-- Herry Tjahyono
FINAL Piala AFF, Indonesia melawan Malaysia, sungguh bermakna sebab dalam konteks relasi bilateral dengan mereka selama ini kita telah kalah.
Berbagai kasus tenaga kerja kita di Malaysia dengan segenap penderitaan mereka, sikap arogan Malaysia dalam banyak kasus, soal perbatasan, dan pencaplokan simbol budaya menunjukkan kekalahan kita sebagai bangsa.
Pada saat yang sama kita mengimpor habis dari Malaysia berbagai bisnis jasa: telekomunikasi, rumah sakit, sampai bank. Bangsa kita mayoritas cuma jadi karyawan biasa. Kita bukan tuan di negeri sendiri. Di Malaysia kita jadi kuli. Di negeri sendiri kita juga kuli. Martabat bangsa pecundang telah tercerabut.
Dalam ilmu ekologi ada semacam aksioma: ekosistem yang canggih akan mengeksploitasi ekosistem yang sederhana. Negara maju akan memeras negara miskin. Dan itulah yang terjadi, saudara muda yang licik, tapi lebih kaya itu memecundangi kita. Padahal, dalam dasawarsa 1970-an hingga 1980-an mereka mengimpor guru dari Indonesia. Dalam soal teroris, Malaysia justru mengekspornya ke Indonesia, dan malah tidak meneror negerinya sendiri.
Psikologi pecundang
Kita bodoh sekaligus picik. Kita babat sendiri energi klimaks yang terpendam dalam diri setiap pemain. Kita terlampau percaya diri, heboh dan bodoh mengeksploitasi sendiri para pemain nasional: ada yang mengusung agenda politik, semuanya bermuara pada sensasi dan kepentingan diri dan kelompok.
Berbagai kekalahan TKI di sana merupakan pucuk gunung es dari kekalahan kita sebagai bangsa. Selama ini kita sebagai rakyat adalah manusia yang kalah bahkan di negeri sendiri.
Selama para pemimpin, politisi, orang kaya, koruptor, aparat pemerintah, petinggi institusi cacat moral terus memainkan psikologi orang kalah dengan cara selalu berebut jadi pemenang dan tanpa nurani mengorbankan rakyat untuk jadi pecundang, psikologi orang kalah akan tetap jadi sindroma bangsa. Selama itu pula kita tetap jadi bangsa bodoh dan pecundang.
Psikologi kebangkitan
Karena itu, final Piala AFF merupakan momentum psikologi kebangkitan bangsa Indonesia. Ada beberapa perspektif kebangkitan yang perlu dibahas. Pertama, kekalahan kesebelasan Indonesia dari kesebelasan Malaysia bukanlah kekalahan kesebelasan itu sendiri, melainkan kekalahan para pemimpin, oportunis politik-ekonomi, penumpang gelap versi Effendi Gazali, atau siapa pun kita masing-masing yang suka mengeksploitasi sesama bangsa.
Kedua, sindroma bangsa akibat psikologi orang kalah membuat kita jadi bangsa yang malas mengekspresikan segenap kemampuan manusiawi terbaik. Dalam konteks ini kesebelasan nasional kita sesungguhnya pemenang sejati. Pada putaran kedua mereka mencapai pengalaman puncak sebagai ciri sebuah proses aktualisasi diri. Mengadaptasi Maslow, aktualisasi diri akan membuat manusia mencapai pengalaman puncak. Bayangkan, putaran pertama kalah 0-3. Putaran kedua kemasukan duluan 0-1. Bagi orang kebanyakan, itu masa depan suram. Namun, mereka tetap mengaktualisasikan diri sedemikian sempurna di lapangan dan membalikkan keadaan jadi menang 2–1.
Saat itu menang atau kalah tak lagi esensial. Yang lebih esensial adalah bagaimana mereka bersedia memberi serta melakukan yang terbaik dari segenap bakat dan kapasitas yang dimiliki. Dengan kinerja terbaik mereka di putaran kedua, para pemain sesungguhnya telah menjadi juara sejati. Piala tak lebih dari bonus.
Ketiga, lihatlah puluhan ribu bahkan jutaan penonton kita. Itu sungguh menggetarkan nurani, tatkala jutaan manusia berbagai suku, agama, ras, dan golongan bisa bertemu menyatukan hasrat dengan tertib hanya untuk berteriak: ”Indonesia!”
Akhirnya kita perlu bertanya: mengapa para pemain kita mampu mengaktualisasikan diri sedemikian baik dan jutaan penonton mampu berperilaku demikian menggetarkan? Hanya ada dua penjelasan. Pertama, dahaga panjang untuk bangkit dan bebas dari perasaan sebagai manusia pecundang. Semua itu bukan sekadar soal haus akan kemenangan atau juara belaka. Namun, dahaga mengembalikan martabat bangsanya.
Kedua, rasa cinta terhadap bangsa dan negaranya yang demikian tulus dan menggelora. Memang hanya cinta itu yang tersisa dalam diri mereka. Hanya cinta sehingga pemain dan penonton tetap bersedia memberikan yang terbaik di tengah keterpurukan martabat.
Para pemain dan puluhan ribu penonton itu sudah selangkah di depan pemimpinnya meneriakkan satu kata: Indonesia! Garuda itu telah terbang tinggi.
Herry Tjahyono, Terapis Budaya Perusahaan dan Sumber Daya Manusia
Sumber: Kompas, Jumat, 31 Desember 2010
No comments:
Post a Comment