LEWAT sajak, napas Remy Soetansyah seakan masih berhembus. Orang-orang masih memanggil dia lewat balutan sajak-sajak yang ditulis semasa hidupnya.
MENGENANG REMY SOETANSYAH. Seniman, Amien Kamil membacakan puisi berjudul Puasa di Negeri Korupsi dan Ode Linglung karya Remy Soetansyah pada malam mengenang Almarhum Remy Soetansyah di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, Kamis, (28/2). Almarhum wartawan musik senior tersebut mengembuskan napas terakhir pada Selasa (30/10/2012), di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta, dalam usia 53 tahun. MI/ATET DWI PRAMADIA
Pada malam apresiasi seni mengenang Remy di Gedung Serbaguna, Galeri Nasional, Jakarta, pertengahan pekan ini, sederet aktor dan aktris membacakan sajak-sajak karya Remy.
Suasana semakin hidup dengan sebuah poster bergambar almarhum selebar sekitar 1 meter terpajang di pinggir panggung mini. Remy pun seakan hadir malam itu. Pijaran lampu terlihat remang-remang manambah suasana intim untuk mengenang mantan wartawan, penyair, dan pencipta lagu itu.
Aktris Cornelia Agatha hadir malam itu untuk membacakan dua sajak berjudul Episode Cinta dan Anak Angin. Dia tampak santai naik ke panggung. Suaranya terdengar lantang.
Di sela-sela Cornelia membacakan puisi, pelukis Haryo Wisanggeni melukis secara kilat. Ia mencoba menafsirkan dua puisi milik Remy itu dalam lukisan.
Sepenggal sajak Anak Angin berbunyi, Segelas soda gembira dan sekerat roti sisa kemarinKuteguk perlahan-lahanKukunyah di pagi butaSeperti hari-hari yang lalu...Hidupku selalu menguap dan basi.
Sesaat Cornelia selesai membacakan dua sajak itu, tangan Haryo pun langsung setop. Sebuah lukisan bergaya ekpresionis itu pun diberi judul Bulan dan Matahari.
"Saat saya mendengar puisi, tangan saya seakan bergerak sendiri. Puisi ini sangat dalam. Ini kisah tentang emas kawin antara Remy dan Ayum," ujar Haryo, sedikit berfilosofi.
Pada lukisan itu, ia menghadirkan sebuah bunga matahari. Garis-garis kuning begitu kuat. Namun, lukisan itu tak begitu sempurna. Pasalnya, Haryo lupa membubuhi tanda tangannya di atas kanvas. "Saya harus mengejar waktu. Lima menit begitu cepat sekali," kilahnya.
Penyair Amien Kamil hadir membacakan beberapa sajak Remy. Dengan gayanya yang khas, ia mulai berteriak, bernyanyi, beringsut, hingga berdesah. Amien cukup atraktif dan penuh penjiwaan.
Ray Sahetapy juga ikut naik ke panggung. Maklum sebagai aktor kawakan, ia sudah kerap hadir membacakan puisi. "Saya akan mebacakan puisi Jamboudrou. Jamboudrou semacam kedai kopi di Aceh untuk memberikan gagasan tentang seni," ucapnya.
Pada sebuah senyum di wajah yang berkeringatTerpancar kerelaannya usai bergelut dengan nasibPada sebuah denyut kehidupan yang melesatMembersit keyakinannya yang sarat dengan harapDi JamboudrouCinta didendangkanDi JamboudrouKasih dinyalakan Di Jamboudrou air kehidupan mengalir...Hidup harus diperjuangkan.
Warisan
Malam pembacaan puisi itu dilangsungkan dengan peluncuran kumpulan puisi Ada Cowok, Ada Bunga Merah, Ada Wine, Ada Sebuah Senyum. Ada 300 puisi yang dikumpulkan sang istri (Remy), Ayum Sambuniatri.
"Saya mau duduk dekat Remy. Puisi adalah warisan paling romantis almarhum bagi kami dan sahabat," ujarnya seraya berdiri di samping poster bergambar Remy.
Dengan suara datar, Ayum terlihat sedikit gusar. Ia seakan mau menunjukkan kasih putihnya sebagai seorang istri yang tak akan pernah lenyap.
"Selamat jalan kasih tak terlupakan. Damailah bersama-Nya." Ayum sendirilah yang mengumpulkan kertas-kertas berisi onggokan syair. Ia memilah dan mengetik sendiri dalam waktu empat bulan, lalu memublikasikan secara independen.
"Ada puisi cinta, religi, kehidupan. Hampir 300 puisi yang saya dapat di rumah. Sisanya, ada lirik-lirik syair lagu," ungkapnya.
Malam mengenang Remy (1958-2012) lewat pembacaan puisi dan musikalisasi puisi cukup sederhana. Dua jam lebih, sederet aktris, aktor, dan seniman turut membacakan puisi-puisi karya Remy.
