-- Iwan Nurdaya-Djafar
TEMA puisi bisa beraneka warna. Ada penyair yang menulis tentang daun gugur, ihwal kerinduannya terhadap Tuhan, perihal asyik-masyuknya percintaan, dan entah apa lagi. Tapi di tangan Muhammad Ali, seorang petinju peraih gelar Juara Tinju Kelas Berat Dunia sebanyak tiga kali yang rupanya berbakat menulis puisi, dia mengacungkan tinju sebagai tema puisi. Maka jadilah apa yang disebutnya puisi tinju!
Ali mulai menulis puisi tinju buat kali pertama ketika dia bertanding tinju dengan Archie Moore:
Kala kau datang untuk bertanding
Jangan tutup jalanan di antara deretan tempat duduk
Dan jangan tutup pintu
Karena kau benar-benar bisa pulang
Setelah empat ronde.
Puisi bernada ramalan itu ternyata memang terbukti. “Aku menang bertanding tinju pada ronde keempat, seperti yang ingin aku ramalkan,” tandas Ali, seraya menimpali, “ dan melampaui tahun demi tahun, tujuh belas dari dua puluh satu ramalanku terbukti. Itu sebuah mukjizat. Aku tak tahu bagaimana aku melakukannya. Aku mulai membuat ramalan-ramalan untuk menjual tiket dan ramalan-ramalanku mulai terbukti.”
Sepulang dari Olympiade Roma yang dalamnya Muhammad Ali berhasil meraih gelar Juara Tinju Kelas Berat Dunia untuk kali pertama, setiba di Louisville kampung halamannya, berjalan ke luar pesawat seraya memakai medali emas, di hadapan ibu, ayah, adik lelakinya serta pers dan rombongan kecil dia membaca keras-keras agar semua mendengar apa yang akan menjadi puisi tinjunya yang pertama diterbitkan. Dia memberinya judul:
Bagaimana Cassius Mengambil Roma
Menjadikan Amerika yang terbesar adalah tujuanku
Maka aku pukul orang Rusia, dan kupukul orang Polandia,
Dan demi Amerika Serikat yang memenangi Medali Emas.
Orang-orang Italia berkata, “Kau lebih besar daripada Cassius Lama.”
Kami suka namamu, kami suka pertandinganmu,
Maka jadikan Roma rumahmu jika kausudi.
Aku bilang aku menghargai keramahtamahanmu yang baik hati,
Namun Amerika Serikat tetaplah negaraku,
Karena mereka sedang menunggu tuk menyambutku di Louisville.
Casius Marcellus Clay adalah nama lama Muhammad Ali sebelum dia memeluk agama Islam Sunni, nama yang diberikan Elijah Muhammad, pemimpin Nation of Islam, organisasi kaum Muslim Negro, yang oleh pers Amerika secara sinis disebut Black Muslim dan sekte pembenci kulit putih. Muhammad berarti yang terpuji dan Ali berarti sangat tinggi. Ali sendiri tidak menyukai nama lamanya seperti dituturkannya berikut ini, “Bahkan namaku sendiri, Cassius Marcellus Clay, bukan benar-benar namaku. Marcellus Clay adalah seorang pria kulit putih dari Kentucky yang memiliki para budak. Maka, aku dinamai menurut seorang pemilik budak, dan bagiku namaku mewakili ratusan tahun ketidakadilan dan perbudakan.”
Aku yang Terbesar!
Pada 25 Februari 1964, Ali yang masih memakai nama (Cassius Marcellus) Clay bertanding tinju melawan Sonny Liston. Sebelum pertandingan itu, dia menulis sebuah puisi tentang bagaimana dia akan memukul Liston. Puisi tersebut semula ditulis dalam bahasa Inggris di bawah titel “I am the Greatest” yang terjemahan Indonesianya kita sajikan di bawah tajuk ‘Aku yang Terbesar.”
Aku yang Terbesar
Clay menyatakan diri untuk menghadapi Liston
Dan Liston mulai mundur
Pabila Liston mundur lebih jauh lagi
Dia akan berakhir di kursi pinggir gelanggang
Clay mengayunkan tangan kiri
Clay mengayunkan tangan kanan
Saksikanlah Cassius nan muda
Memenangi pertandingan tinju
Liston terus menerus mundur
Namun tak cukup ruang di sana
Tinggal persoalan waktu
Sebelum Clay menurunkan ledakan
Kini Clay mengayunkan tangan kanan
Satu ayunan nan indah nian
Dan pukulan menyebabkan beruang itu
Meninggalkan gelanggang
Liston masih tegak
Dan sang wasit mengerutkan dahi
Karena dia tak memulai hitungan
Sampai Sonny turun ke bawah
Kini Sonny lenyap dari pandangan
Kerumunan itu kalut
Tapi di luar stasiun radar menangkap dirinya
Di manapun dia di atas Atlantik
Yang akan berpikir
Ketika mereka menonton pertandingan tinju
Karena mereka menyaksikan peluncuran
Satelit manusia
Ya kerumunan itu tak bermimpi
Saat mereka korbankan uang mereka
Karena akan mereka lihat
Gerhana total Sonny.
