-- Fredy Wansyah
KETIKA saya melihat laman internet Pusat Bahasa, saya sedikit bingung dengan adanya istilah "pos-el" yang mengandung arti "surat elektronik". Faktanya, istilah itu tidak tersebar luas di masyarakat. E-mail adalah istilah yang lebih dikenal di masyarakat kita dibandingkan dengan istilah "pos-el". Dari berbagai kalangan usia, latar sosial, ataupun politik, lebih akrab menggunakan istilah e-mail karena telah terbiasa muncul di ruang-ruang publik, seperti radio, televisi, dan media cetak. Saya juga menduga pemakaian istilah e-mail tidak hanya terbiasa pada situasi nonformal, situasi formal pun istilah tersebut mungkin sering digunakan oleh berbagai kalangan.
Beberapa waktu lalu, dalam kasus tenaga kerja Indonesia (TKI) kita yang bernama Sumiati, pejabat pemerintah yang menaungi TKI mengatakan melalui siaran di televisi bahwa pengurusan TKI sekarang sudah menggunakan sistem online. Penggunaan istilah online tersebut tidak jauh berbeda dengan fakta istilah e-mail tadi . Online merupakan suatu istilah yang dimaknai sebagai suatu sistem berjaringan melalui komputerisasi.
Ada banyak penggunaan istilah asing lainnya yang sudah meluas di masyarakat. Istilah-istilah tersebut pada umumnya merupakan istilah yang berkaitan dengan pola hidup berteknologi. Dari berbagai latar sosial ataupun latar ekonomi, masyarakat kita seakan membutuhkan hidup dengan teknologi. Anak-anak sekolah dasar, misalnya, berapa banyak yang membawa telefon seluler pribadinya ke sekolah. Oleh karena itu, pola hidup berteknologi bukan lagi menjadi suatu fenomena budaya, melainkan telah menjadi fakta budaya.
Sejak munculnya teknologi informasi yang ditandai dengan penyebaran televisi, barang-barang elektronik di Indonesia begitu mudah tersebar dan (dianggap) menjadi komoditas mewah. Televisi, telefon seluler, sepeda motor, mobil, komputer, ipad, bahkan terakhir muncul buku elektronik. Kemunculan buku elektronik ini kemungkinan pula akan tersebar dengan cepat di pasar Indonesia seperti pendistribusian telefon seluler di Indonesia yang menjadi salah satu konsumen terbesar di Asia Tenggara. Barang-barang berteknologi tinggi tersebut tersebar luas, bahkan masyarakat kita menjadi sasaran utama bagi produsen barang elektronik. Media yang berperan atas penyebaran tersebut adalah media elektronik, seperti radio dan televisi.
Pola hidup berteknologi bukan sesuatu yang mutlak salah. Akan tetapi, bila ditelusuri kehidupan berbahasa kita (bahasa Indonesia), perlahan-lahan bahasa Indonesia akan mengalami ketercerabutan, seperti dua fakta pada awal tulisan. Semakin sering kita menggunakan istilah-istilah asing tersebut, semakin akrab pula bagi masyarakat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dapatlah kita maknai bahwa pola kehidupan berteknologi merupakan salah satu gejala krisis bahasa Indonesia.
Salah satu wujud budaya berteknologi saat ini adalah internet. Dengan berbagai sistemnya, internet dapat mempermudah dan mempercepat akses informasi ke berbagai wilayah. Internet menjadi kebutuhan masyarakat. Perkembangan internet di Indonesia seolah-olah tidak terkontrol lagi. Artinya, berbagai pihak yang berwenang tidak mempertimbangkan dampak baik dan buruk dari berbagai aspek ke publik. Seperti akses jejaring Facebook di Indonesia, misalnya. Sejak kemunculan fenomena jejaring tersebut di Indonesia, pengguna aktif Facebook telah mengalami peningkatan 645 persen. Terhitung sejak awal 2009, pengguna aktif Facebook telah mencapai satu juta lebih.
Pembiasaan dalam penyebutan suatu barang, penamaan suatu rujukan yang berkenaan dengan elektronik, dan penyebutan suatu perilaku yang berkenaan dengan internet merupakan kebiasaan yang secara tidak sadar akan menciptakan bahasa-bahasa asing sebagai bahasa yang biasa hingga menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Padahal, bahasa-bahasa asing tersebut bukan bagian kebahasaan yang tidak dapat distandarkan ke dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, aspek-aspek yang berkenaan dengan bahasa akan terancam. Aspek-aspek tersebut adalah sejarah, budaya tradisional, dan kesastraan Indonesia.
Selain masyarakat, penanggung penuh wewenang dalam membenahi awal ketercerabutan berbahasa kita adalah pemerintah dan lembaga kebahasaan. Pemerintah sebaiknya membentuk suatu kebijakan untuk menjaga keutuhan berbahasa nasional dalam pola-pola kehidupan berteknologi. Pengaturan dilakukan terhadap sistem jual-beli barang-barang elektronik agar tidak lupa menyertai penggunaan bahasa Indonesia sebagai bagian dari pemakaian barang tersebut.
Sementara itu, lembaga kebahasaan melakukan standar baku bahasa-bahasa asing yang masuk ke Indonesia. Nasionalisasi bahasa asing merupakan salah satu pilihannya. Bahkan, hasil-hasil standardisasi tersebut dengan cepat disebarkan ke publik melalui berbagai media publik agar penggunaannya tidak didahului oleh istilah (bahasa) asing. Dengan begitu, bahasa yang tetap terjaga tersebut dapat digunakan oleh penggunanya dengan baik, dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia.***
Fredy Wansyah, mahasiswa Sastra Indonesia Unpad serta penggiat bahasa dan sastra Indonesia.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Desember 2010
No comments:
Post a Comment