Sunday, March 31, 2013

[Tifa] Bianglala di Atas Kanvas

-- Iwan Kurniawan
Persoalan perselingkuhan hingga kerasnya kehidupan di Ibu Kota tersaji erat. Ada sebuah tafsiran makna yang membuat karya-karya itu begitu kuat.

SEORANG perempuan berambut terurai hanya menatap kosong ke depan. Matanya begitu sayu dan mulai berkaca-kaca. Perasaannya seakan hancur karena mendapati kekasihnya tak setia.

Di belakang perempuan itu, ada seorang perempuan lain dengan seorang lelaki sedang berpelukan. Uniknya, corak lukisan orang berpelukan itu berbeda dengan objek utama.

Namun, sesungguhnya kedua objek itu sangat berhubungan erat. Salah satunya harus merasakan sakit karena mendapati cintanya pupus. Sebuah realitas yang tersaji secara sederhana di atas kanvas. Nuansa itu tersirat jelas pada lukisan berjudul Love Song (150x200 cm) karya pelukis Halim yang dipamerkan di Zola Zolu Contemporary Art Gallery, Kemanggisan, Jakarta Barat, pertengahan pekan ini.

Halim menghadirkan teknik lukisan yang mudah dikenal dalam perkembangan seni. Salah satu unsur yang begitu khas, yaitu pada objek orang berpelukan. Dia menghadirkan distorsi sehingga tampak adanya penyederhanaan, transparansi, dan deformasi.

Dari gaya itulah, tak mengherankan jika Halim juga memasukan gaya kubisme. Ada fase analitis yang dilanjutkan dengan fase sintetis. Lewat fase kubisme analitis, misalnya, dia telah membuat pernyataan pada dimensi ruang dan waktu.

Tema dalam karya Love Song lebih variatif. Dia berani untuk meninggalkan sudut pandang yang menjadi ciri khas dalam gaya kubisme.

Namun, terlepas dari unsur kubisme itu, objek perempuan berambut terurai sebenarnya lebih condong ke gaya potrait. Sebuah penggabungan yang menghadirkan sentuhan karya kontemporer.

Pada pameran yang digelar hingga sebulan ke depan itu, sedikitnya ada 50 karya dari belasan pelukis. Para seniman yang ikut berpameran, antara lain Gunawan Hanjaya, Yohanes Dedeo, Sutopo, I Tjwan Ing, Mohammad AK, Nurdami, Agung Yuwono, Nugroho Adi, dan Udin Antara.

Agung menghadirkan karya Jakarta sang Ibu Kota (120x140 cm). Ada sebuah peta yang di atasnya terdapat sepatu hak tinggi. Latar belakang berupa bangunan tinggi dengan Tugu Monas semakin memperjelas kota yang dimaksudkan.

Sepatu sebagai simbol 'ibu', sedangkan gedung-gedung pencakar langit sebagai lambang 'sebuah kota modern'. "Peta tersebut sebagai simbol. Orang dari daerah akan berlomba-lomba untuk datang dan bekerja keras di Jakarta. Tujuannya untuk mengais rezeki," ujar Agung santai.

Berbeda dengan Ahmad Su'udhi. Sebagai kritikan kepada kehidupan warga kota besar, dia bermain dengan unsur kemewahan. Itu terlihat dalam karya berjudul Shopping Manis (150x200 cm).

Dalam karya itu, terlihat seorang ibu muda berbusana seksi sedang duduk di dalam trolley belanjaan. Uniknya, ada lima bayi yang sedang merangkak. Salah satunya sedang berusaha berdiri untuk mendorong trolley.

Persoalan dalam karya itu begitu lekat dengan simbol-simbol konsumtif. Kehadiran barang-barang bermerek masih menjadi ciri khas yang Ahmad sajikan dalam karyanya.

Perdesaan

Terlepas dari karya-karya berlatar metropolis itu, pelukis I Ketut Marra mencoba menghadirkan karya dengan gaya naturalis. Sebuah karya yang begitu menyita perhatian pengunjung, yaitu View from Munduk, Buleleng.

Karya itu mengambil nuansa alam. Ada hamparan pematang sawah, perbukitan, dan dusun kecil sekitar persawahan. Paduan warna hijau sedikit menyegarkan mata.

Ketut juga menghadirkan karya Road Through Penebel (140x207 cm).

Lagi-lagi unsur perdesaan dengan nuansa Bali begitu khas. Dia seakan mau menunjukkan nuansa alam yang masih bertahan di Bali. Sayangnya, tanpa disadari, proses modernisasi sesungguhnya telah merambah ke Penebel.

Bagi lelaki kelahiran 15 Desember 1961 itu, gaya naturalis sudah menjadi ciri khas. Apalagi, dia merupakan pengajar seni di Sekolah Seni Rupa Indonesia, Batu Bulan, Bali.

Saat mencermati dua karya tersebut, Ketut seakan ingin menujukan keagungan Tuhan. Keindahan alam semesta dan tradisi budaya Bali mampu dia wartakan lewat kanvas.

Sementara itu, kehadiran pelukis Kusmana cukup menyita perhatian. Tengok saja pada karya berjudul Hannover Landeshauptstadt, Niedersachsen (120x200 cm).

Terdapat unsur bangunan tua yang lekat dengan sejarah. Secara keseluruhan, pameran bersama ini seakan menghadirkan bianglala kehidupan. Persoalan perselingkuhan, urbanisasi, hingga budaya konsumtif menjadi sebuah realitas yang kita temukan sehari-hari.    (M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 31 Maret 2013

No comments: