-- Iwan Kurniawan
PENYAIR Zeffry Alkatiri tampak kebingungan saat hendak membacakan sebuah puisi karyanya di depan audiens. Lelaki berperawakan sederhana itu terlihat membolak-balik beberapa halaman dalam buku terbarunya berjudul Post Kolonial & Wisata Sejarah dalam Sajak.
Dia hanya nyengir. Sejurus, Zeffry langsung meletakkan bukunya di atas meja. “Maaf, saya tidak bisa (melihat huruf-huruf) dalam buku ini. Saya lupa membawa kacamata,” ucapnya, sopan, sambil bergegas duduk.
Acara diskusi yang berlangsung di Gedung Salihara, Jakarta Selatan, awal pekan ini, cukup sederhana. Zeffry boleh menjadi ‘raja’ karena menjadi titik sentral malam itu. Karya-karyanya diulas dan dikaji secara historis dan objektif.
Lelaki 54 tahun itu menghadirkan sajak-sajak dalam dua bagian. Bagian pertama, Post Kolonial, berisikan 21 sajak. Dia seakan ingin mengingatkan pembaca tentang sekelumit problem yang terjadi di era-era penting dalam sejarah bangsa ini.
Bahkan, keliaran Zeffry mampu ‘berwisata’ ke berbagai penjuru dunia sehingga dia juga menghadirkan 96 sajak di bagian kedua, Wisata Sejarah. Itu patut mendapat apresiasi, terutama pada proses kreatif Zeffry dalam menulis.
Dia menggunakan pendekatan historis dengan empat dari lima pertanyaan utama, yaitu apa, siapa, kapan, dan di mana. Pertanyaan ‘bagaimana’ tidak dia jabarkan. Hal itu sengaja dilakukan agar pembaca yang menilai dan mengkritik karya-karya tersebut.
Itulah kreativitas yang seakan keluar jalur. Ia cukup berbeda dari kebanyakan penyair yang acap kali harus berlama-lama berpikir hanya untuk mendapatkan kata-kata yang paling pas.
Untuk beberapa sajak, Zeffry seakan mau menguak takdir. Perseteruan hingga pergunjingan sejarah kelam tentang kolonialisme menjadikan karya-karyanya semakin kritis. Dari situ sajak-sajaknya lekat dengan masa lalu, masa kini, dan mungkin saja masa depan.
Sajak berjudul Kapan Kau Datang Lagi, Jaap?, misalnya, begitu kuat dengan upaya untuk mengingat kembali sebuah peristiwa bersejarah. Ia menuliskan puisi itu sebagai sebuah refleksi atas peringatan 410 tahun VOC, pemerintah jajahan Hindia Belanda, dan kemerdekaan RI.
Perihal sejarah, Zeffry memasukkan pertanyaan ‘kapan’ sebagai kata pertama dalam bait pertamanya. Dia mencoba untuk bermain secara liar sehingga menghasilkan sajak yang utuh, tetapi butuh jawaban dari orang yang membaca.
'Kapan kau datang lagi, Jaap? Sebab kau pernah berjanji: ‘Vaarwel, tot betere tijden.’ Kami sabar menunggu Kau tinggalkan kami Seperti seorang ibu meninggalkan anaknya di pintu gereja Itu masih bagus Sesungguhnya kau meninggalkan kami di tengah hutan tanpa perbekalan Kami sadar, kau perlu bezoek (besuk) ibumu yang sedang sakit keras Kakimu begitu berat melangkah seakan sepatumu terpaku Setelah itu, kita tidak pernah lagi bertemu....' Referensi
Terlepas dari penafsiran akan sejarah yang tertuang lewat sajak, ada yang menjadikan sajak-sajak Zeffry cukup berbobot. Dia bahkan menggunakan referensi untuk ‘berpetualang’ dalam menafsirkan setiap kota sebagai 'objek'.
Dia memasukkan nama kota dan tahun di judul-judul sajak untuk mengingatkan kembali sejarah yang terjadi di luar sana. Itu bisa dilihat pada sajak Roma, 290-305. Sajak itu berbunyi, 'Sajak zaman Apostolik orang Kristen menjadi semut Tak habis-habis bersarang di lorong-lorong bawah tanah Menghindar injakan kaki Diocletianus Menunggu lama untuk bernapas lega dalam Basilica'.
Jika menengok bait demi baik dalam sajak tersebut, Zeffry begitu kuat dalam menggunakan referensi. Latar belakang pendidikannya, sastra Rusia, kajian wilayah Amerika, dan ilmu sejarah sangat memengaruhi setiap karyanya.
Persoalan referendum yang terjadi di Timor Timur, misalnya, juga ia hadirkan lewat karya Timor Timur, 1998-1999. Sajak itu berbunyi, 'Seperti pengungsi India dan Pakistan di tahun 1947-1948 Hanya tinggal nyawa terikat di badan Kini Lorosae tercinta pun disimpan dalam peti Tapi sering dilafalkan oleh mereka diam-diam dalam misa hati....' Penggunaan nama kota dan negara begitu lekat dalam sajak-sajak di bagian kedua. Penamaan dalam sejarah memang sangat penting.
Jauh sebelumnya, Paul Ricoeur (1913–2005), seorang filsuf Prancis, pernah mengingatkan. Bahasa orang biasanya berbentuk rule-governed (taat asas), sedangkan bahasa para penyair dapat menjadi rule-changing (menciptakan asas).
Zeffry berhasil menciptakan asas, meski harus bersumber pada kunjungan referensi sejarah semata. (M-1)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 31 Maret 2013
PENYAIR Zeffry Alkatiri tampak kebingungan saat hendak membacakan sebuah puisi karyanya di depan audiens. Lelaki berperawakan sederhana itu terlihat membolak-balik beberapa halaman dalam buku terbarunya berjudul Post Kolonial & Wisata Sejarah dalam Sajak.
Dia hanya nyengir. Sejurus, Zeffry langsung meletakkan bukunya di atas meja. “Maaf, saya tidak bisa (melihat huruf-huruf) dalam buku ini. Saya lupa membawa kacamata,” ucapnya, sopan, sambil bergegas duduk.
Acara diskusi yang berlangsung di Gedung Salihara, Jakarta Selatan, awal pekan ini, cukup sederhana. Zeffry boleh menjadi ‘raja’ karena menjadi titik sentral malam itu. Karya-karyanya diulas dan dikaji secara historis dan objektif.
Lelaki 54 tahun itu menghadirkan sajak-sajak dalam dua bagian. Bagian pertama, Post Kolonial, berisikan 21 sajak. Dia seakan ingin mengingatkan pembaca tentang sekelumit problem yang terjadi di era-era penting dalam sejarah bangsa ini.
Bahkan, keliaran Zeffry mampu ‘berwisata’ ke berbagai penjuru dunia sehingga dia juga menghadirkan 96 sajak di bagian kedua, Wisata Sejarah. Itu patut mendapat apresiasi, terutama pada proses kreatif Zeffry dalam menulis.
Dia menggunakan pendekatan historis dengan empat dari lima pertanyaan utama, yaitu apa, siapa, kapan, dan di mana. Pertanyaan ‘bagaimana’ tidak dia jabarkan. Hal itu sengaja dilakukan agar pembaca yang menilai dan mengkritik karya-karya tersebut.
Itulah kreativitas yang seakan keluar jalur. Ia cukup berbeda dari kebanyakan penyair yang acap kali harus berlama-lama berpikir hanya untuk mendapatkan kata-kata yang paling pas.
Untuk beberapa sajak, Zeffry seakan mau menguak takdir. Perseteruan hingga pergunjingan sejarah kelam tentang kolonialisme menjadikan karya-karyanya semakin kritis. Dari situ sajak-sajaknya lekat dengan masa lalu, masa kini, dan mungkin saja masa depan.
Sajak berjudul Kapan Kau Datang Lagi, Jaap?, misalnya, begitu kuat dengan upaya untuk mengingat kembali sebuah peristiwa bersejarah. Ia menuliskan puisi itu sebagai sebuah refleksi atas peringatan 410 tahun VOC, pemerintah jajahan Hindia Belanda, dan kemerdekaan RI.
Perihal sejarah, Zeffry memasukkan pertanyaan ‘kapan’ sebagai kata pertama dalam bait pertamanya. Dia mencoba untuk bermain secara liar sehingga menghasilkan sajak yang utuh, tetapi butuh jawaban dari orang yang membaca.
'Kapan kau datang lagi, Jaap? Sebab kau pernah berjanji: ‘Vaarwel, tot betere tijden.’ Kami sabar menunggu Kau tinggalkan kami Seperti seorang ibu meninggalkan anaknya di pintu gereja Itu masih bagus Sesungguhnya kau meninggalkan kami di tengah hutan tanpa perbekalan Kami sadar, kau perlu bezoek (besuk) ibumu yang sedang sakit keras Kakimu begitu berat melangkah seakan sepatumu terpaku Setelah itu, kita tidak pernah lagi bertemu....' Referensi
Terlepas dari penafsiran akan sejarah yang tertuang lewat sajak, ada yang menjadikan sajak-sajak Zeffry cukup berbobot. Dia bahkan menggunakan referensi untuk ‘berpetualang’ dalam menafsirkan setiap kota sebagai 'objek'.
Dia memasukkan nama kota dan tahun di judul-judul sajak untuk mengingatkan kembali sejarah yang terjadi di luar sana. Itu bisa dilihat pada sajak Roma, 290-305. Sajak itu berbunyi, 'Sajak zaman Apostolik orang Kristen menjadi semut Tak habis-habis bersarang di lorong-lorong bawah tanah Menghindar injakan kaki Diocletianus Menunggu lama untuk bernapas lega dalam Basilica'.
Jika menengok bait demi baik dalam sajak tersebut, Zeffry begitu kuat dalam menggunakan referensi. Latar belakang pendidikannya, sastra Rusia, kajian wilayah Amerika, dan ilmu sejarah sangat memengaruhi setiap karyanya.
Persoalan referendum yang terjadi di Timor Timur, misalnya, juga ia hadirkan lewat karya Timor Timur, 1998-1999. Sajak itu berbunyi, 'Seperti pengungsi India dan Pakistan di tahun 1947-1948 Hanya tinggal nyawa terikat di badan Kini Lorosae tercinta pun disimpan dalam peti Tapi sering dilafalkan oleh mereka diam-diam dalam misa hati....' Penggunaan nama kota dan negara begitu lekat dalam sajak-sajak di bagian kedua. Penamaan dalam sejarah memang sangat penting.
Jauh sebelumnya, Paul Ricoeur (1913–2005), seorang filsuf Prancis, pernah mengingatkan. Bahasa orang biasanya berbentuk rule-governed (taat asas), sedangkan bahasa para penyair dapat menjadi rule-changing (menciptakan asas).
Zeffry berhasil menciptakan asas, meski harus bersumber pada kunjungan referensi sejarah semata. (M-1)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 31 Maret 2013
No comments:
Post a Comment