Sunday, March 03, 2013

Perempuan dalam Sejarah Sastra Indonesia

-- Nafi’ah Al-Ma’rab

KARYA sastra selalu menyediakan ruang terbuka pada setiap objek yang diperbincangkan. Salah satu objek yang tak pernah habis menjadi sajian adalah tema perempuan di dalam sebuah karya sastra. Keberadaan perempuan sebagai salah satu menu tema yang paling banyak dipilih oleh sebagai karya sastra telah mendorong lahirnya banyak penelitian terhadap karya sastra bertema perempuan.

Ada banyak penelitian yang telah dilakukan terhadap perspektif perempuan di dalam sebuah karya sastra. Sebut saja penelitian yang dilakukan oleh Tineke Hellwig dalam bukunya yang berjudul ‘’In the Shadow of Change’’: ‘’Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia’’ yang mengangkat citra perempuan Indonesia dalam karya prosa fiksi Indonesia mulai zaman sebelum perang hingga tahun 80-an yang ditinjau dari berbagai sudut pandang terutama dari segi sosiologi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya pergeseran peran perempuan sebagai jenis kelamin kedua di tengah masyarakat.

Penelitian lain dilakukan oleh Elis Suryani NS dan kawan-kawan yang melakukan kajian terhadap kedudukan perempuan di dalam karya sastra Sunda. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa motif tingkah laku tampak pada tokoh wanita sebagai sosok wanita tradisional Sunda.

Dalam hubungannya dengan latar, cara, dan tujuan dilakukannya suatu perbuatan atau tindakan, diperoleh sifat dasar, yaitu keterkaitan wanita akan lingkungannya. Tokoh wanita lebih menunjukan sikap reaktif. Dengan kelabilan hati serta potensinya yang emosional, mereka lebih mudah terpengaruh lingkungannya.

Di dalam sejarah kesusatraan Indonesia, roman Siti Nurbaya merupakan novel pertama yang mampu membuka cakrawala sastra Indonesia mengenai dunia perempuan. Selanjutnya disusul dengan novel Layar Terkembang yang juga mengangkat tema emansipasi perempuan. Di tahun-tahun berikutnya muncul karya-karya lain yang mulai nyaman membincangkan tema perempuan seperti La Barka, Burung-burung Manyar, Saman dan sebagainya.

Di samping novel, tema perempuan juga menghiasi karya-karya cerpen terkenal nusantara, di antaranya adalah ‘’Ni Iyik’’ karya Hamka, ‘’Rukmini’’ karya Suwarsih Djojopuspito, ‘’Tandus’’ karya S Rukiah Kertapati, ‘’Keluarga Gerilya’’ karya Pramoedya Ananta Toer, tahun 1950-1960, ‘’Kemenangan Ibuku’’ karya Abas Kartadinata, ‘’Perawan Tua’’, dan ‘’Pantai Menghilang’’ karya Subagio Sastrowardojo, ‘’Keputusan di Pagi Hari’’ karya Terbit Sembiring, ‘’Bawuk dan Marti’’ karya Umar Kayam, ‘’Kecubung Pengasihan’’, ‘’Rintrik’’, ‘’Salome’’, ‘’Armagedon’’, ‘’Berhala’’, ‘’Dinding Ibu’’, dan ‘’Pelajaran Pertama Seorang Wartawan’’ karya Danarto. Kumpulan Cerpen Nh Dini Dua Dunia, kumpulan Perjuangan dan Hati Perempuan karya Titi Said, kumpulan Cerpen Mereka Bilang Aku Monyet, kumpulan cerpen Namaku Massa dan sebagainya.

Rasionalisasi Pemilihan Tema Perempuan dalam Karya Sastra
Ibarat makanan, perempuan menjadi salah satu suguhan menu hidangan yang tak pernah basi dan selalu dicari para peminat karya sastra. Perempuan bahkan terkadang menjadi icon nilai komersil penjualan karya sastra. Hal ini bisa kita lihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang selalu melulu menjadikan sketsa perempuan sebagai gambaran fisik. Mengapa perempuan menjadi sebuah menu yang seolah tak pernah basi? Ada beberapa jawaban yang bisa dijadikan alibi, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Perempuan sebagai objek yang kaya akan estetika
Perempuan bukan hanya bernilai estetis secara fisik, setiap ruang gerak, tutur kata dan perangai perempuan identik dengan nilai estetika. Nilai inilah yang kemudian menjadi titik temu yang sangat pas antara sebuah karya sastra sebagai karya estetika dengan objek perempuan tersebut. Maka tak heran jika seorang penulis karya sastra tak pernah alpa memasukkan tema-tema perempuan meskipun hanya sebatas tema sekunder atau tersier. Sebab disanalah kelengkapan nuansa estetika itu bisa dirasakan. Mereka yang terlalu mengagumi secara sempurna kesan keindahan pada perempuan bahkan tak jarang mengemukakan keindahan perempuan secara fisik dan batin di dalam karya-karyanya.

2. Konsumen sastra dari kaum perempuan yang cukup dominan
Tak bisa dimungkiri bahwa para konsumen karya sastra dari kaum perempuan menduduki jumlah angka yang cukup besar. Kedekatan emosional yang ingin dibangun seorang penulis terhadap para pembaca akan diupayakan semaksimal mungkin sehingga tidak ada jarak antara keduanya.

Dengan demikian, pembaca seolah akan kecanduan dengan sebuah tema yang sudah mengikat emosinya. Sebagai contoh, seorang perempuan akan merasa lebih tergugah emosionalnya ketika membaca sebuah karya sastra bertema poligami dalam sebuah pernikahan. Berbagai latar belakang, segmentasi usia, perbedaan status sosial kaum perempuan di tengah masyarakat berikut segala permasalahan hidup yang dihadapinya merupakan model ide dari sebuah karya sastra yang selalu menarik untuk digali.

3. Perempuan yang memiliki permasalahan komprehensif.
Terlepas dari nilai estetika yang dimilikinya, perempuan juga menyisakan beragam persoalan hidup yang tak pernah habis diperbincangkan dan tak kunjung terselesaikan secara tuntas. Karya sastra terkadang menjadi ruang alternatif penyelesaian masalah-masalah tersebut melalui beragam ide-ide kreatif seorang penyaji karya sastra. Sastra menjadi ruang tanpa batas untuk mengekspresikan dan mendeskripsikan persoalan perempuan yang mungkin sulit diungkapkan secara formal.

Perempuan sebagai hidangan karya sastra yang tak pernah basi semakin diperkuat dengan lahirnya para penulis perempuan yang secara gigih memperjuangkan karakter perempuan di dalam karya-karyanya. Persuasif penokohan yang dilakukan oleh seorang penulis perempuan tentunya merupakan perspektif perempuan yang memberi kekuatan pada karakter sebenar tokoh seorang perempuan. Hal ini tentu saja menjadi kabar gembira bagi kaum perempuan itu sendiri, dimana ia mampu terepresentasikan secara lebih sempurna melalui imajinasi para penulis perempuan. n

Nafi’ah Al-Ma’rab,  Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 3 Maret 2013

No comments: