yang ditimpakan kepada Soeharto, termasuk tindakan hukum. Misalnya, saat proses hukum terhadap Soeharto berlangsung, terjadilah berbagai aksi ledakan bom. Begitu juga saat putra kesayangannya (Tomy Soeharto) diadili, terjadilah aksi bom yang menghebohkan.
Meski tidak bisa dibuktikan, banyak yang mengaitkan aksi peledakan bom tersebut dengan Soeharto dan para pendukung setianya, terutama dari kalangan tentara. Itu bisa dilihat dari berbagai kebijakan para pengganti Soeharto yang berniat menyeretnya ke meja hijau atas berbagai masalah korupsi. Belum lagi kebijakan di masa transisi yang ''mengebiri'' kekuasaan tentara agar kembali ke barak dan meninggalkan panggung politik. Kebijakan itu tak sepenuhnya bisa diterima dengan baik karena berkaitan dengan masalah pembagian kekuasaan yang pada era Soeharto banyak dinikmati oleh kalangan tentara.
Tentu saja kebijakan menghapus peran tentara dalam dunia politik (yang dikenal dengan istilah dwi fungsi ABRI) menimbulkan gejolak penentangan. Situasinya semakin panas manakala presiden -waktu itu B.J. Habibie- memenuhi tuntutan masyarakat untuk memisahkan TNI dengan Polri. Penanganan berbagai konflik tidak maksimal karena Polri belum berpengalaman menangani masalah yang menyebar di berbagai pelosok. Ledakan bom pertama pada masa reformasi yang terjadi di luar daerah konflik adalah bom di Masjid Istiqlal, Jakarta, menjelang digelarnya pemilu pertama setelah Soeharto lengser. Setelah itu, serentetan bom terus meledak di berbagai daerah dengan intensitas yang berbeda. (*)
Husnun N. Djuraid , redaktur senior Malang Post
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 6 Desember 2009
No comments:
Post a Comment