-- Deddy Arsya
SAYAakan mencoba memasuki buku kumpulan sajak Rusli Marzuki Saria (RMS), Mangkutak di Negeri Prosaliris, melalui lubang dalam diri Mangkutak Alam, tokoh dalam kaba, anak bujang Raja Babandiang. Usaha saya ini tentu hanya melihat dari satu sudut yang sempit saja, dan tak akan bisa merangkul semua sajak yang segerobak itu.
1. Mangkutak
“Orang tuaku bilang aku dilarang jadi Anak Mangkutak” tulis Hamid Jabbar dalam sebuah sajak. Mangkutak yang asyik bermain layang-layang, berpacaran, mengadu ayam di gelanggang, tepat ketika ayahnya mati terjungkang ke tanah. Ketika ia mengetahui ayahnya dibunuh, ia menolak untuk membalaskan dendam —bahkan di saat Si Sabai (kakak perempuannya) tengah bersiap menuntut kematian. “Orang yang sudah mati tidak akan membayar kita,” kata Mangkutak.
Dan Mangkutak menjadi populer karena sikapnya itu. Ia menjadi prototipe anak bujang Minang yang tak patut dicontoh, lambang kecengengan seorang lelaki yang tak punya sikap, tak bisa bertanggung jawab, tak bisa membela kaum, tak membalas guna, dan larut dalam gairah permainan gelanggang belaka. Ia menjadi noda hitam di atas kain putih bersih bernama Sabai Nan Aluih.
Namun ada sisi lain, sosok Mangkutak menjadi menarik karenanya. Mangkutak mewakili hidup yang bergairah, dengan permainan-permainan, dengan layang-layang, tuak tua, dan ayam aduan; Mangkutak yang senantiasa berbahagia dan tak merasa berdosa.
Ia barangkali seperti tokoh-tokoh romantik Eropa abad ke-18 yang menolak gaya hidup mapan dan norma-norma kaku para borjuasi dan kalangan ariestokrat; merindukan hidup yang bergairah, dunia masa silam yang eksotis, rimba raya yang liar tapi bersahaja, petualangan kanak-kanak, juga kisah asmara yang melankolik menjeritkan sangsai.
Maka di sini, Mangkutak menjadi semacam penolakan atas sosok Sabai yang terlalu mapan, terlalu sempurna, terlalu ideal sebagai seorang manusia—cantik, eloklaku, cepatkaki ringantangan, bertanggungjawab, pemberani, dst.
Membaca beberapa sajak Rusli Marzuki Saria yang terdapat dalam kumpulan yang kita bahas ini, saya merasa sedang merayakan ke-Mangkutak-an dalam ‘sisi lain’ yang ini: merayakan romantisisme (ke)kanak-kanak(an) dan gairah dari petualangan gelanggang —padang layang-layang dan ayam aduan.
Dalam arti lain, sajak-sajak RMS juga berbicara tentang ‘layang-layang dan ayam aduan’ tepat ketika dunia sekeliling sedang giat membentuk dirinya untuk menjadi mapan dan ideal. Namun layang-layang atau ayam aduan itu bagi RMS di sini adalah —untuk menyebut beberapa— berupa: gadis di muka jendela (“pukaumu”), leher yang lengkung (“angin musim datang padaku”), erangan nafas yang menggoda, tali birahi (“aku orangnya memang senang mandala cinta”), tubuh ramping gadis-gadis (“bunga mawar itu menggelai di vas menantang angin”), libido kuda jantan (“mata ikan itu mengerling jujur”) kutang gadis Pasaman yang ketat dan tubuhnya sintal, wangian hutan libido beruk jantan, betis-betis yang indah, dan payudara yang bulat padat (“aku rindu bansi menjerit di kebun sawit”).
Maka beberapa sajak RMS kadang menjadi gelak kekanak-kanakan yang berderai-derai atau kadang seperti tawa mesum remaja 17 tahun yang terkikik-kikik. Sajak-sajak RMS berjalan di antara dan berucap tentang hal-hal yang indah dan erotis itu, likaliku percintaan yang membangkitkan libido purba dan menggairahkan kita, justru di tengah dunia kita yang ingin mapan, bermoral, dan ideal senantiasa.
Atau kadang, ia bergumam dalam sepi yang melankolik seorang tua patahhati, tentang lembah-lembah dan perbukitan yang pernah disinggahi, tentang kawan seperjuangan masa perang yang dirindukan di kemudian hari, teman tidur dan teman bersenda ketika muda, atau gadis-gadis yang pernah membuatnya terbuai asmara di masa lalu. Ia tidak melawan itu semua, tetapi menikmatinya sebagai keindahan, kenangan-kenangan—segerobak kenang-kenangan—yang kadang membikin lena.
