Judul : Rona Budaya: Festschrift untuk Sapardi Djoko Damono
Editor : Riris K Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan HISKI, Jakarta
Cetakan : Oktober 2010
Tebal : 360 halaman
KERJA sastra, pengabdian diri dalam menyemai sastra, dan pergumulan menebar benih-benih sastra menjadikan Sapardi Djoko Damono sebagai ikon dalam kesusastraan modern di Indonesia. Puisi, esai, dan cerpen telah dipersembahkan. Hasil penelitian, buku-buku pembelajaran sastra, dan produksi sastra terjemahan turut memberi arti geliat sastra di masyarakat akademik. Sapardi menekuni diri dalam sastra, menyapa publik untuk merayakan sastra, dan memartabatkan negeri melalui agenda pembentukan kultur literasi.
Gairah sastra Sapardi selama puluhan tahun menjadi alasan untuk penerbitan buku mencakup pelbagai kajian dari kolega, murid, dan pengagum. Buku Rona Budaya sebagai bentuk buku persembahan ulang tahun ke-70 tahun Sapardi (1940—2010) merepresentasikan keuletan dan keluasan perspektif SDD dalam kajian sastra dan kultural di Indonesia. Dua puluh esai dalam buku ini lintas keilmuan: sastra, filsafat, perpustakaan, linguistik, arkeologi, dan sejarah. SDD di mata publik tak sekadar penyair. Sosok ini memberi inspirasi dan penyulut dari persemaian kajian keilmuan di ranah akademik dan masyarakat umum.
Riris K Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta (editor) menyebut bahwa publikasi buku ini diniatkan sebagai tanda penghargaan pada "usaha, teladan, dan gaya" Sapardi dalam kerja sastra. Mereka pun menghendaki Sapardi terus menyulut "kegembiraan" dalam agenda membangun ilmu sastra di Indonesia. Penghormatan ditunaikan dengan pengumpulan pelbagai tulisan sebagai mozaik antusiasme Sapardi selama mengabdi sebagai penyair, esais, kritikus, penerjemah, redaktur, peneliti, dan dosen.
Donny Gahral Ardian menyuguhkan esai Tanah Tak Berjejak Para Penyair. Esai ini seolah lekat dengan proses kreatif Sapardi dalam puisi. Ardian menyebut bahwa kesunyian, kehampaan, dan keasingan adalah pengamalan purba. Pembaca lekas bakal mengingat tentang buku puisi Sapardi: DukaMu Abadi (1969). Kitab puisi ini pernah ditahbiskan oleh Goenawan Mohamad sebagai “Nyanyi Sunyi” kedua, sambungan estetis dan tematis dari kepenyairan Amir Hamzah pada masa 1930-an. Lirisisme Sapardi menjelma tonggak penting dalam tradisi puisi lirik sejak 1970-an sampai hari ini. Buku itu seolah seruan untuk para penyair di Indonesia melahirkan lirik-lirik kekekalan.
Jejak-jejak kepenyairan Sapardi menciptakan jalan estetis dalam perpuisian mutakhir. Buku-buku puisi Perahu Kertas, Sihir Hujan, Mata Pisau, Akuarium, Hujan Bulan Juni, Mata Jendela, dan Kolam adalah sodoran memikat bagi publik sastra, tanda mata dari babak-babak kerja kreatif penyair.
Kepenyairan itu dianggapi M. Yoesef dengan mengurai pernyataan dari pihak Freedom Insitute saat memilih Sapardi sebagai penerima Achmad Bakrie Award 2003. Sapardi diakui telah menunjukkan "pengabdian untuk bidang (puisi) selama empat puluh tahun". Pengabdian ini diimbuhi dengan peran Sapardi dalam "mengkristalkan dan memperbarui tradisi lirik di Indonesia". Klaim memuncak dalam pernyataan: "Puisi SDD adalah sebuah puncak pencapaian bahasa Indonesia". Bentuk penghargaan atas kepenyairan SDD adalah berkah dari keberimanan melahirkan, merawat, dan membesarkan puisi di negeri miskin literasi.
SDD memang identik dengan lirisisme. Hal ini menggugah Fridolin Ukur untuk memerkarakan kerja penerjemahan puisi-puisi klasik China oleh SDD. Lirisisme China seolah turut memberi pengaruh dari kepenyairan Sapardi selama ini. Ketertarikan Sapardi dibuktikan dengan publikasi Puisi China Klasik (1976, hasil terjemahan puisi-puisi liris China.
Harry Avelling (2010) menyebut kerja penerjemahan ala Sapardi adalah cara untuk memahami budaya lain. Sapardi (1999) justru pernah mengatakan penerjemahan sastra merupakan "kerja pengarang yang mencipta dalam batasan, kungkungan, dan ikatan yang berasal dari karya yang diterjemahkannya". Kerja ini memang menegangkan, dilematis, dan berisiko.
Penghormatan atas pengabdian sastra juga ditunjukkan Wahyu Wibowo. Sapardi bagi Wahyu Wibowo adalah keniscayaan antologis. Klaim atas relasi intim Sapardi dan puisi: "Ibarat melihat hubungan Sapardi dan sepatu sandalnya, keniscayaan ontologis menjadikan diri Sapardi dan sajak-sajak liriknya saling bergantung. Sapardi adalah sajak lirik dan sajak lirik adalah Sapardi."
Esai persembahan ini melengkapi dari hasil penelitian Model Waktu dalam Perahu Kertas Sapardi Djoko Damono (1991). Sapardi memang pantas mendapati penghormatan tanpa harus dikultuskan dan "dibakukan". Sapardi melalui buku ini seolah tanda mata zaman tak usai didefinisikan dan ditafsirkan. Begitu.
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Januari 2011
No comments:
Post a Comment