-- Iip D. Yahya
PERNYATAAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan "mengakhiri" sistem monarki di Provinsi Yogyakarta atas nama konstitusi dan demokrasi, menjadi polemik yang panas. Panas, sebab itu pernyataan resmi dalam sidang kabinet. Dari pernyataan anggota DPR yang mewakili Partai Demokrat di media massa, pernyataan SBY itu semakin diperkuat. Dengan demikian, kecaman dan penolakan pun mengalir. Warga DIY merasa nyaman dengan sistem yang berlaku selama ini, mengapa harus diubah? Oleh karena itu, masyarakat DIY menyambut pernyataan presiden itu dengan satu kata, referendum.
Kalau mau dibaca lebih "seram", pernyataan SBY yang didukung anggota DPR dari Demokrat itu adalah upaya sistemik untuk menggerus satu-satunya kekuatan lokal warisan nusantara yang tersisa, kesultanan yang memiliki kekuasaan eksekutif, bukan sekadar simbolis. Siapa sebenarnya yang menginginkan sisa kekuatan lokal ini tamat riwayatnya?
Bagi masyarakat Bandung, sejak lama "Yogya" sudah "merdeka". Kalau kita melewati Jalan Merdeka, setelah melewati satu mal besar, sebelum lampu merah, kita akan melihat satu toko, "Yogya Merdeka". Dibaca dari kacamata tertentu, penulisan nama toko itu bisa dikategorikan separatis. Akan tetapi, dari sudut pandang yang lebih santai, tulisan itu adalah kreativitas. Bukankah Bandung itu kota kreatif?
Sebagai warga Bandung dan Jawa Barat, kita melihat provinsi Yogyakarta sebagai daerah istimewa karena faktor sejarah. Kita terima tanpa protes, sebab warga Jabar pun menjadi bagian dari proses sejarah tersebut. Misalnya ketika Yogyakarta jadi ibu kota negara RI, wali kotanya adalah Moh. Enoch, tokoh Paguyuban Pasundan (PP) yang ikut hijrah ke kota gudeg itu. PP pun dibangkitkan kembali di kota pelajar ini.
Bahkan orang Sunda memerlukan eksistensi keistimewaan Yogyakarta itu sebagai parameter. Orang Sunda suka "iri" soal budayanya yang tidak terpusat, sementara budaya Jawa masih memiliki pusat karena ada Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta bisa menjaga eksistensi budaya Jawa karena Sultan juga menjabat sebagai gubernur. Misalnya pemakaian bahasa Jawa pada hari tertentu bagi pegawai Pemrov DIY, itu bisa dilaksanakan. Bandingkan dengan Perda No. 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah di Provinsi Jabar yang tidak berjalan efektif. Gubernur Jabar bisa siapa saja asalkan terpilih melalui prosedur demokrasi, sekalipun teu tabah dina budaya Sunda.
Watak "pusat"
Pemerintahan pusat memang selalu ingin semuanya terkendali dan sesuai dengan "selera" penguasa. Watak pemerintahan pusat yang laten adalah menyeragamkan, menggeneralisasi yang kerap berujung pada penyederhanaan masalah. Pengalaman pahit yang sekarang menimpa Yogyakarta pernah dialami masyarakat Jawa Barat pada awal 1950-an. Pusat waktu itu menganggap siapa saja yang pernah terlibat di dalam Negara Pasundan atau Negara Djawa Barat, tidak boleh ikut serta dalam pemerintahan Provinsi Jawa Barat di bawah NKRI. Disamaratakan begitu saja, seolah semua yang terlibat dalam Negara Pasundan itu sama, separatis. Kalau separatis berarti "pengkhianat".
Sama sekali tidak diindahkan bahwa ada dua kelompok di dalam Negara Pasundan itu, federalis dan republiken sebagaimana dijelaskan dengan sangat baik dalam tesis Agus Mulyana (1996). Kubu federalis antara lain didukung Partai Rakyat Pasundan (PRP) dan Recomba (Regerings Commisaris Bestuuranglengenhenden), keduanya prokepentingan Belanda. Sementara faksi republiken di antaranya didukung sejumlah tokoh Paguyuban Pasundan. Faksi kedua inilah yang akhirnya berhasil menggolkan R.A.A. Wiranatakusumah sebagai wali negara, mengalahkan Hilman Djajadiningrat.