Meski jasadnya telah tiada, nama Remy masih tetap ada di mata para sahabat. Itu seperti yang ia tuliskan, 'Di Jamboudrou, cinta didendangkan'. (Iwa/M-1)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 3 Maret 2013
MENGENANG REMY SOETANSYAH. Seniman, Amien Kamil membacakan puisi berjudul Puasa di Negeri Korupsi dan Ode Linglung karya Remy Soetansyah pada malam mengenang Almarhum Remy Soetansyah di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, Kamis, (28/2). Almarhum wartawan musik senior tersebut mengembuskan napas terakhir pada Selasa (30/10/2012), di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta, dalam usia 53 tahun. MI/ATET DWI PRAMADIA
Pada malam apresiasi seni mengenang Remy di Gedung Serbaguna, Galeri Nasional, Jakarta, pertengahan pekan ini, sederet aktor dan aktris membacakan sajak-sajak karya Remy.
Suasana semakin hidup dengan sebuah poster bergambar almarhum selebar sekitar 1 meter terpajang di pinggir panggung mini. Remy pun seakan hadir malam itu. Pijaran lampu terlihat remang-remang manambah suasana intim untuk mengenang mantan wartawan, penyair, dan pencipta lagu itu.
Aktris Cornelia Agatha hadir malam itu untuk membacakan dua sajak berjudul Episode Cinta dan Anak Angin. Dia tampak santai naik ke panggung. Suaranya terdengar lantang.
Di sela-sela Cornelia membacakan puisi, pelukis Haryo Wisanggeni melukis secara kilat. Ia mencoba menafsirkan dua puisi milik Remy itu dalam lukisan.
Sepenggal sajak Anak Angin berbunyi, Segelas soda gembira dan sekerat roti sisa kemarinKuteguk perlahan-lahanKukunyah di pagi butaSeperti hari-hari yang lalu...Hidupku selalu menguap dan basi.
Sesaat Cornelia selesai membacakan dua sajak itu, tangan Haryo pun langsung setop. Sebuah lukisan bergaya ekpresionis itu pun diberi judul Bulan dan Matahari.
"Saat saya mendengar puisi, tangan saya seakan bergerak sendiri. Puisi ini sangat dalam. Ini kisah tentang emas kawin antara Remy dan Ayum," ujar Haryo, sedikit berfilosofi.
Pada lukisan itu, ia menghadirkan sebuah bunga matahari. Garis-garis kuning begitu kuat. Namun, lukisan itu tak begitu sempurna. Pasalnya, Haryo lupa membubuhi tanda tangannya di atas kanvas. "Saya harus mengejar waktu. Lima menit begitu cepat sekali," kilahnya.
Penyair Amien Kamil hadir membacakan beberapa sajak Remy. Dengan gayanya yang khas, ia mulai berteriak, bernyanyi, beringsut, hingga berdesah. Amien cukup atraktif dan penuh penjiwaan.
Ray Sahetapy juga ikut naik ke panggung. Maklum sebagai aktor kawakan, ia sudah kerap hadir membacakan puisi. "Saya akan mebacakan puisi Jamboudrou. Jamboudrou semacam kedai kopi di Aceh untuk memberikan gagasan tentang seni," ucapnya.
Pada sebuah senyum di wajah yang berkeringatTerpancar kerelaannya usai bergelut dengan nasibPada sebuah denyut kehidupan yang melesatMembersit keyakinannya yang sarat dengan harapDi JamboudrouCinta didendangkanDi JamboudrouKasih dinyalakan Di Jamboudrou air kehidupan mengalir...Hidup harus diperjuangkan.
Warisan
Malam pembacaan puisi itu dilangsungkan dengan peluncuran kumpulan puisi Ada Cowok, Ada Bunga Merah, Ada Wine, Ada Sebuah Senyum. Ada 300 puisi yang dikumpulkan sang istri (Remy), Ayum Sambuniatri.
"Saya mau duduk dekat Remy. Puisi adalah warisan paling romantis almarhum bagi kami dan sahabat," ujarnya seraya berdiri di samping poster bergambar Remy.
Dengan suara datar, Ayum terlihat sedikit gusar. Ia seakan mau menunjukkan kasih putihnya sebagai seorang istri yang tak akan pernah lenyap.
"Selamat jalan kasih tak terlupakan. Damailah bersama-Nya." Ayum sendirilah yang mengumpulkan kertas-kertas berisi onggokan syair. Ia memilah dan mengetik sendiri dalam waktu empat bulan, lalu memublikasikan secara independen.
"Ada puisi cinta, religi, kehidupan. Hampir 300 puisi yang saya dapat di rumah. Sisanya, ada lirik-lirik syair lagu," ungkapnya.
Malam mengenang Remy (1958-2012) lewat pembacaan puisi dan musikalisasi puisi cukup sederhana. Dua jam lebih, sederet aktris, aktor, dan seniman turut membacakan puisi-puisi karya Remy.
Meski jasadnya telah tiada, nama Remy masih tetap ada di mata para sahabat. Itu seperti yang ia tuliskan, 'Di Jamboudrou, cinta didendangkan'. (Iwa/M-1)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 3 Maret 2013
No comments:
Post a Comment