SALAH satu sudut ruangan Galeri Langgeng Art Foundation (LAF), Yogyakarta, terlihat ramai. Beberapa pelukis dari Indonesia dan Malaysia duduk melingkar bersama orang-orang yang hadir dan berbagi cerita tentang perjalanan di balik Nafas Residensi Showcase 2012, Kamis (14/3).
Residensi merupakan program pertukaran seniman antarnegara dan di Nafas Residensi Showcase 2012 ini, ada 3 seniman dari Indonesia dan 3 seniman dari Malaysia. Mereka berkarya dari pengalaman yang mereka dapatkan selama proses residensi.
Rocka Radipa, 37, ialah pelukis dari Indonesia yang ikut dalam program menggambarkan betapa dihargainya seorang seniman di negara Malaysia. Ia merasakan benar adanya dukungan penuh dari pemerintah dan lembaga swasta saat menjalani program.
Itu berbeda dengan di Indonesia yang pemerintahnya kurang apresiatif dan kurang memperhatikan seniman. Ia merasa banyak sekali seniman di beberapa daerah yang piawai, tapi mereka kesulitan memperoleh apresiasi karya seni. “Jujur, yang saya ungkapkan itu," ujar Rocka.
Namun Indonesia, menurutnya, lebih unggul karena memiliki banyak seniman berbakat. Mereka juga mampu menghasilkan karya yang kaya imajinasi dan sangat kreatif. Hal itu lebih disebabkan sejarah Indonesia yang memiliki kultur seni tinggi sejak dahulu kala, termasuk seniman Raden Saleh yang sudah kondang.
Ia mencontohkan berkesenian di Indonesia terutama di Yogyakarta memiliki gairah yang tinggi. Hal itu juga diakui Mariana Saleh, pelukis dari Malaysia yang ikut dalam program Nafas Residensi.
“Betul, saya mendapatkan kekuatan kembali untuk berkarya di Indonesia, terutama di Yogyakarta,” aku Mariana kepada Media Indonesia.
Selama berada di Indonesia, Mariana mengaku hanya konsen pada karya-karyanya sehingga belum bisa merasakan support dan apresiasi pemerintah Indonesia terhadap seni. Namun, ia mengakui pemerintah negaranya sangat memperhatikan seniman terutama dalam hal pendokumentasian karya.
“Memang, saya sendiri melihat adanya perbedaan hal itu. Penghargaan terhadap karya seni di Malaysia lebih tinggi daripada di Indonesia,” kata Rusnoto Susanto, kurator Nafas Residensi Showcase 2012.
Di Malaysia, ujar Rusnoto, karya-karya seni yang dihasilkan didokumentasikan secara rapi. Mereka yang berkarya juga diapresiasi sehingga mampu hidup dari berkesenian.
Karya dua negara
Di LAF, mereka yang hadir tak hanya bisa mendapatkan cerita dari enam seniman dua negara. Mereka juga bisa melihat langsung karya-karya yang para seniman itu hasilkan dari proses Nafas Residensi Showcase 2012, yang dipamerkan hingga 24 Maret. Umumnya karya yang dipajang menceritakan apa yang mereka dapatkan.
Seperti Mariana, ia melukis seorang anak lelaki yang tak lain ialah anaknya sendiri. Dalam lukisannya yang berjudul Mimpi Biru di Jogja, Mariana ingin mengatakan betapa nyaman hidup di Yogyakarta.
Karya seniman Malaysia lainnya misalnya lukisan Ruzzeki Harris yang melukiskan pernak-pernik Yogyakarta berjudul Gurih. Di lukisan itu, Harris menceritakan gorengan atau makanan kecil yang biasa dijajakan di sepanjang jalan. Di lukisan itu terdapat seorang berkacamata dan beberapa cabai serta tempe yang seolah siap disantap.
Devie Triasari, manajer Nafas, mengaku dengan diadakannya program Nafas Residensi Showcase 2012, semoga kebebasan ekspresi dalam keragaman budaya makin maju.