Akulah yang Terbesar!
Terbukti, Ali memenangi kejuaraan kelas berat dunia pada ronde ketujuh. Itulah kali pertama Ali menjadi juara dunia tinju kelas berat. Terhadap hal itu, Ali berkomentar, “Aku baru saja memasuki usia dua puluh dua, dan ramalanku menjadi juara dunia pada usia dua puluh satu salah dengan hanya beberapa minggu. Aku tahu bahwa aku pasti menjadi yang terbesar, dan aku tak menghabiskan waktu yang manapun untuk menyatakan kepada dunia.”
Kemenangan Ali tak lepas dari kedekatannya dengan Tuhan. Setelah pertandingan yang berhasil mengalahkan Liston itu, Howard Cosell naik ke atas gelanggang dan bertanya padanya apakah pelatih Angelo Dundee telah memberinya rencana pertandingannya. Atas pertanyaan itu Ali berujar, “Aku bilang tidak, karena aku tahu aku menguasai Liston sejak ronde pertama karena Tuhan Yang Mahakuasa ada bersamaku.”
Kedekatan Ali dengan Tuhan memang melambari keyakinan dan kemampuannya di dalam mengalahkan lawannya bertinju, seperti termaktub pada puisinya berikut ini:
Aku berdoa kepada Tuhan setiap hari
Jika Tuhan ada bersamaku
Tak seorang pun bisa mengalahkanku,
Dalam puisi lain, Ali mencatat kesannya atas sejumlah pertandingan untuk meraih medali emas seperti tersaji di bawah ini:
Pertandingan Emasku
Dari semua orang yang aku tandingi
Liston yang paling menakutan.
Foreman yang paling kuat.
Patterson yang paling piawai.
Yang paling keras adalah Joe Frazier.
Ali adalah petinju istimewa, selain tampan dan bermulut besar. “Selagi aku muda, aku tak pernah berpikir tentang efek sindiran dan pembualanku terhadap orang-orang. Aku terlampau sibuk menjual tiket, berkeluyuran, dan berusaha mengembangkan pertandingan tinjuku dengan aset terbesar mulutku! Aku tak pernah memedulikan lawan bicara secara serius. Itu pemain pertunjukan belaka, yang kuperlajari dari orang terbaik, juara gulat Gorgeous George. Demikianlah yang terjadi manakala aku benar-benar mulai berteriak, ‘Aku tampan, akulah yang terbesar. Aku tak bisa dipukul, aku yang tercepat di atas dua kaki, dan aku mengambang laksana seekor kupu-kupu dan menyengat seumpama seekor lebah,’” tandasnya.
Ali bukan sekadar bertinju. Baginya, pertandingan tinju memiliki suatu tujuan yang lebih mulia, apalagi saat itu Amerika Serikat masih menerapkan politik segregasi terhadap warga kulit hitam. “Aku bertanding tinju untuk meraih gelar kelas berat dunia agar aku bisa ke luar di jalanan dan menuturkan pikiranku. Aku ingin mendatangi orang-orang, yang pengangguran, pemakai obat-obatan terlarang, dan kemiskinan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Aku ingin menjadi seorang juara yang memiliki akses kepada setiap orang. Aku berharap mengilhami orang lain untuk mengendalikan hidup mereka dan hidup dengan rasa bangga dan ketetapan hati. Menurutku mungkin jika mereka melihat bahwa aku menjalani hidupku sesuai cara yang kupilih untuk menjalaninya – tanpa rasa takut dan dengan ketetapan hati – mereka mungkin berani mengambil risiko yang bisa membuat mereka bebas,” ujar Ali.
Betapapun berharganya tinju bagi Ali, toh dia menghayatinya sebagai pekerjaan belaka sebagaimana kawanan burung terbang, rumputan tumbuh, dan ombak memukul-mukul pasir, seperti terekam dalam puisinya berikut ini:
Ini hanya pekerjaan.
Kawanan burung terbang.
Rumputan tumbuh.
Ombak memukul-mukul pasir.
Aku memukul orang.
Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Maret 2013
TEMA puisi bisa beraneka warna. Ada penyair yang menulis tentang daun gugur, ihwal kerinduannya terhadap Tuhan, perihal asyik-masyuknya percintaan, dan entah apa lagi. Tapi di tangan Muhammad Ali, seorang petinju peraih gelar Juara Tinju Kelas Berat Dunia sebanyak tiga kali yang rupanya berbakat menulis puisi, dia mengacungkan tinju sebagai tema puisi. Maka jadilah apa yang disebutnya puisi tinju!
Ali mulai menulis puisi tinju buat kali pertama ketika dia bertanding tinju dengan Archie Moore:
Kala kau datang untuk bertanding
Jangan tutup jalanan di antara deretan tempat duduk
Dan jangan tutup pintu
Karena kau benar-benar bisa pulang
Setelah empat ronde.
Puisi bernada ramalan itu ternyata memang terbukti. “Aku menang bertanding tinju pada ronde keempat, seperti yang ingin aku ramalkan,” tandas Ali, seraya menimpali, “ dan melampaui tahun demi tahun, tujuh belas dari dua puluh satu ramalanku terbukti. Itu sebuah mukjizat. Aku tak tahu bagaimana aku melakukannya. Aku mulai membuat ramalan-ramalan untuk menjual tiket dan ramalan-ramalanku mulai terbukti.”
Sepulang dari Olympiade Roma yang dalamnya Muhammad Ali berhasil meraih gelar Juara Tinju Kelas Berat Dunia untuk kali pertama, setiba di Louisville kampung halamannya, berjalan ke luar pesawat seraya memakai medali emas, di hadapan ibu, ayah, adik lelakinya serta pers dan rombongan kecil dia membaca keras-keras agar semua mendengar apa yang akan menjadi puisi tinjunya yang pertama diterbitkan. Dia memberinya judul:
Bagaimana Cassius Mengambil Roma
Menjadikan Amerika yang terbesar adalah tujuanku
Maka aku pukul orang Rusia, dan kupukul orang Polandia,
Dan demi Amerika Serikat yang memenangi Medali Emas.
Orang-orang Italia berkata, “Kau lebih besar daripada Cassius Lama.”
Kami suka namamu, kami suka pertandinganmu,
Maka jadikan Roma rumahmu jika kausudi.
Aku bilang aku menghargai keramahtamahanmu yang baik hati,
Namun Amerika Serikat tetaplah negaraku,
Karena mereka sedang menunggu tuk menyambutku di Louisville.
Casius Marcellus Clay adalah nama lama Muhammad Ali sebelum dia memeluk agama Islam Sunni, nama yang diberikan Elijah Muhammad, pemimpin Nation of Islam, organisasi kaum Muslim Negro, yang oleh pers Amerika secara sinis disebut Black Muslim dan sekte pembenci kulit putih. Muhammad berarti yang terpuji dan Ali berarti sangat tinggi. Ali sendiri tidak menyukai nama lamanya seperti dituturkannya berikut ini, “Bahkan namaku sendiri, Cassius Marcellus Clay, bukan benar-benar namaku. Marcellus Clay adalah seorang pria kulit putih dari Kentucky yang memiliki para budak. Maka, aku dinamai menurut seorang pemilik budak, dan bagiku namaku mewakili ratusan tahun ketidakadilan dan perbudakan.”
Aku yang Terbesar!
Pada 25 Februari 1964, Ali yang masih memakai nama (Cassius Marcellus) Clay bertanding tinju melawan Sonny Liston. Sebelum pertandingan itu, dia menulis sebuah puisi tentang bagaimana dia akan memukul Liston. Puisi tersebut semula ditulis dalam bahasa Inggris di bawah titel “I am the Greatest” yang terjemahan Indonesianya kita sajikan di bawah tajuk ‘Aku yang Terbesar.”
Aku yang Terbesar
Clay menyatakan diri untuk menghadapi Liston
Dan Liston mulai mundur
Pabila Liston mundur lebih jauh lagi
Dia akan berakhir di kursi pinggir gelanggang
Clay mengayunkan tangan kiri
Clay mengayunkan tangan kanan
Saksikanlah Cassius nan muda
Memenangi pertandingan tinju
Liston terus menerus mundur
Namun tak cukup ruang di sana
Tinggal persoalan waktu
Sebelum Clay menurunkan ledakan
Kini Clay mengayunkan tangan kanan
Satu ayunan nan indah nian
Dan pukulan menyebabkan beruang itu
Meninggalkan gelanggang
Liston masih tegak
Dan sang wasit mengerutkan dahi
Karena dia tak memulai hitungan
Sampai Sonny turun ke bawah
Kini Sonny lenyap dari pandangan
Kerumunan itu kalut
Tapi di luar stasiun radar menangkap dirinya
Di manapun dia di atas Atlantik
Yang akan berpikir
Ketika mereka menonton pertandingan tinju
Karena mereka menyaksikan peluncuran
Satelit manusia
Ya kerumunan itu tak bermimpi
Saat mereka korbankan uang mereka
Karena akan mereka lihat
Gerhana total Sonny.