Sejak awal, Wiranatakusumah mengecam langkah-langkah PRP. Ketika terpilih sebagai wali negara, dia meminta pertimbangan Presiden Soekarno. Soekarno mengatakan, "Langkung sae Akang bae tibatan urang NICA anu jadi". Karena resmi mengemban misi republiken, keberangkatannya dari Bandara Maguwo Yogyakarta dilepas oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta. Wiranatakusumah saat itu menjabat sebagai Ketua DPA RI dan Penasihat Departemen Dalam Negeri. Dua jabatan yang cukup tinggi dan penting. Dia pun sedang sakit akibat kelelahan berkeliling seluruh Jawa, meyakinkan semua bupati agar mendukung Soekarno-Hatta. Dia bisa menolak tawaran menjadi wali negara karena berisiko secara politik. Dia menerimanya karena kecintaannya kepada masyarakat Sunda dan ingin menjaga Jawa Barat agar tetap sebagai bagian dari RI. Dia terima karena percaya kepada komitmen moral Soekarno-Hatta.
Karena hampir semua tokoh Sunda penting berperan di dalam Negara Pasundan, pada awal pemerintahan Provinsi Jabar setelah penyerahan kedaulatan (1950), hampir tidak ada tokoh Sunda penting di dalamnya. Itulah harga yang harus dibayar sebagai konsekuensi mereka "membela eksistensi RI". Semua pejabat Jawa Barat "didrop" oleh pusat. Tokoh sekaliber Wiranatakusumah pun ter-singkir. Namanya ikut "terpuruk" seiring stigma negatif atas keberadaan Negara Pasundan. Soekarno-Hatta yang tahu latar belakang itu pun tidak pernah berusaha memulihkan nama baik Wiranatakusumah. Dengan demikian, orang Sunda hanya bisa memprotesnya dengan melahirkan istilah sokong-jongklok.
Masyarakat Sunda di Jawa Barat tertekan secara sosial, ekonomi, dan politik. Apalagi setelah Pemilu 1955, dua partai yang merepresentasikan Sunda (Gerpis dan PARKI) gagal meraih suara signifikan. Tokoh-tokoh Sunda kian tersisih dari panggung kekuasaan di tanah kelahirannya sendiri.
Kondisi inilah yang kemudian memicu reaksi Front Pemuda Sunda pada 1956. Mereka membuat seruan bernomor 0013/A-0/1956 dengan judul, "Hantjurkan PNI dan Imperialisme Djawa!" Selebaran itu membuat heboh dan menimbulkan polemik panjang. Untuk menengahinya, atas inisiatif Ajip Rosidi dan kawan-kawan, pada 5-7 November 1956 diselenggarakan Kongres Pemuda Sunda I. Sejak itulah perhatian pada kebudayaan Sunda mulai marak lagi. Badan Musyawarah Sunda (BMS) terbentuk. PARKI kembali menjadi Paguyuban Pasundan. Terbentuk pula Damas dan Daya Sunda. Dengan susah payah, tokoh-tokoh potensial Sunda tampil kembali sebagai penguasa Jawa Barat.
Harus bertahan
Masyarakat Yogyakarta harus mempertahankan kesultanan dengan kekuasaan eksekutif itu. Dokumen sejarah resmi yang mengabadikan keistimewaan Yogyakarta masih utuh. Lima Presiden RI sebelum Susilo Bambang Yudhoyono tidak ada yang mempermasalahkannya. Yogyakarta adalah benteng terakhir yang menghubungkan kita dengan kebesaran kerajaan-kerajaan nusantara. Begitu kekuasaan eksekutif hilang dari ta-ngan Sultan dan Pakualam, Keraton Yogyakarta dan Pakualaman akan seperti bekas kesultanan/kerajaan di provinsi lain, menghabiskan sejarahnya dalam konflik internal. Inilah babak terpenting bagi masa depan "budaya Jawa" yang menarik kita cermati.
Sekalipun orang Sunda pernah dijajah oleh Sultan Agung dari Mataram, tetapi catatan sejarah itu tidak menutup rasa empati dan simpati untuk mendukung secara moral terhadap perjuangan masyarakat DIY saat ini. Semoga warga Yogyakarta dapat terus berjuang secara konstitusional dan tidak saling memotong di tikungan. Setelah erupsi Merapi, inilah erupsi lain yang jauh lebih berbahaya yang harus dihadapi. Bagi kami di Bandung, "Yogya" sudah dan tetap "Merdeka".
Iip D. Yahya, peminat kajian sejarah lokal, pernah belajar dan bekerja di Yogyakarta.
Sumber: Pikiran Rakyat, Kamis, 2 Desember 2010
1 comment:
Apa bedanya dgn negara didalam negara,pula!.Jika,begitu adalah wajar dan bisa dimaklumi serta pantas pamuda Sunda,marah lewat 'bom kertas'nya FPS,dengan tokoh sentralnya Ki Askawi,itu.yg bahkan,paska itu datang utusan Bung Karno utk menawarkan jabatan menteri dikabinetnya,namun Ki Askawi menolaknya.Inilah,yang banyak belum diketahui publik,Sunda khususnya!.
Post a Comment