Tak kalah penting ialah apresiasi seni semakin meningkat, geliat kesenian tak hanya dirasakan di perkotaan, dan Asia Tenggara menjadi bagian dari seniman dunia. (FU/M-1
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 Maret 2013
Residensi merupakan program pertukaran seniman antarnegara dan di Nafas Residensi Showcase 2012 ini, ada 3 seniman dari Indonesia dan 3 seniman dari Malaysia. Mereka berkarya dari pengalaman yang mereka dapatkan selama proses residensi.
Rocka Radipa, 37, ialah pelukis dari Indonesia yang ikut dalam program menggambarkan betapa dihargainya seorang seniman di negara Malaysia. Ia merasakan benar adanya dukungan penuh dari pemerintah dan lembaga swasta saat menjalani program.
Itu berbeda dengan di Indonesia yang pemerintahnya kurang apresiatif dan kurang memperhatikan seniman. Ia merasa banyak sekali seniman di beberapa daerah yang piawai, tapi mereka kesulitan memperoleh apresiasi karya seni. “Jujur, yang saya ungkapkan itu," ujar Rocka.
Namun Indonesia, menurutnya, lebih unggul karena memiliki banyak seniman berbakat. Mereka juga mampu menghasilkan karya yang kaya imajinasi dan sangat kreatif. Hal itu lebih disebabkan sejarah Indonesia yang memiliki kultur seni tinggi sejak dahulu kala, termasuk seniman Raden Saleh yang sudah kondang.
Ia mencontohkan berkesenian di Indonesia terutama di Yogyakarta memiliki gairah yang tinggi. Hal itu juga diakui Mariana Saleh, pelukis dari Malaysia yang ikut dalam program Nafas Residensi.
“Betul, saya mendapatkan kekuatan kembali untuk berkarya di Indonesia, terutama di Yogyakarta,” aku Mariana kepada Media Indonesia.
Selama berada di Indonesia, Mariana mengaku hanya konsen pada karya-karyanya sehingga belum bisa merasakan support dan apresiasi pemerintah Indonesia terhadap seni. Namun, ia mengakui pemerintah negaranya sangat memperhatikan seniman terutama dalam hal pendokumentasian karya.
“Memang, saya sendiri melihat adanya perbedaan hal itu. Penghargaan terhadap karya seni di Malaysia lebih tinggi daripada di Indonesia,” kata Rusnoto Susanto, kurator Nafas Residensi Showcase 2012.
Di Malaysia, ujar Rusnoto, karya-karya seni yang dihasilkan didokumentasikan secara rapi. Mereka yang berkarya juga diapresiasi sehingga mampu hidup dari berkesenian.
Karya dua negara
Di LAF, mereka yang hadir tak hanya bisa mendapatkan cerita dari enam seniman dua negara. Mereka juga bisa melihat langsung karya-karya yang para seniman itu hasilkan dari proses Nafas Residensi Showcase 2012, yang dipamerkan hingga 24 Maret. Umumnya karya yang dipajang menceritakan apa yang mereka dapatkan.
Seperti Mariana, ia melukis seorang anak lelaki yang tak lain ialah anaknya sendiri. Dalam lukisannya yang berjudul Mimpi Biru di Jogja, Mariana ingin mengatakan betapa nyaman hidup di Yogyakarta.
Karya seniman Malaysia lainnya misalnya lukisan Ruzzeki Harris yang melukiskan pernak-pernik Yogyakarta berjudul Gurih. Di lukisan itu, Harris menceritakan gorengan atau makanan kecil yang biasa dijajakan di sepanjang jalan. Di lukisan itu terdapat seorang berkacamata dan beberapa cabai serta tempe yang seolah siap disantap.
Devie Triasari, manajer Nafas, mengaku dengan diadakannya program Nafas Residensi Showcase 2012, semoga kebebasan ekspresi dalam keragaman budaya makin maju.
Tak kalah penting ialah apresiasi seni semakin meningkat, geliat kesenian tak hanya dirasakan di perkotaan, dan Asia Tenggara menjadi bagian dari seniman dunia. (FU/M-1
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 Maret 2013
No comments:
Post a Comment