Akulah yang Terbesar!
Terbukti, Ali memenangi kejuaraan kelas berat dunia pada ronde ketujuh. Itulah kali pertama Ali menjadi juara dunia tinju kelas berat. Terhadap hal itu, Ali berkomentar, “Aku baru saja memasuki usia dua puluh dua, dan ramalanku menjadi juara dunia pada usia dua puluh satu salah dengan hanya beberapa minggu. Aku tahu bahwa aku pasti menjadi yang terbesar, dan aku tak menghabiskan waktu yang manapun untuk menyatakan kepada dunia.”
Kemenangan Ali tak lepas dari kedekatannya dengan Tuhan. Setelah pertandingan yang berhasil mengalahkan Liston itu, Howard Cosell naik ke atas gelanggang dan bertanya padanya apakah pelatih Angelo Dundee telah memberinya rencana pertandingannya. Atas pertanyaan itu Ali berujar, “Aku bilang tidak, karena aku tahu aku menguasai Liston sejak ronde pertama karena Tuhan Yang Mahakuasa ada bersamaku.”
Kedekatan Ali dengan Tuhan memang melambari keyakinan dan kemampuannya di dalam mengalahkan lawannya bertinju, seperti termaktub pada puisinya berikut ini:
Aku berdoa kepada Tuhan setiap hari
Jika Tuhan ada bersamaku
Tak seorang pun bisa mengalahkanku,
Dalam puisi lain, Ali mencatat kesannya atas sejumlah pertandingan untuk meraih medali emas seperti tersaji di bawah ini:
Pertandingan Emasku
Dari semua orang yang aku tandingi
Liston yang paling menakutan.
Foreman yang paling kuat.
Patterson yang paling piawai.
Yang paling keras adalah Joe Frazier.
Ali adalah petinju istimewa, selain tampan dan bermulut besar. “Selagi aku muda, aku tak pernah berpikir tentang efek sindiran dan pembualanku terhadap orang-orang. Aku terlampau sibuk menjual tiket, berkeluyuran, dan berusaha mengembangkan pertandingan tinjuku dengan aset terbesar mulutku! Aku tak pernah memedulikan lawan bicara secara serius. Itu pemain pertunjukan belaka, yang kuperlajari dari orang terbaik, juara gulat Gorgeous George. Demikianlah yang terjadi manakala aku benar-benar mulai berteriak, ‘Aku tampan, akulah yang terbesar. Aku tak bisa dipukul, aku yang tercepat di atas dua kaki, dan aku mengambang laksana seekor kupu-kupu dan menyengat seumpama seekor lebah,’” tandasnya.
Ali bukan sekadar bertinju. Baginya, pertandingan tinju memiliki suatu tujuan yang lebih mulia, apalagi saat itu Amerika Serikat masih menerapkan politik segregasi terhadap warga kulit hitam. “Aku bertanding tinju untuk meraih gelar kelas berat dunia agar aku bisa ke luar di jalanan dan menuturkan pikiranku. Aku ingin mendatangi orang-orang, yang pengangguran, pemakai obat-obatan terlarang, dan kemiskinan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Aku ingin menjadi seorang juara yang memiliki akses kepada setiap orang. Aku berharap mengilhami orang lain untuk mengendalikan hidup mereka dan hidup dengan rasa bangga dan ketetapan hati. Menurutku mungkin jika mereka melihat bahwa aku menjalani hidupku sesuai cara yang kupilih untuk menjalaninya – tanpa rasa takut dan dengan ketetapan hati – mereka mungkin berani mengambil risiko yang bisa membuat mereka bebas,” ujar Ali.
Betapapun berharganya tinju bagi Ali, toh dia menghayatinya sebagai pekerjaan belaka sebagaimana kawanan burung terbang, rumputan tumbuh, dan ombak memukul-mukul pasir, seperti terekam dalam puisinya berikut ini:
Ini hanya pekerjaan.
Kawanan burung terbang.
Rumputan tumbuh.
Ombak memukul-mukul pasir.
Aku memukul orang.
Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Maret 2013
No comments:
Post a Comment