Penerbit pertama Indonesia yang namanya sudah tidak seterang dulu.
UDARA terasa pengap dan panas ketika memasuki ruangan Indonesian Culture Heritage di Gedung Balai Pustaka (BP), Pulo Gadung, Jakarta, awal pekan ini. Dua pendingin ruangan terpasang, tapi tidak berfungsi.
Dua petugas tampak sibuk membersihkan buku-buku kuno yang telah dilapisi plastik bening. Itu dilakukan agar kondisi buku tetap terawat dari kelembapan udara dan cuaca. "AC-nya sedang rusak," cetus General Manager Devisi Perencanaan dan Pengembangan PT Balai Pustaka (Persero) Huri Yeny.
Padahal, di ruangan itu tersimpan puluhan buku, mulai sastra adiluhung, sastra terjemahan, pantun, almanak, sejarah, buku-buku Belanda, hingga majalah Pandji Poestaka dari tahun 1910.
"Kami memiliki 6.000 koleksi buku dari cetakan awal BP. Namun, enggak mungkin kami pajang karena ruangan tidak memadai. Suhu ruangan tidak pas, padahal sangat berpengaruh pada buku," jelasnya.
Selain di ruangan itu, masih ada 400 kotak buku terbitan BP yang tersimpan di gudang. "Kita butuh waktu satu tahun untuk mengepak dan mengeluarkannya kembali, tapi sekarang sudah mau pindah lagi," ujar Yeny dengan nada sedih.
Kondisi menyedihkan itu ialah realitas dari perusahaan yang dulunya bernama Komisi untuk Bacaan Rakyat yang berdiri 14 September 1908. Padahal, BP berperan penting terhadap sastra di Indonesia.
"Dulu sastrawan menggunakan wadah yang liar sehingga 'mencubit' (memuakkan) Belanda. Kehadiran BP sangat menunjang mereka," ungkap Yeny, semangat.
Novel Salah Asuhan (1928) karya Abdoel Moeis, misalnya, mengangkat tentang tokoh Cory yang meninggal karena kolera, tapi sebenarnya tidak. "Belanda mencoba menyortir alur ceritanya. Orang BP saat itu pandai sehingga menuangkan ke kesusastraan," jelas perempuan yang sudah 18 tahun bekerja di BP.
Sejumlah karya sastra telah lahir di BP, di antaranya Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Dari Ave Maria ke Jalan lain ke Roma (Idrus), Habis Gelap Terbitlah Terang (Armijn Pane), dan Atheis (Achdiat K Mihardja), Salah Pilih (Nur St Iskandar), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (HAMKA), dan Siti Nurbaya (Marah Rusli).
Sayangnya, di masa senja, BP hampir dilikuidasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena terus merugi. Namun, akhirnya BP terselamatkan dengan diakuisisi LKBN Antara. (Iwa/M-5)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 10 Maret 2013
UDARA terasa pengap dan panas ketika memasuki ruangan Indonesian Culture Heritage di Gedung Balai Pustaka (BP), Pulo Gadung, Jakarta, awal pekan ini. Dua pendingin ruangan terpasang, tapi tidak berfungsi.
Dua petugas tampak sibuk membersihkan buku-buku kuno yang telah dilapisi plastik bening. Itu dilakukan agar kondisi buku tetap terawat dari kelembapan udara dan cuaca. "AC-nya sedang rusak," cetus General Manager Devisi Perencanaan dan Pengembangan PT Balai Pustaka (Persero) Huri Yeny.
Padahal, di ruangan itu tersimpan puluhan buku, mulai sastra adiluhung, sastra terjemahan, pantun, almanak, sejarah, buku-buku Belanda, hingga majalah Pandji Poestaka dari tahun 1910.
"Kami memiliki 6.000 koleksi buku dari cetakan awal BP. Namun, enggak mungkin kami pajang karena ruangan tidak memadai. Suhu ruangan tidak pas, padahal sangat berpengaruh pada buku," jelasnya.
Selain di ruangan itu, masih ada 400 kotak buku terbitan BP yang tersimpan di gudang. "Kita butuh waktu satu tahun untuk mengepak dan mengeluarkannya kembali, tapi sekarang sudah mau pindah lagi," ujar Yeny dengan nada sedih.
Kondisi menyedihkan itu ialah realitas dari perusahaan yang dulunya bernama Komisi untuk Bacaan Rakyat yang berdiri 14 September 1908. Padahal, BP berperan penting terhadap sastra di Indonesia.
"Dulu sastrawan menggunakan wadah yang liar sehingga 'mencubit' (memuakkan) Belanda. Kehadiran BP sangat menunjang mereka," ungkap Yeny, semangat.
Novel Salah Asuhan (1928) karya Abdoel Moeis, misalnya, mengangkat tentang tokoh Cory yang meninggal karena kolera, tapi sebenarnya tidak. "Belanda mencoba menyortir alur ceritanya. Orang BP saat itu pandai sehingga menuangkan ke kesusastraan," jelas perempuan yang sudah 18 tahun bekerja di BP.
Sejumlah karya sastra telah lahir di BP, di antaranya Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Dari Ave Maria ke Jalan lain ke Roma (Idrus), Habis Gelap Terbitlah Terang (Armijn Pane), dan Atheis (Achdiat K Mihardja), Salah Pilih (Nur St Iskandar), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (HAMKA), dan Siti Nurbaya (Marah Rusli).
Sayangnya, di masa senja, BP hampir dilikuidasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena terus merugi. Namun, akhirnya BP terselamatkan dengan diakuisisi LKBN Antara. (Iwa/M-5)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 10 Maret 2013
No comments:
Post a Comment