Ya, saya kira, barangkali ada miripnya dengan catatan menjelang kematian kaum romantik Eropa abad ke-18, Rousseau, atau Cassanova, yang tak merasa bersalah akan petualangan cintanya di masalalu (Rousseau menulis Confession, Cassanova menulis catatan-catatan yang kemudian dibukukan dalam Pengakuan Cassanova).
2. Negeri Prosaliris
Minangkabau dianggap terlambat memasuki periode keberaksaraan, periode tulisan, periode sejarah. Bahkan ketika telah memasuki periode tulisan pun, kelisanan tetap kuat, yaitu sastra lisan masih mendapat tempat yang luas dan nyaris berdampingan dengan sastra tulis. Oleh sebab itu, Minangkabau dekat dengan prosa liris, atau masih di bawah bayang-bayang lirisisme, karena lirisisme sendiri dekat dengan kelisanan, maka setiap kelisanan hampir-hampir senantiasa bertopang pada lirisisme.
Dalam periode sastra modern, sajak-sajak penyair daerah ini juga tak bisa lepas bahkan senantiasa terikat pada kecendrungan estetika lirisisme ini. RMS barangkali pernah berusaha lari dari kecendrungan itu. Di tahun 1985-1986, misalnya, RMS mencoba untuk menolak lirisme dengan menulis sajak yang agak mantrais (lihat dalam Sembilu Darah). Namun sesudah tahun itu, ia kemudian kembali lagi ke lirisisme. Alasannya kembali ke sajak-sajak liris misalnya dicatatnya dalam sebuah sajak, saya kutipkan: … penyair lirik saja yang memiliki kemampuan/ memberi bentuk tertentu terhadap perasaan-perasaan yang paling kabur. Ia seakan mengakui bahwa prosa liris tak bisa ditolak. Ia tak mampu, meminjam Takdir, untuk “melemparkan seruling dan pantun.” Simak misalnya kutipan sajak RMS berikut: … di negeri prosaliris aku bercinta dengan seksama lalu/ jadi/ sentimentil pada saluang dan rabab. Di negeri yang prosaliris, ia seakan tidak bisa menolak lirisisme —ia malah menyatu dengannya.
Lirisisme dalam sejarah sastra modern kita memang pernah menuai kritik. Itu misalnya datang dari Afrizal Malna. Lirisisme dianggap tak mampu menangkap perubahan realitas bahasa; realitas bahasa yang bergerak ke benda-benda seiring dengan materialisme yang ditawarkan sejarah hipermodern semakin tajam memasuki relung-relung kehidupan kita.
Namun, bagaimana pun itu, seperti telah dikatakan, RMS bersikukuh di tempat yang dipilihnya, yaitu di yang liris. Maka kumpulan sajak Mangkutak di Negeri Prosaliris ini seperti ada untuk mengukuhkan tegak RMS di ranah liris itu.
Rusli Marzuki Saria, dengan memilih tetap berliris-liris, telah merayakan ke-Mangkutak-an. Merayakan arus deras dan tebing yang curam, hidup yang penuh gairah dengan gadis-gadis di sekeliling, gunung-gunung berkabut hijau, lembah-lembah dalam dan dingin, gelanggang bergoyang yang mengasyikkan, hutan-hutan liar petualangan, angin gabak yang mencemaskan, aku cinta kamu kehidupan berat, dan seterusnya.
Mangkutak yang kontradiktif; ia besar di gelanggang tapi tak pernah menjadi ideal sebagai seorang laki-laki. Di sana. Lama kucari jejak di pematang gelanggang/ alangkah/ ramai/ semusim tuak tua semusim aduayam silangkaneh/ alangkah/ ganasnya. Sama seperti para romantik Eropa abad ke-18 yang larut dalam gairah (ke)kanak-kanak(an) meskipun sudah menemui beberapa revolusi. Mereka sama-sama menolak mapan, menolak dewasa, menolak menjadi ideal.
Maka di tengah dunia hipermodern, di mana hegemoni objektif-materialistik semakin kuat, di sinilah perlunya sajak-sajak yang seperti ini, yang masih mengingatkan kita tentang yang paling primitif dari diri manusia, yang paling subjektif: ‘layang-layang’, ‘tuak tua’ dan ‘ayam aduan’—cinta, libido, gairah…***
Deddy Arsya, menulis sajak dan cerita pendek, tinggal dan besar di Padang
Sumber: Riau Pos, Minggu, 2 Januari 2011
No comments:
Post a Comment